Sejumlah Rumah Sakit Penuh, Pertegas Regulasi Pembatasan Sosial
Sejumlah rumah sakit di daerah menunjukkan keterisian lebih dari 70 persen yang menjadi alarm kondisi bahaya apabila terjadi lonjakan kasus Covid-19.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah pasien Covid-19 yang terus bertambah menyebabkan rumah sakit di sejumlah daerah tidak dapat menerima pasien baru. Rumah sakit pun sudah menerapkan sistem penapisan pelayanan hanya pada pasien dengan gejala sedang sampai berat. Karena itu, regulasi terkait pembatasan sosial perlu dipertegas untuk mencegah timbulnya penularan baru yang kian meluas.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per 1 Januari 2020, persentase nasional untuk keterisian tempat tidur isolasi dan ICU pasien Covid-19 di rumah sakit mencapai 67,17 persen. Sementara itu, beberapa provinsi menunjukkan jumlah keterisian tempat tidur sudah lebih dari batas standar yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 70 persen.
Wilayah dengan jumlah keterisian yang tinggi, antara lain, adalah DKI Jakarta (85,1 persen), Banten (84,3 persen), DI Yogyakarta (81,7 persen), Sulawesi Barat (79,3 persen), Jawa Barat (77,8 persen), Jawa Timur (77,1 persen), dan Jawa Tengah (74,6 persen). Adapun kasus aktif yang masih dirawat serta menjalani isolasi mandiri per 2 Januari 2020 mencapai 110.400 orang.
Pasien pun mulai kesulitan mendapatkan ruang perawatan, sementara IGD juga terbatas.
”Rumah sakit di beberapa daerah memang sudah sangat penuh. Pasien pun mulai kesulitan mendapatkan ruang perawatan, sementara IGD juga terbatas. Antisipasi penanganan kasus sangat diperlukan karena dikhawatirkan satu pekan lagi ada lonjakan kasus dari dampak libur akhir tahun,” ujar Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Daniel Budi Wibowo di Jakarta, Sabtu (2/1/2021).
Ia mengatakan, saat ini rumah sakit sudah menerapkan penapisan pasien secara ketat. Artinya, pasien yang dirawat di rumah sakit merupakan pasien dengan gejala berat dan sedang. Sementara pasien dengan gejala ringan diarahkan untuk menjalani isolasi mandiri dengan pengawasan dari fasilitas kesehatan, seperti puskesmas ataupun rumah sakit.
Meski masih ditemukan sejumlah kendala, sistem rujukan terintegrasi juga sudah berjalan di beberapa daerah, terutama di kota besar dengan kasus tinggi. Sistem rujukan terpadu yang dijalankan secara komputasi ini dapat diakses oleh rumah sakit di suatu daerah untuk melihat ketersediaan tempat tidur isolasi dan ICU di rumah sakit lain. Dengan begitu, pasien bisa langsung dirujuk ke rumah sakit yang masih tersedia tempat tidur.
”Fokus kita saat ini memastikan semakin banyak kasus yang sembuh dan mencegah adanya kematian. Jika rumah sakit penuh serta tenaga kesehatan dan tenaga medis kewalahan, perawatan yang diberikan kepada pasien tidak akan optimal,” tutur Daniel.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menyebutkan, per 2 Januari 2021 tercatat ada 7.203 kasus baru yang terkonfirmasi positif Covid-19 dengan 226 kematian. Dengan begitu, total kasus saat ini menjadi 758.473 kasus dengan 22.555 kematian akibat Covid-19.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya menuturkan, sejumlah langkah telah dilakukan untuk mempersiapkan rumah sakit dalam menghadapi lonjakan kasus baru Covid-19. Rumah sakit sudah diminta untuk menambah alokasi tempat tidur sebanyak 30 persen dari jumlah yang tersedia.
”Kita juga meminta RS menjalankan protap (prosedur tetap) bahwa pasien setelah 10 hari dirawat dan terlihat gejala klinisnya cukup baik, maka dipulangkan tanpa harus menunggu hasil swab negatif, tetapi tetap dalam pemantauan. Jika setelah 10 hari dirawat gejala belum membaik, perawatan bisa dilanjutkan,” paparnya.
Prosedur tersebut dilakukan agar tempat tidur bisa tetap tersedia bagi pasien baru yang membutuhkan penanganan segera. Koordinasi dengan lintas sektor juga terus dijalankan agar pergerakan masyarakat bisa dibatasi. Kebijakan uji usap antigen menjadi salah satu cara untuk membatasi pergerakan tersebut.
”Kami ini garda terakhir. Jika masyarakat tidak patuh protokol kesehatan dan sering keluar rumah hanya untuk liburan atau hal yang tidak penting, berapa pun tempat tidur dan sistem yang kita buat itu tidak akan sanggup untuk menghadapi jumlah pasien yang terus naik,” kata Azhar.
Pembatasan mobilitas
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (Iakmi) Ede Surya Darmawan berpendapat, pemerintah saat ini perlu lebih tegas untuk membatasi mobilitas masyarakat. Pembatasan sosial berskala besar yang dipilih pemerintah untuk mengadapi kedaruratan kesehatan masyarakat akibat pandemi tidak akan efektif jika dijalankan tanpa ada pengawasan yang ketat.
Menurut dia, karantina wilayah sudah perlu dilakukan secara terbatas di wilayah dengan penularan yang tinggi. Aktivitas masyarakat yang tidak mendesak juga harus dibatasi, misalnya pada tempat rekreasi. Bahkah, tempat rekreasi tidak boleh dibuka terlebih dahulu sebelum kasus terkendali.
”Tahun ini harus ada upaya yang lebih tegas dalam menangani Covid-19. Harapan baru harus disertai dengan kebijakan dan aksi yang baru. Mini lockdown bisa dipilih serta memperkuat mitigasi risiko dalam hal ini pelaksanaan 3T (tracing, testing, dan treatment). Anggaran negara juga perlu difokuskan untuk mendukung upaya mitigasi itu,” tutur Ede.
Daniel mengatakan, kasus penularan baru perlu ditekan semaksimal mungkin. Peningkatan kapasitas pelayanan kesehatan tidak bisa dilakukan secara cepat. Penyediaan sumber daya manusia yang bertugas di fasilitas kesehatan juga perlu proses yang panjang, sekalipun pendaftaran relawan tenaga kesehatan terus dibuka.
Beban kerja tenaga kesehatan pun semakin bertambah jika kasus penularan terus meningkat. Hal ini dapat berpengaruh pada kondisi kesehatan tenaga kesehatan yang juga bisa menyebabkan risiko penularan yang semakin tinggi.
Data yang dihimpun oleh Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia serta organisasi profesi lainnya menyebutkan, setidaknya terdapat 504 petugas medis yang meninggal akibat terinfeksi virus penyebab Covid-19. Mereka terdiri dari 237 dokter, 15 dokter gigi, 171 perawat, 64 bidan, 7 apoteker, dan 10 tenaga laboratorium medik. Kematian tenaga medis dan tenaga kesehatan di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia.