Hidup bersama Covid-19 mungkin harus dilalui pada tahun-tahun mendatang. Upaya pemulihan harus dilakukan simultan dengan penguatan kapasitas kesehatan.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekalipun kasus Covid-19 secara global mulai menurun, wabah belum akan berakhir sebelum semua negara berhasil mengatasinya. Bahkan, kita harus bersiap menghadapi penyakit infeksi yang menjadi endemis sehingga upaya pemulihan harus dilakukan simultan dengan penguatan kapasitas kesehatan.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tjandra Yoga Aditama, dalam diskusi daring yang diinisiasi Bina Swadaya, Jumat (19/2/2021), mengatakan, pandemi ini menunjukkan bahwa banyak negara tidak siap menghadapinya. Padahal, sebelumnya sudah ada pemantauan dan evaluasi kesiapan tiap negara menghadapi pandemi sebagai implementasi International Health Regulations (IHR).
”Tujuan pemantauan dan evaluasi ini untuk melihat kesiapan setiap negara mencegah penyebaran penyakit dari satu negara ke negara lain. Indonesia sudah dievaluasi, Amerika Serikat juga. Semuanya menyatakan siap, tetapi kenyataannya tidak. Kesiapan ini perlu diperbaiki, termasuk juga mekanisme pemantauan dan evaluasinya,” kata Tjandra.
Saat ini, pandemi banyak bergeser di negara yang kapasitas tesnya kecil, termasuk di Indonesia sehingga ada masalah dalam pelaporannya.
Tjandra, yang pernah menjadi Direktur WHO South-East Asia Region, mengatakan, ketidaksiapan yang kita lihat saat ini tidak hanya di sektor kesehatan, tetapi juga ekonomi dan politik. ”Negara yang lockdown total memang bisa menurun pandeminya, tetapi ekonominya pasti berdampak. Ini harus ditemukan solusi dan keseimbangannya dengan keputusan yang harus berbasis sains,” katanya.
Menurut Tjandra, sekalipun ada tren penurunan kasus secara global, wabah diperkirakan belum akan berakhir. ”Bisa seperti pengalaman sebelumnya, pada 11 Juni 2009 WHO menyatakan dunia menghadapi ancaman pandemi H1N1 (flu babi) dan pada 10 Agustus 2010 dinyatakan tingkat hazard (bahaya) menurun. Namun, H1N1 tidak pergi, masih tetap ada,” katanya.
Menjadi endemis
Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, penurunan angka Covid-19 secara global belum memotret situasi sesungguhnya. ”Pertengahan tahun lalu terjadi lonjakan kasus Covid-19 karena pandemi lebih banyak terjadi di negara-negara maju yang memiliki kapasitas tes tinggi. Saat ini, pandemi banyak bergeser di negara yang kapasitas tesnya kecil, termasuk di Indonesia, sehingga ada masalah dalam pelaporannya,” ujarnya.
Menurut Dicky, pandemi ini bukan hal yang baru, melainkan dari skala ini yang terbesar setelah 100 tahun pandemi flu Spanyol 1918. ”Dari pandemi sebelumnya, cenderung terjadi secara bergelombang dan mobilitas manusia sangat berpengaruh. Tantangannya, dunia semakin tidak berbatas,” ucapnya.
Sekalipun kita tidak siap, ada sejumlah kemajuan yang dilakukan. Menurut Dicky, mengacu pada studi yang dilakukan para peneliti di Inggris, seandainya pandemi Covid-19 ini terjadi jika kondisi respons kesehatan sama dengan 100 tahun lalu, populasi yang terinfeksi saat ini bisa 7 miliar orang dan kematian sudah 40 juta orang. ”Itu pun dalam estimasi terendah. Sebenarnya magnitudo pandemi Covid-19 ini hampir sama dengan 100 tahun lalu,” ujarnya.
Dicky menambahkan, kita juga perlu melihat keterkaitan aspek kesehatan dengan persoalan lainnya, termasuk ekonomi dan politik. ”Dalam aspek pengendalian, kita bisa melihat bahwa ada sejumlah negara, termasuk di Afrika dan Indonesia, yang menghindari lockdown karena secara ekonomi, sosial, dan kematian kemungkinan dampaknya bisa lebih besar,” katanya.
Selain itu, faktor sumber daya manusia juga sangat penting. ”Kalau dibandingkan, di negara bagian Queensland, misalnya, dari 5 juta penduduk ada 500 epidemilog. Jadi, tidak hanya pemerintah, tetapi kesiapan komunitas juga sangat menentukan,” ucapnya.
Menurut Dicky, kita harus bersiap menghadapi Covid-19 berkepanjangan karena wabah ini tidak akan selesai jika masih ada negara yang belum berhasil mengatasinya. ”Kalau belajar di negara lain, seperti upaya pemulihan, bisa dilakukan di antara gelombang wabah. Jadi, tidak harus menunggu selesai, tetapi harus tetap berdasar data sains,” katanya.
Dia juga mengingatkan, komunikasi risiko menjadi sangat penting dalam penanganan wabah ini, termasuk memberikan pemahaman kepada publik dan pembuat kebijakan bahwa wabah ini bakal berkepanjangan. Komunikasi risiko yang transparan ini harus mendorong pada penguatan kesiapsiagaan.
Epidemiolog senior, I Nyoman Kandun, mengatakan, surveilans epidemiologi harus tajam sehingga risiko bisa dikelola dengan baik. ”Hazard-nya harus diketahui dan kerentanannya diidentifikasi. Untuk menurunkan risiko, kapasitasnya harus ditingkatkan dengan memperbaiki deteksi, pencegahan, dan respons. Tujuan akhirnya, manusianya harus sehat dan produktif,” tuturnya.