Prioritas Vaksin Covid-19 untuk Lansia Tekan Kematian
Sebuah kajian menunjukkan bahwa pemberian prioritas vaksin kepada kelompok lansia lebih strategis untuk menyelamatkan nyawa dan menekan korban akibat Covid-19.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketika pasokan vaksin masih terbatas, pemilihan orang yang pertama kali mendapat vaksinasi akan menentukan dalam menekan jumlah kematian karena Covid-19. Memberi prioritas vaksin kepada kelompok lanjut usia atau lansia dinilai menjadi salah satu strategi terbaik dibandingkan kepada anak-anak muda dengan alasan mempercepat aktivitas ekonomi.
Kajian dari University of California (UC) Berkeley yang diterbitkan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences pada 25 Februari 2021 menyebutkan, memprioritaskan suntikan vaksin pada kelompok lansia akan menekan risiko kematian karena Covid-19. Kajian ini membahas tentang siapa yang harus menjadi prioritas dalam antrean untuk pasokan terbatas suntikan vaksin.
”Pola usia kematian Covid-19 sedemikian rupa sehingga memvaksinasi yang tertua pertama menyelamatkan paling banyak nyawa dan yang mengejutkan, juga memaksimalkan sisa usia harapan hidup,” kata penulis utama studi Joshua Goldstein, profesor demografi UC Berkeley, dalam keterangan tertulis di laman kampus ini, Senin (1/3/2021).
Kesimpulan ini didapatkan dengan menganalisis usia harapan hidup di Amerika Serikat, Jerman, dan Korea Selatan dalam menghadapi pandemi Covid-19 selama setahun. Mereka mendasarkan perhitungan mereka pada jumlah nyawa yang berpotensi diselamatkan dari vaksinasi, dikalikan dengan harapan hidup mereka yang divaksinasi.
Misalnya, jika 1 juta vaksinasi menyelamatkan 1.000 nyawa, dan orang-orang yang divaksinasi tersebut, rata-rata, diproyeksikan untuk hidup 20 tahun lagi, jumlah total tahun kehidupan yang diselamatkan adalah 20.000. Menurut Goldstein, argumen matematika yang menjadi dasar kesimpulan ini berlaku tidak hanya untuk beberapa negara, tetapi umumnya di seluruh dunia.
”Mengalokasikan dosis vaksin Covid-19 yang terbatas melibatkan banyak pengorbanan. Namun, konflik antara meminimalkan jumlah kematian dan memaksimalkan sisa hidup bukanlah salah satunya,” kata Goldstein.
Sejak adanya persetujuan penggunaan berbagai vaksin Covid-19, perdebatan telah menguat mengenai kelompok mana yang akan diinokulasi terlebih dahulu. Ini mengingat persediaan vaksin yang terbatas dan, dalam banyak kasus, sistem distribusi yang kacau balau.
Sebagian kelompok berpendapat bahwa pekerja penting harus mengambil prioritas untuk menjaga kesehatan, pendidikan, dan sistem ekonomi dan berjalan. Pendapat lain, seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), telah menekankan pentingnya menjadikan kelompok usia lanjut sebagai penerima awal vaksin.
Studi terbaru dari Goldstein ini diharapkan bisa memberi pertimbangan ilmiah mengenai pentingnya memprioritaskan orang tua. Para peneliti menemukan bahwa tingkat kematian Covid-19 berdasarkan usia meningkat sekitar 11 persen per tahun di Amerika Serikat, Jerman, dan Korea. Selain itu, mereka menemukan bahwa memvaksinasi orang yang berusia 90-an akan menyelamatkan nyawa tiga kali lebih banyak daripada memberikan dosis yang sama kepada orang-orang di usia 80-an ke bawah.
”Sebelum studi ini, diduga ada beberapa usia menengah, tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda, yang akan memaksimalkan manfaat vaksin, dalam hal penyelamatan orang,”kata Goldstein.
Aspek keadilan
Dalam diskusi daring yang diselenggarakan LaporCovid19 pada Sabtu (27/2/2021), Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, prioritas vaksin di Indonesia perlu diberikan kepada kelompok rentan, yaitu tenaga kesehatan dan lanjut usia, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28 H(2) dan UU Kesehatan Pasal 5.
”UUD 1945 Pasal 28H(2) menekankan bahwa setiap orang berhak mendapat perlakuan khusus untuk mencapai persamaan dan keadilan. Artinya, sumber daya di bidang kesehatan, termasuk vaksin, perlu diberikan kepada kelompok yang rentan sebagai bentuk dari tindakan perlakuan khusus oleh negara,” katanya.
Dengan dasar hukum ini, menurut Asfinawati, dikhawatirkan vaksin mandiri akan memicu ketidakadilan. ”Karena vaksin yang seharusnya bisa disegerakan kepada kelompok rentan, justru diberikan kepada karyawan perusahaan,” katanya.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, di dalam konteks ketersediaan vaksin yang terbatas, maka perlu ditetapkan kelompok prioritas dan juga penggunaan vaksin yang optimal sehingga tujuan vaksin akan tepat guna, manfaat, dan sasaran.
Menurut Dicky, berdasarkan perspektif epidemiologi, vaksin memiliki tiga peran dalam pengendalian pandemi. Pertama, untuk mencegah dan menurunkan angka kasus serta menurunkan angka kematian dengan melindungi kelompok yang paling rentan. Kedua, menyelamatkan semakin banyak nyawa, bukan menyelamatkan ekonomi. Untuk menyelamatkan banyak nyawa, prioritas vaksin adalah populasi rentan. Sementara, ketiga memberikan manfaat sosial.
”Jadi, vaksin bukan untuk kebutuhan ekonomi, melainkan menyelamatkan nyawa, menurunkan angka kematian, mencegah kesakitan parah. Oleh karena itu, menurut saya, vaksin mandiri tidak sejalan dengan fungsi dan tujuan vaksin berdasarkan kajian epidemiologi karena vaksin diberikan kepada karyawan, bukan kelompok rentan dengan risiko paparan yang tinggi,” katanya.
Dicky menambahkan, perjalanan untuk mencapai herd immunity dengan vaksin masih panjang dan belum pasti. Namun, yang sudah terbukti adalah vaksin bisa menurunkan risiko keparahan dan kematian sehingga pemerintah sebaiknya tidak beralasan menerapkan vaksin mandiri atau gotong royong dengan alasan mengejar herd immunity.
Menurut dia, pelibatan swasta sebenarnya sangat dibutuhkan untuk mempercepat cakupan vaksiansi. Untuk pengadaan, karena ketersediaan di pasar global terbatas, hanya bisa negosiasi per negara. Berikutnya, swasta bisa membantu mempercepat distribusi dan logsitik, tetapi siapa yang mendapat vaksin harus diserahkan kepada pemerintah, sesuai kriteria epidemiologi, bukan ekonomi.