Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar serta kondisi geografis berupa kepulauan menjadi tantangan tersendiri dalam pelaksanaan vaksinasi nasional.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses vaksinasi Covid-19 tidak hanya dipengaruhi oleh ketersediaan jumlah vaksin yang dibutuhkan. Kualitas distribusi vaksin pun perlu diperhatikan untuk mendukung keberhasilan vaksinasi. Itu meliputi transportasi, tempat penyimpanan vaksin, serta sarana dan logistik lain yang dibutuhkan.
CEO Kalbe Farma Vidjongtius dalam kegiatan Kompas Collaboration Forum yang diikuti secara virtual di Jakarta, Jumat (18/12/2020), menyampaikan, Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar serta kondisi geografis berupa kepulauan menjadi tantangan tersendiri dalam pelaksanaan vaksinasi nasional. Vaksin yang tersedia perlu dipastikan kualitasnya tetap terjamin sampai pada proses penerimaan di masyarakat.
”Mutu produk vaksin dan kualitas distribusi vaksin sama pentingnya. Jadi, jangan sampai nanti produknya sudah bagus tetapi karena distribusinya tidak baik akan mengurangi kualitas vaksin,” katanya.
Ia menuturkan, sarana distribusi dan logistik vaksin harus sesuai dengan Cara Distribusi Obat yang Baik (CPOB) yang ditetapkan pemerintah. Aspek distribusi dan logistik vaksin penting diperhatikan karena Indonesia sebagai negara kepulauan membutuhkan kombinasi moda transportasi, mulai dari darat, laut, dan udara.
Mutu produk vaksin dan kualitas distribusi vaksin sama pentingnya. Jadi, jangan sampai nanti produknya bagus tetapi karena distribusinya tidak baik akan mengurangi kualitas vaksin.
Saat ini, infrastruktur sarana rantai dingin yang diperlukan untuk distribusi vaksin yang sudah siap di Indonesia adalah vaksin dengan suhu 2-8 derajat celsius. Sementara beberapa jenis vaksin yang tersedia dan dikembangkan di tingkat global tidak memenuhi infrastruktut itu, seperti vaksin Covid-19 dari Pfizer-BioNTech yang harus disimpan dengan suhu sekitar -70 derajat celsius.
Menumbuhkan harapan
Vidjongtius menilai, keberadaan vaksin Covid-19 menjadi harapan yang menumbuhkan kepercayaan bagi masyarakat dalam penanganan pandemi. Meski begitu, komunikasi terkait upaya pencegahan dengan 3M (mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak) serta 3T (telusur, testing, dan tindak lanjut penanganan kasus) tetap harus diutamakan.
Hal itu disebabkan vaksin tidak akan efektif menghilangkan risiko penularan sebelum vaksinasi bisa menjangkau 70 persen penduduk. Proses untuk memenuhi cakupan tersebut membutuhkan waktu yang tidak singkat.
“Sosialisasi, edukasi, dan komunikasi mengenai vaksin juga harus dilakukan secara tepat sasaran. Upaya ini juga perlu dilakukan secara konsisten dengan melibatkan berbagai pihak pelaku kesehatan yang ada. Risiko adanya misinformasi di masyarakat dapat berpengaruh pada tingkat penerimaan masyarakat terhadap vaksin,” tutur Vidjongtius.
Peneliti senior Litbang Kompas, Bestian Nainggolan, menuturkan, berdasarkan survei yang dilakukan Litbang Kompas selama masa pandemi ini, sekitar 38 persen responden menyatakan ingin secepatnya divaksin Covid-19 dan 17 persen menyatakan ingin divaksin, tetapi tidak saat ini. Sementara itu, 16 persen responden menyatakan kurang berminat dan 7 persen sangat tidak berminat. Sebanyak 22 persen responden lainnya masih ragu-ragu.
Selain itu, survei ini menunjukkan 44 persen responden menyatakan bersedia diimunisasi jika gratis. Sebanyak 8 persen bersedia divaksinasi jika sebagian disubsidi pemerintah, 22 persen bersedia divaksinasi dengan biaya yang sesuai dengan kemampuan, serta 2 persen bersedia diimunisasi berapa pun harganya.
”Menarik juga karena jika dibagi berdasarkan tingkat ekonomi masyarakat, tingkat resistensi pada vaksin semakin besar pada kelas ekonomi bawah. Namun, semakin tinggi tingkat kelas ekonomi masyarakat juga semakin tinggi keragu-raguan untuk divaksinasi,” katanya.