Surveilans Genomik Indonesia Peringkat Ke-7 di ASEAN
Berdasarkan jumlah total genom yang didaftarkan ke bank data GISAID, Indonesia hanya menempati peringkat ke-7 dari 10 negara di Asia Tenggara. Dalam hal ini, Indonesia hanya lebih baik dari Myanmar, Filipina, dan Laos.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kapasitas surveilans genomik Indonesia untuk mendeteksi varian baru SARS-CoV-2 dinilai masih sangat kurang. Berdasarkan jumlah total genom yang didaftarkan ke bank data GISAID, Indonesia hanya menempati peringkat ke-7 dari 10 negara di Asia Tenggara.
Peneliti genomik molekuler dari Aligning Bioinformatics dan anggota konsorsium Covid-19 Genomics UK, Riza Arief Putranto, di Jakarta, Selasa (16/2/2021), mengatakan, berdasarkan analisis yang dilakukannya dari data GISAID dan Worldometers, Indonesia baru mendaftarkan 394 total genom SARS-CoV-2. Jumlah ini hanya 0,03 persen dari total kasus Covid-19 di Indonesia.
Dengan persentase ini, Indonesia hanya berada di urutan ke-7 dari 10 negara di Asia Tenggara. Indonesia hanya lebih baik dari Filipina, Myanmar, dan Laos. ”Kunci dari kesuksesan surveilans genomik adalah jumlah genom mengejar jumlah kasusnya agar dapat mewakili variabilitas varian SARS-CoV-2 di negara tersebut. Nilai minimal jumlah genom yang mewakili jumlah kasus seharusnya sama atau lebih dari 0,05 persen, sedangkan nilai ideal adalah 1 persen atau lebih,” tuturnya.
Mutasi-mutasi tertentu yang hendak dicari ditarget dalam analisis PCR. Ini sudah biasa dipakai untuk forensik. Selain lebih cepat, biayanya bisa lebih murah.
Myanmar baru mendaftarkan 41 genom atau 0,03 dari total kasus Covid-19 di negaranya dan Filipina baru mendaftarkan 35 genom atau 0,01 persen dari total kasus. Sementara Laos belum mendaftarkan analisis genomnya.
Untuk ASEAN, negara dengan persentase analisis genomik paling tinggi adalah Kamboja, yaitu sebanyak 46 atau 9,6 persen dari total kasusnya yang hanya 479 kasus. Berikutnya, Vietnam sebanyak 150 genom atau 6,61 persen.
Menurut Riza, walaupun dengan jumlah genom terbatas, Filipina berhasil menemukan varian baru B.1.1.7 dari Inggris. Hal ini bisa dilakukan dengan strategi surveilans terfokus pada kasus positif impor.
Filipina menemukan kasus pertama adanya varian baru dari Inggris, B.1.1.7, setelah menganalisis spesimen yang diambil dari pria yang memiliki riwayat perjalanan dari Dubai, Uni Emirat Arab, pada 27 Desember 2020-7 Januari 2021. Hasil penelusuran kontak erat pasien ini juga menemukan 13 orang lain yang positif Covid-19. Sebanyak 10 orang di antaranya adalah penumpang pesawat bersama dengan kasus pertama.
Sementara itu, secara global, GISAID telah menerima data 532.067 genom atau 0,49 persen dari total kasus Covid-19 di dunia yang mencapai 109,5 juta kasus. Negara dengan persentase analisis genomik paling tinggi adalah Australia, yang mendaftarkan 17.235 genom dari 28.900 kasus atau 59.64 persen. Berikutnya, Selandia Baru mendaftarkan 1.107 genom dari 2.336 kasus atau 47,39 persen.
Modifikasi PCR
Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman David Handojo Muljono mengatakan, surveilans genomik di Indonesia harus terus diperbanyak. Namun, surveilans genomik ini, selain butuh waktu lama, hanya bisa dilakukan di laboratorium spesifik dan biayanya juga mahal. ”Satu sampel bisa belasan juta rupiah,” katanya.
Oleh karena itu, dia juga menyarankan agar dilakukan analisis polymerase chain reaction (PCR) yang dimodifikasi pengurutannya atau dikenal juga sebagai targeted sequencing. ”Jadi, mutasi-mutasi tertentu yang hendak dicari ditarget dalam analisis PCR. Ini sudah biasa dipakai untuk forensik. Selain lebih cepat, biayanya bisa lebih murah,” ujarnya.
Menteri Riset dan Teknologi Bambang PS Brodjonegoro dalam diskusi daring Senin kemarin mengingatkan pentingnya surveilans genomik untuk menemukan varian baru SARS-CoV-2. Hal itu karena sejumlah varian baru, seperti B.1.1.7 dari Inggris, selain lebih menular, juga lebih mematikan. Sementara varian baru dari Afrika Selatan, yaitu B 1.351, berdampak menurunkan efikasi vaksin.
Mutasi baru SARS-CoV-2 juga baru saja ditemukan di Amerika Serikat, yang dikenal sebagai 677 atau Q677P dan saat ini tengah mendapat perhatian dari para ilmuwan. Kajian Emma B Hodcroft dari Institute of Social and Preventive Medicine University of Bern, Swiss, dan tim yang diunggah di Medrxiv.org pada Minggu (14/2/2021) melaporkan adanya tujuh garis keturunan baru yang berkembang dari SARS-CoV-2 terlihat di negara bagian di AS.
Semua mutasi ini berdampak pada wilayah yang sama dari protein paku (posisi asam amino ke-677) yang digunakan virus untuk melekat pada sel yang diinfeksinya. Masih dikaji apakah mutasi ini membuat varian lebih menular, tetapi karena muncul dalam gen yang memengaruhi cara virus memasuki sel manusia, kecurigaan terhadap hal itu sangat tinggi.
David Muljono mengatakan, sebagai virus RNA, SARS-CoV-2 akan terus bermutasi sebagai strategi adaptasi mereka terhadap tekanan lingkungan, termasuk terapi yang diberikan. Semakin besar kasus penularan di suatu komunitas, risiko terjadinya mutasi akan meningkat.