Pedoman Pengendalian Pandemi Belum Mendukung Tes Masif
Pemerintah diminta merevisi Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 agar lebih tegas dan cepat memasifkan tes dan pelacakan. Ini akan sangat membantu dalam penanganan wabah.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Setiap daerah seharusnya ditarget dengan jumlah tes yang wajib dilakukan sebagai elemen kunci dalam pengendalian pandemi. Namun, Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 yang disusun Kementerian Kesehatan belum lebih tegas mendorong tes dan pelacakan kontak secara masif.
"Setelah berbulan-bulan seharusnya kita tidak lagi mengejar target minimal, tapi sudah harus bisa melakukan tes dan tracing secara masif untuk memutus rantai penularan," kata epidemiolog Universitas Padjajaran Panji Fortuna Hadisoemarto, Jumat (4/12/2020).
Panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memang menyebutkan skala prioritas dalam tes. Namun, menurut Panji, skala prioritas ini dibuat dengan catatan adanya keterbatasan kemampuan pemeriksaan.
Dalam Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 yang ke-5 dan dikeluarkan pada Juli 2020, pemeriksaan hanya diprioritaskan kepada orang bergejala dan kelompok rentan. Mereka yang kontak erat dengan tanpa gejala tidak perlu diperiksa, namun disarankan isolasi mandiri.
Hingga saat ini Indonesia baru memenuhi 90 persen dari target minimal jumlah pemeriksaan yang ditetapkan WHO 1 per 1.000 populasi per minggu. Sekalipun cenderung meningkat, namun jumlah tes saat ini masih belum stabil dan menurun pada hari libur. Selain itu, cakupan pemeriksaan juga masih timpang, dengan hanya 10 provinsi yang memenuhi target.
Pada Jumat misalnya, jumlah pemeriksaan yang dilakukan baru 39.375 orang dengan kasus positif yang ditemukan 5.083 orang. Namun demikian, data pemeriksaan ini, secara epidemiologi masih sulit dijadikan patokan karena pelaporannya belum seketika (real time).
Panji mengatakan, pemeriksaan yang masif dan diikuti pelacakan kontak secara cepat telah terbukti efektif mengendalikan kasus penularan, sehingga tidak memicu lonjakan kasus seperti terjadi di Indonesia saat ini. Hal tersebut karena sebagian besar orang yang tertular Covid-19 tanpa gejala hanya bisa ditemukan melalui pemeriksaan molekuler.
Menurut Panji, jika orang tanpa gejala ini tidak bisa ditemukan segera dan diisolasi sampai sembuh, maka kemungkinannya akan terus menularkan di masyarakat. "Di Indonesia kasus yang ditemukan sangat kurang dibandingkan penularan. Selama ini, kita masih tertolong karena populasi yang muda, sehingga dampak kematiannya tidak terlalu tinggi, dibandingkan Amerika atau Eropa yang populasinya tua," kata dia.
Namun demikian, jika penularan tidak bisa dikendalikan, yang terjadi adalah kasus membesar dan membebani rumah sakit seperti terjadi saat ini. Pada akhirnya, korban jiwa juga tetap berjatuhan, terutama jika virus menulari kelompok rentan.
Hasil kajian yang ditulis oleh tim peneliti dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) yang diunggah di medRxiv juga menemukan, rata-rata pasien Covid-19 yang meninggal di Jakarta hanya dalam 11 hari setelah munculnya gejala, lebih cepat dibandingkan rata-rata di negara lain. Kematian anak-anak di bawah lima tahun juga tertinggi. Dua kondisi ini di antaranya disebabkan keterlambatan deteksi dini melalui tes, sehingga menunda perawatan pasien.
Pemulangan Pasien
Epidemiolog EOCRU Iqbal Elyazar mengatakan, seharusnya seluruh orang yang ditemukan dari penelusuran kontak, baik yang bergejala maupun tidak bergejala diperiksa melalui uji usap berbasis PCR. "Di Pedoman, yang tidak bergejala tidak harus diperiksa," kata dia.
Selain itu, hal lain yang harus ditinjau ulang adalah kriteria pemulangan pasien tanpa kepastian apakah sudah benar negatif atau tidak. Pemulangan pasien hanya didasarkan pada waktu lama waktu isolasi, tanpa adanya pemeriksaan. Hal ini di lapangan memicu kebingungan dan pasien masih berisiko bisa menularkan virus.
Selain membenahi pedoman ini, menurut dia, setiap daerah seharusnya mendapatkan target jumlah pemeriksaan minimal dari Kementerian Kesehatan, yang harus dipenuhi sebagai salah satu indikator pengendalian. Data hasil pemeriksaan di tiap kabupaten dan kota juga harus ditampilkan, sehingga publik bisa mengetahui situasi penularan sesungguhnya, yang seringkali diklaim sudah membaik tapi sebenarnya terjadi karena minimnya pemeriksaan.