Bencana ganda di masa pandemi Covid-19 berpeluang dan telah terjadi di Indonesia. Penularan Covid-19 pada daerah yang terjadi bencana membutuhkan perhatian khusus.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Intensitas dan frekuensi bencana di Indonesia terus meningkat dengan rata-rata delapan kejadian per hari. Risiko ganda perlu diantisipasi, mengingat pandemi Covid-19 yang kemungkinan masih akan berkepanjangan.
”Jika dirata-rata, jumlah kejadian bencana di Indonesia dalam sehari 8 kali atau sebulan 240 kali. Sedangkan pandemi ini diprediksi baru bisa dikendalikan paling cepat pada September 2021 kalau versi Bappenas. Bahkan, analisis Bloomberg, pengendalian Covid-19 di Indonesia bisa sampai 10 tahun lagi kalau dilihat dari distribusi vaksinnya. Kita harus bersiap dengan ancaman bencana ganda,” kata Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin, Makassar, Adi Maulana, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Forum Denpasar 12, Rabu (10/2/2021).
Belajar dari bencana gempa bumi di Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar), terjadi tren peningkatan kasus Covid-19 hingga 70 persen di daerah ini. Banyak di antara kasus penularan terjadi di kalangan sukarelawan, khususnya tenaga kesehatan (nakes).
Data Satuan Tugas Covid-19 Sulbar menunjukkan, jumlah nakes yang tertular Covid-19 sebanyak 789 orang, seperti 129 nakes di Mamuju dan 76 nakes di Mamuju Tengah. Sedangkan di Majene 172 orang. Terbaru, Kepala Dinas Kesehatan Sulbar Muhammad Alief Satria meninggal dunia karena Covid-19, Minggu (7/2/2021).
Menurut Adi, tempat evakuasi sementara di daerah bencana, seperti Mamuju, telah menjadi kluster penyebaran Covid-19. Di antaranya karena minimnya penerapan protokol kesehatan. Ini menunjukkan, belum adanya antisipasi bencana ganda, gempa bumi dan pandemi.
Peneliti Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Ichsan, mengatakan, dari sejumlah daerah bencana di Indonesia, kondisi pengungsian ditandai dengan adanya kontak erat, sanitasi dan higienitas yang buruk, serta keterbatasan air bersih. Kondisi ini rentan memicu berkembangnya penyakit menular. Di sisi lain, kondisi psikis pengungsi juga memburuk dan berisiko melemahkan imun mereka.
”Faktor-faktor ini membuat pengungsian rentan terhadap Covid-19 dan seharusnya diantisipasi. Khususnya untuk sukarelawan juga minimal harus ada tes rutin, minimal rapid antigen,” katanya.
Tren bencana
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, tren bencana hidrometerologis di Indonesia mengalami peningkatan frekuensi dan intensitas. Misalnya, jika biasanya rata-rata intensitas curah hujan di Jakarta saat puncak musim hujan berkisar 127-150 milimeter (mm) per hari, pada Januari 2020 terjadi hujan dengan intensitas 337 mm per hari.
”Ada lompatan intensitas, frekuensi, dan durasi hujan ekstrem. Ini terjadi karena dampak perubahan iklim global akibat peningkatan emisi gas rumah kaca yang signifikan dalam 30 tahun terakhir,” kata Dwikorita.
Menurut dia, pengukuran emisi di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Kototabang, Sumatera Barat, menunjukkan, konsentrasi karbon dioksida (CO2) pada 2004 sebesar 372 bagian per juta (ppm). Namun, pengukuran terbaru menunjukkan, konsentrasi CO2 di atmosfer sudah mencapai 408 ppm.
”Dampaknya berupa peningkatan suhu, di Indonesia tahun 2020 paling panas kedua setelah 2016. Selain itu, menyusutnya gunung es, meningkatkan siklon tropis, serta frekuensi cuaca dan iklim ekstrem,” katanya.
Sekalipun tren bencana hidrometerologis terus meningkat, bencana gempa bisa lebih merusak.
Menurut Dwikorita, peningkatan suhu udara di Jakarta bahkan sudah melebihi kenaikan suhu udara global, yaitu rata-rata 1,6 derajat celsius dalam 100 tahun. ”Padahal, kesepakatan global (Kesepakatan Paris), kita harus menjaga kenaikan suhu global tidak melebihi 1,5 derajat celsius pada 2032. Kalau tidak ada perubahan perilaku, suhu udara bisa naik 0,5 derajat lagi dibandingkan dengan 2006 dan ini akan ada implikasi lebih buruk,” katanya.
Dampak lain yang tercatat, menurut Dwikorita, adalah meningkatnya periode keberulangan El Nino dan La Nina. Jika pada 1950-1980 periode ulang anomali pemanasan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik yang memengaruhi cuaca global ini adalah 5-7 tahun sekali. Namun, mulai 1981-2019, periode ulangnya menjadi 2-3 tahun.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari mengingatkan, sekalipun tren bencana hidrometeorologis terus meningkat, bencana gempa bisa lebih merusak. Misalnya, jika pada 2020 total rumah rusak di Indonesia akibat bencana mencapai 42.000, pada awal Januari 2021 saja, kerusakan rumah akibat bencana sudah mencapai 47.000. ”Ini karena di awal tahun ini ada gempa bumi di Sulbar,” katanya.