Benahi Pendataan untuk Kejar Target Vaksinasi Covid-19
Kendala pendataan tenaga kesehatan agar dibenahi agar vaksinasi Covid-19 kepada mereka bisa segera diselesaikan. Ini untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kesehatan yang sehari-hari berpotensi terpapar virus.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masalah pendataan dan distribusi vaksin menyebabkan program vaksinasi Covid-19 tahap pertama yang diprioritaskan untuk tenaga kesehatan masih tersendat. Upaya mengatasi ketertinggalan dilakukan seiring dengan perbaikan manajemen pendataan.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dalam diskusi daring, di Jakarta, Rabu (27/1/2021), mengatakan, hingga kini 300.000 tenaga kesehatan (nakes) telah disuntik dari target sekitar 1,3 juta orang yang harus divaksinasi Covid-19. Kendala di tahap awal ini terutama buruknya sistem pendataan selain permasalahan distribusi logistik. ”Terakhir sudah 58.000 orang yang disuntik per hari,” ujarnya.
Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaedi mengatakan, registrasi peserta vaksin dengan sistem daring PeduliLindungi memang menyulitkan pelaksanaannya. ”Akhirnya sekarang dibuat manual di fasilitas kesehatan (faskes) dan mulai berjalan baik,” katanya.
Adib mengingatkan, selain nakes yang bekerja di faskes, banyak di antara mereka yang praktik pribadi dan mereka juga membutuhkan vaksin. ”Jadi, permintaan kami, tolong diberi kemudahan juga untuk dokter yang bekerja di luar fasilitas kesehatan agar bisa mempercepat cakupan. Saya kira ini juga tuntutan sama dari PPNI (Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia) dan organisasi profesi kesehatan lainnya,” katanya.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Hari Hendarto mengatakan, selain dokter yang bertugas, juga banyak calon dokter yang masih menjalani koas, dokter baru lulus, dan internship di daerah terpencil, serta dokter yang menjalani pendidikan spesialis. ”Mereka berisiko tinggi terpapar karena mereka juga garda terdepan. Jadi, saya titip mereka juga mendapat prioritas,” ujarnya.
Budi mengakui, banyak nakes yang sulit mendaftar atau bahkan tidak terdaftar dalam data Kementerian Kesehatan. ”Saya tadi ngecek di Cilandak (Jakarta Selatan), nakes yang datang untuk divaksin 200-an orang, ternyata yang ter-register di sistem pendaftaran Kemenkes hanya 25 orang. Ternyata banyak yang kerja di klinik mandiri dan database kita itu tidak memasukkan mereka,” katanya.
Melihat kenyataan ini, Menteri Kesehatan memutuskan untuk memberikan vaksin kepada seluruh nakes yang telah memiliki surat tanda registrasi (STR), yaitu bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada nakes yang telah memiliki sertifikat kompetensi.
”Intinya jangan terlalu rumit. Mereka yang punya STR apalagi yang sudah punya izin praktik berhak divaksin. Ini sekaligus datanya dimasukkan,” katanya.
Masalah di hulu ini harus dibenahi sehingga kita tidak terus mengepel lantai dengan terus bertambahnya kasus dan pasien. (Budi Gunadi Sadikin)
Kepala Lembaga Biolog Molekuler Eijkman Amien Soebandriyo mengingatkan, selain memastikan cakupan sesuai target, kualitas vaksin juga harus dijaga tetap sama saat disuntikkan.
”Ada beberapa vaksin yang sensitif suhu. Karena suhu di Indonesia tinggi. Nah, kita tidak boleh vaksin terlalu lama terpapar suhu tinggi. Ada vaksin yang stabil pada suhu 2-8 derajat celsius. Ada yang harus minus 70 derajat celsius. Ini akan jadi kendala untuk mengirim vaksin ke daerah pinggiran,” kata Amin.
Selain masalah pendataan dan logistik serta distribusi, program vaksinasi Covid-19 di Indonesia juga menghadapi tantangan penolakan sebagian anggota masyarakat. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, tingkat ketidakpercayaan terhadap vaksin Covid-19 di Indonesia cukup signifikan. Misalnya, survei Kemenkes-Unicef pada September 2020 lalu menemukan, hanya sekitar dua pertiga respoden mengatakan bersedia menerima vaksin.
”Rendahnya penerimaan terjadi karena sejak awal pandemi, komunikasi publik pemerintah kurang baik. Banyak perjabat publik pernyataannya berbeda-beda dan tidak menunjukkan keseriusan menghadapi pandemi. Juga muncul banyak hoaks kesehatan. Bahkan, yang belum percaya Covid-19 juga masih ada. Ini harus dibenahi,” paparnya.
Surveilans
Direktur Eksekutif Center for Strategic International Studies (CSOS) Philips J Vermonte mengingatkan, narasi tentang vaksin yang disampaikan ke masyarakat tidak boleh berlebihan.
”Narasi vaksin terlalu berlebih bisa segera menyelesaikan pandemi akan menurunkan kesadaran terhadap protokol kesehatan. Hal ini juga akan mengacaukan pembentukan kultur baru terkait kesehatan. Jadi, jangan hanya andalkan vaksin, tetapi juga vaksin sosial, yaitu perubahan perilaku,” katanya.
Budi mengatakan, vaksin merupakan strategi keempat dalam mengatasi pandemi. ”Sesuai saran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang mesti diberesin pertama kali adalah sistem kesehatan dan perilaku. Kedua, diagnostik meliputi tes dan tracing, dan isolasi. Berikutnya treatment (perawatan), baru vaksin,” katanya.
Strategi pertama, menurut Budi, membutuhkan kerja sama kementerian dan lembaga lain. Sementara, untuk diagnosis atau surveilans merupakan tanggung jawab Kemenkes, tetapi selama ini memang masih bermasalah.
”Jumlah tes mungkin sudah cukup. Masalahnya, ini belum dilakukan dengan benar. Seharusnya, secara epidemiologi, tes dilakukan untuk identifikasi siapa yang kena dan potensi kena. Tujuannya agar segera isolasi dan menurunkan penularan. Bukan dites karena mau terbang atau pertemuan,” katanya.
Selain itu, menurut dia, cakupan tes di Indoensia juga belum merata. Jakarta sudah cukup tinggi, tetapi daerah lain masih kekurangan. Masalah lainnya adalah pelacakan (tracing).
”Tracing masih kurang, standar WHO 1 : 30. Sekarang rata-rata kita masih 1 : 2. Masalah di hulu ini harus dibenahi sehingga kita tidak terus mengepel lantai dengan terus bertambahnya kasus dan pasien,” katanya.
Sementara itu, penambahan kasus baru di Indonesia mencapai 11.948 sehingga total menjadi 1.024.298. Jumlah kasus aktif juga terus membengkak mencapai 164.113 orang dengan suspek sebanyak 81.589 orang.
Adapun jumlah kematian mencapai rekor tertinggi sejak Maret 2020, yaitu 387 jiwa. Dengan penambahan ini, total kematian karena Covid-19 di Indonesia mencapai 28.855 jiwa.
Data di WHO menunjukkan, tren penambahan kematian harian di Indonesia karena Covid-19 merupakan yang tertinggi di Asia. Tingginya angka kematian ini menunjukkan rumah sakit telah kewalahan menangani jumlah pasien yang terus bertambah.