Akses Layanan Covid-19 di Pesantren Masih Sulit Dijangkau
Catatan pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Asosiasi Pesantren Nahdlatul Ulama sampai 8 Desember 2020, setidaknya 207 ulama meninggal selama pandemi Covid-19. Ini agar diantisipasi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penularan Covid-19 yang terjadi di kluster pondok pesantren patut diwaspadai. Kasus kematian yang terjadi selama masa pandemi ini terus meningkat. Karena itu, upaya terpadu untuk mengantisipasi terjadinya penularan sangat dibutuhkan, terutama untuk menjamin akses layanan kesehatan yang memadai.
Berdasarkan catatan yang dihimpun oleh Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Asosiasi Pesantren Nahdlatul Ulama (NU) sampai 8 Desember 2020, setidaknya 207 ulama meninggal selama pandemi Covid-19. Kasus kematian ini ditemukan di 110 pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia.
Ketua Pengurus Pusat RMI NU Abdul Ghofarrozin mengatakan, pandemi Covid-19 menjadi ancaman terhadap pesantren juga para ulama. Di sisi lain, kehadiran negara belum optimal untuk melindungi masyarakat.
”Indikatornya, antara lain, tidak optimalnya koordinasi antardinas atau kementerian terkait penanganan Covid-19 di pesantren, terbatasnya informasi dan edukasi tentang Covid-19 bagi pesantren, serta komunikasi publik yang tidak berpihak kepada pesantren, khususnya jika ada kluster pesantren,” katanya dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu (12/12/2020).
Selain itu, pesantren di sejumlah daerah sulit mengakses layanan pemeriksaan tes usap rantai karbon polimerase (PCR). Akses pada layanan kesehatan, termasuk dokter dan fasilitas kesehatan, juga masih sulit didapatkan di beberapa wilayah. Dukungan ruang isolasi serta karantina yang layak belum tersedia.
Karena itu, Abdul berharap negara dapat hadir lebih serius untuk menangani penanganan Covid-19 di pesantren dengan menerapkan pola yang terpadu. Pendekatan dalam penanganan ini perlu dimulai dari proses pencegahan dengan edukasi dan sosialisasi protokol kesehatan sampai dengan upaya penanganan jika ditemukan kasus penularan.
Fakhrur Rozi, salah seorang pengasuh di Pondok Pesantren An-Nur 1 Bululawang, Malang, mengatakan, upaya mitigasi juga menjadi salah satu aspek yang sangat penting untuk diperhatikan. Kelengkapan serta akses pada fasilitas kesehatan yang memadai dibutuhkan agar tindak lanjut perawatan bisa cepat diberikan.
”Kami pastikan untuk menyediakan ruang isolasi serta karantina bagi santri ataupun anggota pesantren yang memiliki gejala penyakit. Petugas kesehatan seperti dokter juga selalu siap jika diperlukan. Selain itu, kami juga memastikan kebutuhan nutrisi diberikan, termasuk probiotik dan jamu-jamuan,” katanya.
Fakhrur menuturkan, protokol kesehatan serta pembatasan mobilitas yang ketat juga diberlakukan. Saat ini, kunjungan dari wali santri ataupun orangtua belum diperbolehkan untuk mengurangi potensi risiko penularan dari luar.
Protokol lain seperti jaga jarak diterapkan dengan optimal. Untuk sementara, para santri tidak diperbolehkan bersalaman ataupun berjabat tangan dengan pengasuh serta ulama.
Meski begitu, menurut dia, kendala yang dihadapi saat ini adalah stigma yang masih terjadi di masyarakat terhadap orang yang tertular Covid-19. Bahkan, informasi yang disampaikan terkait kasus penularan yang ditemukan di pesantren cenderung berlebihan.
Hal ini membuat seseorang takut untuk melaporkan diri ketika mengalami gejala. Akibatnya, penanganan tidak bisa cepat diberikan serta penularan yang terjadi semakin meluas.
Terbitkan panduan
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 2322 Tahun 2020 tentang Panduan Pemberdayaan Masyarakat Pesantren dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Pesantren. Secara detail, aturan tersebut telah memuat panduan pengendalian Covid-19, meliputi pencegahan penularan individu, perlindungan kesehatan di pesantren, serta manajemen penanganan kasus.
”Pada dasarnya panduan ini sudah secara komprehensif memuat upaya pencegahan dan pengendalian yang bisa dilakukan di pondok pesantren. Jadi, diharapkan kepala daerah setempat bersama dinas kesehatan juga pengelola pondok pesantren bisa mengimplementasikannya dengan baik,” katanya.
Menurut Nadia, sosialisasi terkait panduan tersebut sudah dilakukan sejak keputusan itu diterbitkan pada September 2020. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan, dari 27.700 pondok pesantren di Indonesia, setidaknya 85 persen sudah membentuk satuan tugas serta 93 persen pondok pesantren sudah berkoordinasi dengan gugus tugas daerah dan fasilitas kesehatan terdekat.
Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, beberapa pesantren sudah menangani kasus Covid-19 dengan baik. Penerapan protokol kesehatan serta upaya penelusuran kontak, pemeriksaan, dan perawatan pada kasus yang ditemukan juga berjalan baik. Penyediaan asrama bagi para pengasuh pun sudah dijalankan untuk mencegah adanya penularan dari luar.
”Promosi kesehatan dalam penerapan protokol kesehatan itu yang harus dilakukan secara ketat oleh pengelola pesantren dan otoritas di daerah. Apabila timbul kasus, segera rujuk ke fasilitas kesehatan terdekat. Namun, upaya yang paling utama adalah pencegahan,” tuturnya.
Laporan harian Satuan Tugas Penanganan Covid-19 pada 12 Desember 2020 menyebutkan terdapat 6.388 kasus baru yang terkonfirmasi positif Covid-19 dengan 142 kasus kematian dan 4.490 kasus sembuh. Dengan demikian, total kasus Covid-19 di Indonesia saat ini mencapai 611.631 kasus dengan 18.653 kematian.