Budi Gunadi: Vaksinasi Bukan Satu-satunya Cara Atasi Pandemi
Vaksinasi Covid-19 bukan peluru perak yang bisa segera mengakhiri pandemi. Namun, program tersebut diharapkan membantu membentuk kekebalan kelompok untuk mengurangi angka kejadian dan kesakitan penyakit itu.
Program vaksinasi Covid-19 secara massal sudah berlangsung di Indonesia. Pada tahap awal, sebanyak 1,4 juta petugas kesehatan akan menjadi prioritas awal dalam pemberian vaksin. Ditargetkan, 181 juta penduduk akan divaksinasi secara bertahap agar kekebalan komunitas untuk melawan virus penyebab Covid-19 bisa terbentuk.
Meski begitu, vaksinasi ini bukan peluru perak untuk memutus rantai penularan Covid-19. Strategi lain seperti penguatan pemeriksaan atau testing, pelacakan, dan isolasi, serta kepatuhan dalam menjalankan protokol kesehatan justru lebih penting.
Budi Gunadi Sadikin atau yang biasa disapa BGS, yang belum genap sebulan menjabat sebagai Menteri Kesehatan, mengatakan, tanggung jawab menuntaskan pandemi adalah tugas yang tidak mudah. Apa saja tantangannya?
Berikut kutipan wawancara Kompas dengan Budi Gunadi Sadikin di Jakarta, Rabu (15/1/2021) terkait pelaksanaan vaksinasi dan strategi yang dilakukan untuk meyelamatkan masyarakat Indonesia dari pandemi Covid-19.
Apa tujuan utama dilakukan vaksinasi Covid-19 di Indonesia?
Targetnya adalah untuk memutus rantai penularan Covid-19 dengan menciptakan herd immunity (kekebalan komunitas). Namun, itu baru bisa dicapai jika 70 persen penduduk kita diimunisasi. Itu yang kadang dilupakan oleh banyak orang, bahwa imunisasi bukan hanya melindungi diri sendiri, tetapi juga orang lain, tetangga, seluruh orang Indonesia, dan bahkan seluruh dunia. Jadi, vaksinasi ini sifatnya sangat sosialis bukan individualis.
Petugas menyuntikan vaksin pada salah satu tenaga kesehatan di Puskesmas Pandanaran, Kota Semarang Jawa Tengah, Jumat (15/1/2021). Pada tahap pertama program vaksinansi ini tenaga kesehatan menjadi prioritas utama.
Imunisasi bukan hanya melindungi diri sendiri, tetapi juga orang lain, tetangga, seluruh orang Indonesia, dan bahkan seluruh dunia.
Apakah dengan vaksinasi bisa mengakhiri pandemi?
Di mana pun, imunisasi untuk mengendalikan pandemi butuh waktu panjang. Untuk memvaksinasi 70 persen penduduk dunia itu lama. Vaksinasi ini hanya salah satu program untuk mengalahkan pandemi tetapi bukan satu-satunya. Karena itu, upaya preventif dan promotif harus tetap dilakukan.
Baca juga Protokol Kesehatan Tetap Wajib Setelah Vaksinasi
Bagaimana mengkomunikasikan ke pemangku kepentingan lain serta masyarakat terkait hal itu?
Narasi harus disampaikan pelan-pelan, bahwa vaksinasi harus dibarengi perbaikan public health system. Perilaku kita harus berubah, mulai dari terus memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Di lain sisi, kita juga harus memperbaiki 3T (testing, tracing, treatment), dan surveilans kita.
Terkait upaya 3T yang selama ini dinilai belum optimal, bagaimana strategi untuk memperbaiki?
Soal testing, WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) sudah jelas menargetkan 1 per 1.000 penduduk per minggu. Kalau penduduk di Indonesia ada 269 juta, artinya butuh 269.000 orang di tes per minggu atau sekitar 40.000 orang per hari. Jumlah itu sudah pernah kita penuhi. Kapasitas pemeriksaan kita juga sudah sampai 70.000 pemeriksaan perhari.
Namun, kenapa testing ini masih jadi persoalan? Alasannya jumlah 40.0000 orang itu adalah jumlah agregat. Di kota besar satu orang bisa dites beberapa kali. Tapi ada daerah yang belum mampu melakukan tes. Kita masih harus perbaiki agar testing bisa merata. Pemerataan fasilitas perlu dilakukan.
Selain itu, kita juga perlu memperbaiki strategi. Testing harus dilakukan berdasarkan proses pelacakan kasus. Jika ada suspek atau kontak erat, itulah yang harus dites. Kita akan coba untuk mengeluarkan testing mandiri, seperti untuk syarat naik pesawat atau hadir di suatu acara, dari perhitungan yang dilaporkan. Jadi, angka testing yang dilaporkan benar-benar yang sesuai dengan kaidah epidemiologi.
Bagaimana memperkuat promotif dan promotif dalam penanganan pandemi?
Kementerian Kesehatan ditugaskan sebagai leading sector dalam penanganan pandemi. Namun, garda terdepan untuk menghadapi ini ada di masyarakat. Kita terus berupaya menyadarkan masyarakat dengan membangun gerakan di masyarakat, salah satunya dengan memperkuat basis di puskesmas. Selain itu, kita juga perlu memperkuat kerjasama antarsektor. Ini yang sekarang menjadi tantangan.
Pemerintah menargetkan vaksinasi bisa selesai dalam 15 bulan, bahkan dipercepat 12 bulan. Apa strategi yang disiapkan?
Kita sudah menghitung dari hulu hingga hilir, dari proses produksi vaksin sampai pelaksanaan vaksinasi. Dari hitungan kami, setiap klinik setidaknya bisa menvaksin sekitar 100 orang per hari dan rumah sakit sekitar 300 orang per hari. Artinya, 24 juta orang bisa divaksin dalam sebulan. Jika dihitung setengahnya saja, 12 juta per bulan, setahun kita bisa memvaksinasi 144 juta orang.
UNICEF telah meyakinkan bahwa kita bahkan sanggup memvaksinasi sampai 40 juta per bulan karena jaringan puskesmas dan posyandu kita sudah bagus. Kita juga sudah menyiapkan 30.000 vaksinator yang masing-masing bisa melakukan penyuntikan 300 orang per hari sehingga 27 juta orang bisa disuntik dalam sebulan.
Namun, masalahnya ternyata bukan di proses vaksinasi, melainkan ketersediaan vaksin. Dari hitungan kami, ketersediaan vaksin baru bisa dipenuhi dalam 15 bulan. Kami sekarang berusaha untuk menegosiasi agar produsen vaksin bisa lebih cepat mengirimkan vaksin. Yang jelas, vaksin yang akan diberikan ke masyarakat, apapun jenisnya akan diberikan secara gratis.
Apakah sudah ada pembagian yang jelas dan detail terkait dengan jenis vaksin dan penerimanya?
Kita belum membagi secara detail. Jadi sekarang baru ada data secara keseluruhan. Namun, kami akan segera mencoba untuk mendetilkannya
Baca juga Vaksinasi Covid-19 untuk Kekebalan Bersama
Bagaimana soal distribusi vaksin dan tempat penyimpanannya? Termasuk distribusi vaksin dari Pfizer yang perlu suhu penyimpanan sampai minus 70 derajat Celcius?
Itu masih banyak yang perlu dipernaiki. Jadi jumlah (tempat penyimpanan dengan rantai dingin) masih jadi kendala. Kita belum pernah melakukan vaksinasi sebanyak dan secepat ini. Di lain sisi, imunisasi program untuk anak-anak tidak boleh berhenti sehingga kapasitas (cold chain) butuh lima kali lipat.
Terkait vaksin dari Pfizer, kami meminta agar tempat penyimpanan lagsung diurus dari pihak Pfizer. Kita akan beli dengan harga sepaket dengan vaksin sampai dengan pengirimannya sampai puskesmas. Namun, pengirimannya hanya bisa dilakukan pada lokasi yang memiliki lapangan terbang. Jadi tak bisa dikirimkan ke semua puskesma tapi bisa sampai luar Jawa.
Apakah jumlah vaksinasi yang disediakan sudah menghitung keperluaan vaksin untuk booster?
Belum. Kita sendiri belum tau berapa lama antibodi bisa bertahan di tubuh setelah pemberian vaksin ini. Karena itu, uji klinis yang dilakukan di Bandung masih terus dipantau untuk memastikan hal itu.
Apakah ada rencana perluasan target penerima vaksin? Sejumlah epidemiolog menyampaikan dengan efikasi 65,3 persen perlu ada perluasan target lebih dari 70 persen penduduk.
Jumlah 181 juta penduduk yang menjadi target penerima vaksin sudah memperhitungkan apabila efikasi vaksin 60 persen. Jadi itu masih bisa untuk mencapai herd immunity. Jumlah itu juga sudah mempertimbangkan penambahan kasus atau reproduction number yang masih tinggi seperti saat ini. Masyarakat perlu paham bahwa efikasi 65,3 persen itu tetap bisa menekan pertambahan kasus. Yang terpenting vaksin ini aman dan sudah disetujui oleh Badan POM.
Apakah dengan tingkat penularan yang masih tinggi, manfaat vaksinasi tetap bisa optimal?
Idealnya, vaksinasi dilakukan saat kurva kasus positif menurun. Namun, kondisi saat ini, jumlah masyarakat yang meninggal karena Covid-19 sudah sampai 300 orang per hari. Apakah ini harus ditunda? Sebagai Menteri Kesehatan yang bertanggung jawab pada kesehatan masyarakat, saya pilih untuk melakukan vaksinasi saja dulu tidak perlu menunggu kurva menurun.
Survei dari Litbang “Kompas” menyatakan masih tingginya masyarakat yang tidak percaya terhadap vaksin. Bagaimana mengatasi?
Pertama kita perlu tahu siapa saja yang menolak vaksinasi. Kita akan berupaya untuk mendatangi dan melakukan pendekatan secara pribadi. Kelompok yang menolak vaksin itu ada tiga kriteria, yakni yang memang belum tahu, yang sulit diberitahu tetapi akhirnya bisa menerima, dan yang memang tidak mau tahu. Nah, tugas kita untuk mengkomunikasikan ke kelompok yang belum tahu dan sulit diberi tahu. Pendekatan yang baik tentu akan bisa mendorong mereka untuk mau divaksinasi.
Kami juga terus mengkampanyekan ke berbagai komunitas terkait vaksinasi. Kami berharap vaksinasi ini bisa menjadi gerakan bersama sehingga setiap komunitas memiliki rasa kepemilikan terhadap gerakan ini. Saat ini sudah banyak muncul jargon dari berbagai komunitas yang menyatakan siap divaksinasi.
Bagaimana mengkomunikasikan ke masyarakat terkait vaksinasi, 3T, dan 5M?
Salah satunya dilakukan dengan terus menerus menyampaikan ke berbagai media. Kita tidak mungkin menyelesaikan pandemi sendiri. Kita perlu rangkul banyak orang karena sampai sekarang masih ada yang tidak percaya dengan Kemenkes. Ini menjadi semakin berat. Karena itu, kita perlu terus berupaya untuk meningkatkan kepercayaan.
Bagaimana antisipasi untuk menghadapi banyak kasus baru, infeksi yang berulang, serta mutasi-mutasi baru dari virus penyebab Covid-19?
Kita sedang membangun “infrastruktur intel” untuk mengetahui keberadaan virus hasil mutasi melalui whole genome sequencing. Saat ini kita hanya memiliki 12 laboratorium yang bisa melakukan. Yang paling besar di Balitbangkes, namun kekurangan tenaga ahlinya. Karena itu perlu ada kerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga riset.
Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional sudah bersepakat membangun jaringan infrastruktur intel untukmeneliti virus melalui jaringan laboratorium yang mampu melakukan whole genome sequencing.
Jaringan ini berfungsi sebagai wadah untuk bertukar informasi, sumber daya manusia, serta berkoordinasi dengan jaringan di luar negeri. Sekarang baru mulai dilakukan pelaporan dari setiap bandara yang memiliki traffic tinggi dari masuknya orang dari luar negeri. Dilakukan pengambilan sampel darah secara acak dan dikirim ke laboratorium untuk diperiksa.
Baca juga Euforia Vaksinasi Membahayakan
Apakah gencarnya program vaksinasi melemahkan kepatuhan protokol kesehatan 5M, termasuk upaya 3T?
Buat saya, vaksinasi ini harus jalan dulu agar semua stakeholder percaya bahwa kita bisa jalan. Seiring dengan itu, kita sampaikan bahwa kalau kita ingin menyelesaikan pandemi ini. Selain vaksin, kita harus membereskan soal 3T dan 3M. Jadi, hulunya harus diberesin dulu.
Ada empat strategi yang harus dijalankan, sesuai dengan arahan WHO, yaitu diagnostik melalui testing, tracing, dan isolasi. Kemudian terapeutik itu rumah sakit untuk merawat pasien. Public health system seperti kepatuhan pada protokol kesehatan. Barulah vaksinasi. China sudah membuktikan itu. Mereka berhasil mengatasi pandemi tanpa vaksinasi.
Jadi perlu dipahami, vaksinasi bukan satu-satunya cara untuk memutus rantai penularan. Tugas saya saat ini sebagai Menteri Kesehatan adalah mempersiapkan infrastruktur kesehatan kita, termasuk infrastruktur intel terkait keberadaan virus. Hal ini penting untuk menghadapi pandemi yang mungkin akan datang. Pandemi lain akan datang dan mungkin bisa lebih ganas.
[video width="640" height="352" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2021/01/WhatsApp-Video-2021-01-13-at-10.03.41-PM.mp4"][/video]