Penularan Covid-19 Tak Terkendali, Tes Antigen Bukan Jaminan
Menjelang liburan Natal dan Tahun Baru, penularan di Indonesia kian parah dengan kasus positif 22,39 persen. Persyaratan tes antigen tak bisa menjadi jaminan pencegahan penularan akibat risiko hasilnya ”negatif palsu”.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Situasi penularan Covid-19 di Indonesia semakin tak terkendali, ditandai dengan tingginya rasio kasus positif. Tes antigen yang menjadi sarat perjalanan di Jawa dan Bali tidak menjadi jaminan tidak akan terjadi penularan karena terdapat berbagai kelemahan teknis.
Laporan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, kasus di Indonesia bertambah 7.514 pada Rabu (23/12/2020). Penambahan ini didapatkan dari pemeriksaan terhadap 33.554 orang sehingga rasio kasus positif mencapai 22,39 persen.
Sementara itu, rasio positif dalam sepekan secara rata-rata sudah lebih dari 20 persen dengan tren meningkat, yang menunjukkan buruknya situasi penularan Covid-19 saat ini. Ini berarti, dari lima orang yang diperiksa, setidaknya ada satu yang positif Covid-19.
Rasio positif dalam sepekan di atas 20 persen ini untuk pertama kalinya terjadi sejak awal April 2020, saat jumlah orang yang diperiksa masih kurang dari 1.000 per hari. Angka ini juga jauh di atas ambang rasio kasus positif yang disarankan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebesar 5 persen.
Dengan melihat situasi ini, epidemiolog Indonesia di Griffith University, Australia, Dicky Budiman, dalam diskusi daring mengatakan, seharusnya ada ketegasan untuk menghentikan mobilitas penduduk selama musim liburan Natal dan Tahun Baru. ”Masyarakat sebaiknya tinggal di rumah, khususnya Jawa yang sudah sangat merah. Saya usulkan karantina seluruh Jawa,” katanya.
Dicky mengatakan, libur panjang bisa menjadi superspreader event atau kejadian yang berkontribusi pada pemburukan wabah secara signifikan. ”Ada sejumlah kajian bahwa libur panjang berkontribusi pada 10 persen penambahan kasus infeksi dan 9 persen kematian. Sudah beberapa contoh, seperti pilkada dan liburan sebelumnya yang menjadi penyebab meningkatnya kasus hari-hari ini,” katanya.
Selain penularan di tempat tujuan liburan, menurut Dicky, risiko juga bisa terjadi selama penggunaan transportasi umum. ”Kajian ilmiah menunjukkan, penggunaan transportasi umum saat wabah belum terkendali meningkatkan kasus 10 persen dan kematian meningkat 1,21 per 1.000 orang,” katanya.
Risiko juga membesar seiring dengan tingkat penularan di komunitas yang sangat tinggi. Mengacu pada pemodelan epidemiologi oleh Imperial College London, estimasi penambahan kasus positif di Indonesia saat ini sudah mencapai 80.000 per hari. Ini berarti, kasus yang ditemukan dalam sehari kurang dari sepersepuluhnya karena keterbatasan jumlah tes.
Tes antigen
Kepala Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengatakan, untuk mengantisipasi penularan Covid-19 selama liburan kali ini, telah dikeluarkan surat edaran yang mewajibkan pelaku perjalanan di Jawa dan Bali memiliki bukti negatif melalui tes antigen. Ini berlaku bukan hanya pengguna transportasi udara, melainkan juga darat. Bahkan, untuk yang hendak ke Bali, diwajibkan memiliki hasil tes negatif dari pemeriksaan PCR.
Dicky mengatakan, tes cepat antigen memang lebih akurat dibandingkan tes cepat antibodi dalam penapisan dan sudah direkomendasikan WHO. Meskipun demikian, hal ini tetap harus dilakukan dengan benar karena masih ada peluang terjadinya negatif palsu.
Selain menggunakan merek yang sudah divalidasi, pemeriksaan dan waktu pengambilan sampel harus benar. ”Kesalahan pengambilan spesimen bisa menyebabkan hasilnya negatif palsu. Pemeriksaan juga tidak bisa sembarangan karena bisa memicu risiko penularan. Karena itu, saya menyarankan hal ini tetap dilakukan di laboratorium, jangan dilakukan secara bebas,” katanya.
Selain itu, masa inkubasi yang panjang juga berpotensi menyebabkan hasil negatif palsu. ”Saya sarankan, lakukan tes antigen 1-3 hari sebelum perjalanan dan tes lagi 3-5 hari setelah perjalanan, selain tetap harus tinggal di rumah selama tujuh hari setelah perjalanan. Meskipun hasil tes negatif, tetap di rumah selama tujuh hari penuh. Sementara jika tidak dites, paling aman tinggal di rumah selama 14 hari setelah bepergian,” katanya.
Dalam forum yang sama, Ike Janita Dewi, pengamat pariwisata Universiats Sanata Dharma, Yogyakarta, mengatakan, syarat tes antigen saat ini sudah dirasakan oleh daerah wisata seperti Yogyakarta. ”Dalam dua hari terakhir, di Yogyakarta sudah ada 30 persen pesanan hotel yang dibatalkan. Mungkin calon wisatawan kesulitan untuk mendapatkan tes antigen,” katanya.
Menurut Ike, dari pengalamannya, untuk mendapatkan tes antigen, ternyata tidak mudah. ”Saya sudah mendaftar untuk tes antigen semalam, tetapi dijanjikan baru bisa hari Sabtu mendatang,” katanya.
Situasi ini, menurut Ike, sangat merugikan daerah wisata seperti Yogyakarta. Selama pandemi ini, PDRB Yogyakarta yang biasanya mencapai Rp 16 triliun dalam setahun, telah mengalami penurunan hingga 60 persen.
”Hancurnya sektor pariwisata dan pendidikan di Yogyakarta memiliki dampak pengganda signifikan. Contohnya, tetangga saya penjual bakpia yang biasanya melayani pelaku perjalanan menggunakan bus, saat ini sudah tidak produksi, bahkan peralatan produksi sudah dijual untuk kebutuhan hidup sehari-hari,” paparnya.