Guru Besar Pulmonologi yang Futuristik Itu Telah Pergi
Hadiarto Mangunnegoro, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, wafat. Karyanya dalam penanggulangan penyakit akibat merokok, tuberkulosis, asma, dan penyakit paru obstruktif kronis dirasakan masyarakat.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·5 menit baca
Hadiarto Mangunnegoro, Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), wafat pada usia 78 tahun. Hadiarto wafat Kamis (31/12/2020) pukul 05.15 WIB setelah lebih dari tiga minggu dirawat di RS Persahabatan karena Covid-19. Jenazah dimakamkan di pemakaman San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat.
Dokter kelahiran Cianjur, 18 Juli 1942, itu meninggalkan seorang istri, Ny Sri Indah Sari, tiga putra dan putri, Sharita Miranda, Aryo Indarto, dan Arditto Rahardjo, beserta para menantu dan cucu.
Sebagai dokter pulmonologi, menurut penuturan para muridnya yang juga para guru besar Pulmonologi dan kedokteran Respirasi FKUI, Tjandra Yoga Aditama dan Menaldi Rasmin, Hadiarto dikenal mampu membangun hubungan dokter-pasien dengan sangat baik. Tidak heran dalam whatsapp group para dokter pulmonologi, banyak ucapan dukacita. Tidak hanya sebagai murid dan sejawat, tetapi juga banyak yang menjadi pasien setia.
Tjandra mengatakan, seorang pasien, Dian Syarief, Ketua Yayasan Syamsi Dhuha yang bergerak di bidang kesehatan, terutama lupus, bahkan menyebut nama Prof Hadiarto saat menerima Sasakawa Health Prize dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Geneva, tahun 2012.
Tak hanya pada pasien, Kompas mengenang Hadiarto sebagai narasumber yang sangat responsif jika diminta wawancara di lapangan ataupun wawancara khusus. Ia bahkan menuang teh dan menyajikan sendiri jika wawancara berlangsung di ruang kerjanya. Beliau juga sering mengapresiasi tulisan lewat pesan Whatsapp, tidak hanya yang terkait paru atau Covid-19, tapi juga tulisan kesehatan lain yang dianggap menarik.
Tajam, cepat, dan luas
Menaldi menyatakan, Hadiarto menuntut para murid sekaligus memberi contoh bahwa seorang dokter harus mampu berpikir secara tajam, cepat, dan luas. Selain itu sebagai klinisi harus terampil dan halus penanganannya sehingga tidak menyakitkan pasien dalam pemeriksaan intervensi. Hadiarto juga banyak menulis karya ilmiah dalam bentuk buku ataupun untuk jurnal ilmiah.
Hadiarto lulus dari FKUI tahun 1966, kemudian mendapatkan surat tanda keahlian dokter paru pada 7 Januari 1977. Ia mengikuti pendidikan latihan Bronkoskopi di Lembaga Penelitian Tuberkulosis, Tokyo, Jepang (1970), pendidikan Fisiologi Paru Klinik dan Penyakit Paru Obstruktif Menahun di Universitas Kyoto, Jepang (1978), serta di Universitas Colorado, Amerika Serikat (1985).
Ahli paru itu pernah menjabat sebagai Wakil Direktur Pelayanan Medis RSUP Persahabatan (1987-1995). Di lingkungan FKUI menjadi Kepala Bagian Pulmonologi FKUI (1987-1998) dan Kepala Staf Medik Fungsional Paru RSUP Persahabatan (1989-1998). Berbagai jabatan lain yang pernah diemban adalah anggota Majelis Wali Amanat UI, anggota Senat Akademik UI, anggota Dewan Guru Besar UI, dan anggota Dewan Pengawas RSUP Cipto Mangunkusumo.
Dalam organisasi kedokteran, Hadiarto merupakan motor penggerak pembentukan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) yang digagas pendahulunya, Rasmin Rasyid, dan pernah menjadi ketua organisasi itu sebanyak tiga periode.
Di tataran internasional, Hadiarto antara lain menjadi salah satu pendiri Asia Pacific Society of Respirology (APSR), anggota Working Group on Asthma Management Global Initiative of Asthma (GINA), President of the 14th Asia Pacific Congress on Diseases of the Chest (APCDC), dan Regent of Indonesian Chapter American College of Chest Physician (ACCP). Menurut Menaldi, Hadiarto adalah Bapak Pulmonologi Indonesia.
Tjandra Yoga mengatakan, Hadiarto adalah klinisi yang sangat andal, sekaligus memiliki visi kesehatan masyarakat. Hal itu diwujudkan dengan aktivitasnya sebagai salah satu pendiri Yayasan Asma Indonesia, aktif di Lembaga Penanggulangan Masalah Merokok (LM3), pernah menjadi Ketua IV Pengurus Pusat Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), anggota Komite Nasional Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis Paru di Indonesia sejak 1996 hingga saat ini.
Yang sangat dikagumi Tjandra, meski sudah pensiun sebagai pengajar di FKUI, Hadiarto terus mengikuti perkembangan ilmu kedokteran respirasi. Pernah satu sesi dalam pertemuan ilmiah tahunan Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI.
Presentasi beliau sangat up to date, bacaannya banyak. Kalau pas menjadi moderator, tidak hanya mengatur jalannya diskusi dan menjaga ketepatan waktu, tetapi juga ikut bertanya terkait isi presentasi sehingga diskusi menjadi dinamis. (Tjandra Yoga)
”Presentasi beliau sangat up to date, bacaannya banyak. Kalau pas menjadi moderator, tidak hanya mengatur jalannya diskusi dan menjaga ketepatan waktu, tapi juga ikut bertanya terkait isi presentasi sehingga diskusi menjadi dinamis,” kata Tjandra.
Sampai akhir hayat, secara periodik Hadiarto masih memberikan kuliah umum bagi para residen pulmonologi di seluruh Indonesia lewat teleedukasi dari kolegium pulmonologi. Ia juga masih praktik. Namun, karena pandemi Covid-19, sejak Mei hanya memberikan telekonsultasi kepada para dokter dan second opinion bagi pasien yang memerlukan.
Hadiarto sangat visioner dan mendorong para muridnya di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI untuk membuat terobosan dan inovasi. Ia pula yang menggagas perubahan nama dari dari bagian paru menjadi departemen pulmonologi dan kedokteran respirasi. Hal itu mengikuti perkembangan pemahaman di dunia bahwa paru bukan hanya sebagai organ, melainkan bagian dari sistem pernapasan.
Menurut Menaldi, Hadiarto yang memperkenalkan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), peradangan pada paru yang berkembang dalam jangka panjang. Penyakit yang ditandai dengan sesak napas, batuk berdahak, dan napas berbunyi ini umumnya diderita orang lanjut usia. Namun, orang muda juga bisa menderita penyakit ini akibat gaya hidup, kekurangan enzim, otoimun atau karena penyakit lain.
Yang juga dekat dengan PPOK adalah asma. Penyakit ini pada 1980-an belum banyak disadari dan dipahami masyarakat. Karena itu, Hadiarto bersama sejumlah dokter paru dan para istri pejabat di era Soeharto mendirikan Yayasan Asma Indonesia untuk meningkatkan deteksi, pencegahan dan pelayanan penyakit asma, serta edukasi dan pemahaman masyarakat tentang asma.
Menaldi mengenal sejak kelas 1 SMA karena Hadiarto adalah murid ayah Menaldi, Rasmin Rasyid, di FKUI. ”Saya ingat, ayah saya pernah berucap, Hadiarto itu jago, cemerlang, dan futuristik. Dia pulmonolog masa depan,” Menaldi mengenang.
Kini, klinisi yang berpikir futuristik itu telah tiada. Namun, jejak karya dan warisan di bidang pulmonologi dan kedokteran respirasi Indonesia tetap abadi.