Kejenuhan Mengurangi Kewaspadaan Warga Selama Pembatasan Mikro
Sebagian warga mengendurkan kewaspadaan Covid-19 karena jenuh dengan pembatasan kegiatan yang berkepanjangan. Kondisi ini melelahkan warga, termasuk para pengurus RT dan RW di Jakarta.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Faktor kejenuhan mengendurkan kewaspadaan warga di tengah pembatasan kegiatan saat pandemi Covid-19. Kondisi itu membuat orang cenderung abai dengan risiko penularan, meskipun langkah pencegahan telah gencar hingga ke lingkungan permukiman.
Aktivitas kerumunan masih berlangsung di sekitar zona risiko penularan Covid-19 di Jakarta pada Jumat (19/2/2021). Sejumlah warga di RW 002 Kelurahan Wijaya Kusuma, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, masih berkumpul dan berkendara tanpa masker meski lingkungan mereka ditandai bendera kuning. Bendera ini menandakan adanya satu sampai lima rumah dengan kasus positif Covid-19.
Subeni (44), warga setempat menuturkan, sebagian orang di lingkungan tempat tinggalnya masih rutin bepergian jarak dekat dan jauh. Setelah berkegiatan, mereka biasanya kumpul di sekitar rumah untuk mengobrol ringan dan melepas penat. Hal itu menjadi biasa meski ada sebagian warga yang masih menjalani isolasi mandiri di rumah.
Sebagian orang sepertinya jenuh hampir setahun hidup di tengah pandemi. Ada yang awalnya berusaha jaga diri dan pakai masker, tetapi ujung-ujungnya tetap kena dan sampai dirawat juga.
Menurut dia, warga relatif lebih santai menyikapi kasus positif karena lingkungannya pernah menjadi kluster penularan Covid-19. Sekitar Juni 2020, ada lebih dari 30 orang di RT 001 dan RT 002 yang terpapar Covid-19. Sebagian mereka dirujuk ke rumah sakit, sementara sisanya isolasi mandiri di rumah.
”Sebagian orang sepertinya jenuh hampir setahun hidup di tengah pandemi. Ada yang awalnya berusaha jaga diri dan pakai masker, tetapi ujung-ujungnya tetap kena dan sampai dirawat juga. Sampai sekarang akhirnya sebagian orang pasrah saja, yang masih rajin (pakai masker), ya, tetap pakai. Yang enggak, ya, biarin saja,” kata warga RT 002 ini.
Kejenuhan serupa juga disampaikan Iyas (36) yang tinggal di RW 006 Kelurahan Galur, Johar Baru, Jakarta Pusat. Status zona kuning penularan di sana tidak banyak dipahami warga sekitar. Warga masih tampak berkerumun di pasar tradisional dan warung setempat.
Dalam aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berskala mikro, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membagi zona menjadi hijau, kuning, oranye, dan merah. Wilayah hijau berarti tidak memiliki kasus aktif, sedangkan kuning berarti ada 1-5 rumah dengan kasus positif. Oranye berarti ada 6-10 rumah dengan kasus Covid-19, serta merah berarti lebih dari 10 rumah di RT itu yang terdapat kasus aktif.
Ketua Forum RT/RW DKI Jakarta Mohammad Irsyad menuturkan, pengurus yang juga bertugas sebagai Satgas Covid-19 di lingkungan ikut kelimpungan mengingatkan kepatuhan protokol kesehatan. Hal ini karena kondisi warga yang semakin jenuh dengan kebijakan pembatasan.
”Teman-teman pengurus RT dan RW juga merasakan warga sudah jenuh. Mereka mungkin lelah dengan kebijakan pembatasan yang berlarut-larut. Walau kita sudah imbau, sulit untuk patuh karena sepertinya warga pun sudah capek,” ungkapnya.
Dengan diterapkannya PPKM berskala mikro, pengurus RT dan RW berusaha lebih hati-hati saat mengingatkan warga. Irsyad selalu menanamkan pemahaman bahwa menjaga protokol kesehatan itu untuk kepentingan orang banyak sehingga paparan Covid-19 tidak semakin banyak.
Hasil ”Monitoring Kepatuhan Protokol Kesehatan” yang dihimpun Satgas Covid-19 menunjukkan, tingkat kepatuhan warga dalam memakai masker dan menjaga jarak cenderung turun dari periode September 2020 hingga Januari 2021. Awal pemantauan selama 23-27 September 2020, tingkat kepatuhan menggunakan masker 83,7 persen dan menjaga jarak 59,57 persen. Sementara pada Januari 2021, angka itu turun menjadi 50,27 persen pada penggunaan masker dan 35,9 persen untuk menjaga jarak.
Setelah PPKM berjalan, angka rata-rata kepatuhan perlahan meningkat lagi. Berdasarkan data per 17 Januari, tingkat kepatuhan naik menjadi 62,46 persen untuk pakai masker dan 53,09 persen untuk menjaga jarak.
Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Indonesia Paulus Wirutomo menyatakan, kejenuhan warga sangat mungkin terjadi karena langkah pembatasan yang tarik-ulur terus-menerus. Kejenuhan publik adalah implikasi dari keterlambatan pemerintah dalam melibatkan warga untuk penanganan Covid-19.
Menurut dia, publik sebelumnya menjalankan instruksi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tanpa unsur keterlibatan secara penuh. Hal ini berbeda dengan PPKM berskala mikro yang kini berjalan hingga 22 Februari. Kendati sebagian warga masih abai, sebagian besar pengurus RT dan RW sebagai perwakilan tingkat komunitas makin terlibat.
Paulus menilai PPKM skala mikro adalah pencapaian bagus untuk mendisiplinkan warga pada level komunitas. Namun, praktik di lapangan butuh konsistensi agar warga makin paham dengan zona penularan dan risiko paparan Covid-19.
Tantangan lainnya adalah mendisiplinkan RT dan RW yang masih abai. ”Kehidupan sosial warga memang sangat dinamis, pasti ada saja warga yang abai. Tapi ini mungkin masih lebih baik daripada PSBB sebelumnya yang terlalu instruktif tanpa pelibatan komunitas. Pekerjaan selanjutnya adalah memberikan pemahaman kepada komunitas dengan cara yang mudah dipahami,” kata Paulus.
Anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, menilai, harus ada peningkatan skala deteksi di zona kuning, oranye, dan merah penularan Covid-19. Pemerintah perlu melacak kasus secara aktif atau active case finding di lokasi berisiko.
Langkah tes masif penting untuk kembali memetakan kembali zona risiko sambil mendisiplinkan kepatuhan protokol kesehatan. ”Untuk wilayah permukiman padat, kita tidak bisa berharap terlalu indah protokol kesehatan dapat berjalan ideal. Karena itu, perlu dilakukan pelacakan di tiap zona berisiko sambil menjalankan protokol kesehatan semampunya,” ujar Hermawan.
Seiring dengan itu, dia menyarankan program vaksinasi harus segera menyasar kalangan renta dan lansia. Hal tersebut demi mengurangi potensi paparan Covid-19 di kalangan mereka yang punya penyakit komorbiditas.