Menimbang Kondisi yang Layak Divaksinasi
Vaksin bisa mencegah orang tertular atau meninggal akibat Covid-19. Namun, ada kondisi tertentu yang memerlukan kehati-hatian dalam mendapatkan vaksinasi.
Masyarakat dunia terkejut membaca berita kematian puluhan orang lanjut usia (lansia) di Norwegia seusai divaksinasi. Kekhawatiran pun merebak terkait keamanan vaksin.
Sampai saat ini, pihak berwenang di Norwegia masih meneliti untuk memastikan apakah kematian lansia tersebut berhubungan dengan vaksinasi. Sementara itu, menurut laporan BMJ, 15 Januari 2021, para dokter di Norwegia diminta melakukan evaluasi lebih menyeluruh terhadap lansia yang sangat renta dalam pemberian vaksin Covid-19 dari Pfizer BioNTech.
Direktur Medis Badan Kedokteran Norwegia (NOMA) Steinar Madsen menyatakan, sejauh ini disimpulkan, efek samping umum dari vaksin mRNA seperti demam, mual, dan diare, mungkin menyebabkan kefatalan pada beberapa pasien yang renta.
“Ada kemungkinan efek samping yang umum, yang tidak berbahaya bagi orang yang lebih bugar, lebih muda dan terbiasa dengan vaksin, memperburuk penyakit yang diderita lansia. Kami tidak menduga. Kejadian ini sangat jarang. Ini terjadi pada pasien yang sangat lemah dan menderita penyakit serius,” katanya.
Baca juga Imunitas Setelah Vaksinasi Tidak Instan
Dalam kondisi normal, ada 400 kematian di panti jompo setiap minggu di negara itu. Artinya, ada sekitar 57 kematian lansia per hari yang tidak berhubungan dengan vaksin.
Lebih dari 20.000 dosis vaksin telah diberikan dalam beberapa minggu terakhir di Norwegia. Kini vaksinasi dilanjutkan dengan evaluasi ketat, termasuk membahas risiko dan manfaat vaksinasi dengan lansia dan keluarganya, untuk memutuskan perlu tidaknya vaksinasi.
Pihak Pfizer mengaku telah mendapat laporan terjadinya kematian setelah pemberian vaksin. Mereka bekerja sama dengan NOMA mengumpulkan semua informasi yang relevan.
“Pihak berwenang Norwegia memprioritaskan imunisasi bagi penduduk di panti jompo. Sebagian besar lansia dengan penyakit kronis, beberapa dengan kondisi parah. NOMA memastikan jumlah kematian tidak mengkhawatirkan. Semua kematian akan dievaluasi menyeluruh untuk menentukan apakah terkait dengan vaksin atau tidak,” pernyataan Pfizer.
Baca juga Memahami Efikasi, Imunogenisitas, dan Efektivitas Vaksin
Institut Paul Ehrlich di Jerman juga menyelidiki 10 kematian seusai vaksinasi Covid-19. Sedangkan di Inggris, belum ditemukan kasus kematian setelah vaksinasi. Menurut Badan Pengawas Produk Kesehatan dan Obat (MHRA), laporan rinci seluruh reaksi yang dicurigai terkait vaksin Covid-19 akan dipublikasi bersama penilaian data secara teratur. Dari laporan uji klinis yang telah dipublikasi, MHRA tidak melihat ada masalah keamanan khusus.
Telaah khusus
Bagaimana dengan Indonesia? Siti Setiati, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) yang juga Ketua Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (Pergemi), meminta agar masyarakat tetap tenang.
“Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), para dokter dan peneliti pasti berusaha memastikan manfaat setiap jenis vaksin termasuk keamanannya,” katanya pada seminar daring tentang vaksinasi pada lansia, Minggu (17/1/2021).
Meski pemerintah menjadwalkan vaksinasi lansia (orang berusia 60 tahun ke atas) pada gelombang pertama (Januari-April 2021) setelah tenaga kesehatan, pemberian vaksin pada lansia harus menunggu telaah khusus dan izin penggunaan dari BPOM. Tujuannya, untuk memastikan vaksin sudah tepat dan manjur untuk populasi lansia Indonesia.
Menurut Siti, pada lansia terjadi perubahan fisiologis akibat proses menua. Umumnya lansia menderita penyakit kronis seperti tekanan darah tinggi, diabetes, penyakit paru obstruktif kronik, gangguan jantung dan pembuluh darah. Jika terkena Covid-19, gejalanya akan parah dan bisa menyebabkan kematian.
“Data menunjukkan, kasus positif Covid-19 pada lansia mencapai 10,6 persen populasi. Sementara kematian lansia 44,6 persen dari jumlah kesakitan akibat Covid-19,” paparnya.
Kerentaan (frail) atau peningkatan kerentanan terhadap ketergantungan dan/atau kematian apabila ada penyebab stres, terjadi pada lansia. Data Pergemi dari berbagai provinsi mendapatkan, hanya 13,2 persen lansia dalam kondisi sehat tanpa penyakit penyerta, 61,6 persen prefrail (hampir renta) dengan penyakit penyerta yang terkontrol, sisanya 25,2 persen dalam kondisi renta dan memerlukan bantuan untuk kegiatan sehari-hari.
Baca juga Kendali Vaksinasi di Tangan Pemerintah
Pada lansia juga terjadi immunosenescence, yakni inflamasi kronis level rendah akibat kombinasi penurunan imunitas tubuh, paparan anatigen terus menerus, peningkatan produksi sitokin proinflamasi dari senescent T cells dan makrofag.
Penyakit penyerta (komorbid) seperti hipertensi dan diabetes meningkatkan inflamasi kronis, sehingga terjadi peningkatan risiko infeksi, kanker, penyakit autoimun, respons terhadap vaksin kurang maksimal demikian juga respons terhadap pengobatan infeksi.
Penting ada vaksin untuk mencegah infeksi dan penting bagi para ahli memastikan vaksin dapat bekerja pada populasi lansia.
Karena itu penting ada vaksin untuk mencegah infeksi dan penting bagi para ahli memastikan vaksin dapat bekerja pada populasi lansia.
Menurut Siti, vaksinasi sebaiknya dilakukan pada lansia sehat. Lansia setengah renta perlu diperbaiki kondisinya, lewat aktivitas fisik dan pemberian suplemen nutrisi, agar sehat sebelum divaksinasi. Sementara lansia yang renta, sebaiknya mendapat manfaat dari herd immunity (kekebalan kelompok).
Orang-orang di sekitar lansia perlu menerapkan protokol kesehatan secara ketat untuk melindungi kesehatan mereka sehingga tidak menularkan Covid-19 pada lansia.
Sikap kehati-hatian
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) mengeluarkan rekomendasi tentang Pemberian Vaksinasi COVID-19 (Sinovac/Inactivated) pada Pasien dengan Penyakit Penyerta/ Komorbid. Pertama, 18 Desember 2020, kemudian direvisi pada 17 Januari 2021, terkait batas tekanan darah bagi mereka yang hendak divaksinasi.
Ketua Tim Advokasi Pelaksanaan Vaksinasi Ikatan Dokter Indonesia, Iris Rengganis, yang juga Guru Besar FKUI-RSCM menyatakan, rekomendasi PAPDI merupakan gabungan dari rekomendasi 12 perhimpunan seminat. Hal itu bersifat dinamis, bisa berubah sesuai kondisi. Ini merupakan bentuk kehati-hatian untuk menghindari kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) berat.
“PAPDI dan perhimpunan seminat terus memantau efek vaksinasi. Mereka yang memiliki penyakit penyerta cukup berat, disarankan menunggu vaksinasi. Biarlah orang-orang yang lebih sehat yang divaksinasi lebih dulu,” tutur Iris.
Mereka yang memiliki penyakit penyerta cukup berat, disarankan menunggu vaksinasi. Biarlah orang-orang yang lebih sehat yang divaksinasi lebih dulu.
Pertimbangannya, belum ada penelitian keamanan bagi mereka yang memiliki penyakit penyerta cukup berat. Uji klinis hanya dilakukan pada orang sehat.
PAPDI merekomendasikan, orang dengan tekanan darah maksimal 140/90 mmHg dengan atau tanpa obat, dan tanpa penyakit penyerta yang layak mendapatkan vaksinasi. Mereka yang memiliki tekanan darah lebih tinggi disarankan menunggu.
Anjuran itu juga ditujukan kepada penderita gangguan jantung dan pembuluh darah, penyakit ginjal kronis, kanker, penyakit gastrointestinal (lambung dan usus) yang berat terutama akibat autoimun (kolitis ulseratif, penyakit Crohn, penyakit celiac), epilepsi dan gangguan saraf lain, serta penderita kelainan darah.
Adapun kondisi yang layak divaksinasi antara lain; asma yang terkontrol, rhinitis alergi, alergi makanan, orang dengan HIV. Juga penderita penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), tuberkulosis, penyakit hati, obesitas serta diabetes yang nilai HbA1C-nya kurang dari 7,5.
Menurut Iris yang juga Ketua Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia, orang yang pernah alergi obat ataupun mengalami reaksi anafilaksis, sepanjang bukan alergi terhadap zat-zat dalam vaksin, bisa divaksinasi. Tentu saja dengan pengawasan ketat dari dokter. Untuk mengantisipasi KIPI, harus tersedia anaphylaxis kit antara lain berupa sediaan injeksi antihistamin, adrenalin, kortikosteroid, infus dan oksigen.
Penderita penyakit autoimun sistemik seperti lupus, Sjogren, vaskulitis, dan penyakit autoimun lain, juga penderita reumatik autoimun (reumatik artritis), penderita hipertiroid/hipotiroid karena autoimun, disarankan menunda sampai terbukti vaksin yang ada aman bagi mereka.
Ada dua pertimbangan, jika penderita autoimun mengonsumsi obat penekan sistem imun, maka antibodi tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna.
Kekhawatiran lain, antibodi yang terbentuk bisa menyebabkan kekambuhan sehingga antibodi menyerang tubuh sendiri. Penderita reumatik non autoimun, seperti asam urat, nyeri sendi akibat trauma fisik, vaksinasi bisa divaksinasi.
Adapun orang yang pernah terkena Covid-19 disarankan menunda, karena mereka telah memiliki antibodi alami. Jumlah vaksin yang tersedia masih terbatas. Sebaiknya diberikan pada mereka yang lebih memerlukan dan belum memiliki antibodi terhadap virus penyebab Covid-19.
Nah, bagaimana kondisi kesehatan Anda?