Riset di Amerika Serikat Temukan Kecerdasan Sistem Kekebalan Penyintas Covid-19
Hasil riset ilmuwan Rockefeller University di AS menunjukkan sistem pertahanan tubuh memiliki ingatan baik akan musuhnya, termasuk SARS-CoV-2, penyebab Covid-19.
Oleh
Ichwan Susanto
·3 menit baca
Penelitian terbaru yang dipublikasikan di Nature pada 18 Januari 2021 membawa kabar menggembirakan bagi kita semua. Sejumlah penyintas Covid-19 yang diteliti para ilmuwan dari the Rockefeller University di New York, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa mereka meningkatkan antibodi selama berbulan-bulan sejak infeksi pertama. Ini diduga karena terdapat paparan sisa-sisa virus yang tersembunyi di usus.
Sebagai catatan di awal, kabar menggembirakan ini tentunya tidak lantas membuat kita lengah dan mengendurkan kedisiplinan menjaga protokol kesehatan. Mengenakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan atau mengurangi mobilitas agar tetap dijalankan untuk mengurangi potensi paparan dan memutus rantai penularan Covid-19.
Hasil riset dari the Rockefeller University ini memberikan bukti bahwa sistem kekebalan tubuh memiliki kemampuan mengingat virus yang secara luar biasa terus meningkatkan kualitas antibodi meski setelah infeksinya berkurang. Antibodi yang diproduksi berbulan-bulan setelah infeksi menunjukkan peningkatan kemampuan untuk memblokir SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, dan versi mutasinya seperti varian Afrika Selatan.
Jumlah keseluruhan sel B memori yang menghasilkan antibodi yang menyerang ”tumit Achilles” (titik lemah) dari virus, yang dikenal sebagai domain pengikat reseptor, tetap sama. (Christian Gaebler)
Berdasarkan temuan ini, para peneliti menduga bahwa ketika pasien yang sembuh bertemu virus berikutnya, tanggapannya akan lebih cepat dan lebih efektif mencegah infeksi ulang.
”Ini benar-benar berita yang menggembirakan. Respons kekebalan yang kita lihat di sini berpotensi memberikan perlindungan untuk beberapa waktu, dengan memungkinkan tubuh melakukan respons yang cepat dan efektif terhadap virus setelah terpapar ulang,” kata Michel C Nussenzweig, Kepala Laboratorium Imunologi Molekuler, dalam laman The Rockefeller University, 18 Januari 2021.
Sejak hari-hari awal pandemi, Nussenzweig dan timnya telah melacak dan mengarakterisasi respons antibodi pada pasien Covid-19 di New York.
Ingatan lama
Antibodi, yang dibuat tubuh sebagai respons terhadap infeksi, bertahan dalam plasma darah selama beberapa minggu atau bulan, tetapi kadarnya menurun secara signifikan seiring waktu. Sistem kekebalan memiliki cara yang lebih efisien untuk menangani patogen.
Alih-alih memproduksi antibodi sepanjang waktu, sistem kekebalan ini menciptakan sel B memori yang mengenali patogen dan dapat dengan cepat melepaskan antibodi baru saat mereka bertemu untuk kedua kalinya. Namun, seberapa baik memori ini bekerja bergantung pada patogennya.
Untuk memahami kasus SARS-CoV-2, Nussenzweig dan rekannya mempelajari respons antibodi dari 87 orang pada dua titik waktu, yaitu satu bulan setelah infeksi dan enam bulan kemudian. Seperti yang diharapkan, mereka menemukan bahwa meskipun antibodi masih dapat dideteksi pada titik enam bulan, jumlahnya telah menurun signifikan. Eksperimen laboratorium menunjukkan bahwa kemampuan sampel plasma peserta untuk menetralkan virus berkurang lima kali lipat.
Sebaliknya, sel B memori pasien, khususnya yang memproduksi antibodi melawan SARS-CoV-2, tidak menurun jumlahnya, bahkan sedikit meningkat dalam beberapa kasus. ”Jumlah keseluruhan sel B memori yang menghasilkan antibodi yang menyerang ’tumit Achilles’ (titik lemah) dari virus, yang dikenal sebagai domain pengikat reseptor, tetap sama,” kata Christian Gaebler, dokter dan ahli imunologi di lab Nussenzweig.
Sel B bermutasi
Pengamatan yang lebih dekat pada sel B memori mengungkapkan hal yang mengejutkan karena sel-sel ini telah mengalami banyak mutasi bahkan setelah infeksinya teratasi. Sebagai hasilnya, antibodi yang mereka hasilkan jauh lebih efektif daripada aslinya. Percobaan laboratorium menunjukkan bahwa kumpulan antibodi baru ini lebih mampu menempel erat pada virus dan bahkan dapat mengenali versi mutasinya.
”Kami terkejut melihat memori sel B terus berevolusi selama ini. Itu sering terjadi pada infeksi kronis, seperti HIV atau herpes, di mana virus bertahan di dalam tubuh. Namun, kami tidak menyangka akan melihatnya dengan SARS-CoV-2, yang diperkirakan akan keluar dari tubuh setelah infeksi teratasi,” kata Nussenzweig.
SARS-CoV-2 bereplikasi di sel tertentu di paru-paru, tenggorokan bagian atas, dan usus kecil. Sisa partikel virus yang bersembunyi di dalam jaringan ini diduga dapat mendorong evolusi sel memori. Untuk melihat hipotesis ini, para peneliti telah bekerja sama dengan Saurabh Mehandru, mantan ilmuwan Rockefeller dan saat ini menjadi dokter di Rumah Sakit Mount Sinai, yang telah memeriksa biopsi jaringan usus dari penyintas atau orang yang telah pulih dari Covid-19 rata-rata tiga bulan sebelumnya.
Pada tujuh dari 14 orang yang diteliti, tes menunjukkan adanya materi genetik SARS-CoV-2 dan proteinnya di dalam sel yang melapisi usus. Para peneliti tidak tahu apakah sisa-sisa virus ini masih menular atau hanya sisa-sisa virus mati.
Tim tersebut berencana untuk mempelajari lebih banyak orang untuk lebih memahami peran apa yang dimainkan oleh penumpang gelap akibat virus dalam perkembangan penyakit dan dalam kekebalan.
Lalu, ada pertanyaan yang mungkin muncul, apakah hasil riset ini bisa memperkuat alasan untuk meningkatkan kampanye donor plasma konvalesen dari para penyintas Covid-19 yang sedang digalakkan di Indonesia bagi para pasien yang masih berjuang menghadapi penyakit itu?