Kondisi sebagian orang dengan HIV/AIDS kian terpuruk di masa pandemi Covid-19. Selain mengalami kendala dalam mengakses pengobatan, mereka pun kehilangan pendapatan sehingga kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Enam bulan terakhir adalah masa yang cukup berat bagi Nes (42) untuk bisa tetap memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Sebagai orang dengan HIV, bekerja secara formal di perkantoran adalah hal yang hampir mustahil. ”Pintu masuk untuk bekerja kantoran sudah tertutup rapat. Stigma masih sangat besar di masyarakat untuk bisa menerima kami,” tuturnya.
Hidup dengan HIV sudah dijalaninya selama 20 tahun. Awalnya, Nes tidak memiliki pekerjaan tetap, tetapi dalam beberapa tahun belakang, ia akhirnya bisa secara rutin menjadi penyuluh di Yayaysan AIDS Indonesia. Sayangnya, pandemi Covid-19 membuat sebagian besar kegiatan penyuluhan terkait edukasi HIV/AIDS terhenti. Akibatnya, tidak ada lagi pemasukan tambahan yang diterima.
Padahal, selain untuk memenuhi kebutuhan harian seperti makan dan tempat tinggal, Nes juga perlu untuk bisa mengakses layanan pengobatannya. ”Biaya obat memang ditanggung BPJS (Kesehatan), tetapi tiap bulan, kan, tetap harus membayar iuran BPJS. Belum lagi kebutuhan transportasi untuk pengambilan obat,” ucapnya.
Kondisi ini juga bisa menjadi alasan cukup tingginya jumlah ODHA yang tidak lagi mengakses layanan pengobatan. Dari data Kementerian Kesehatan, sampai Oktober 2020 terdapat sekitar 100.000 ODHA yang sudah mengetahui status HIV-nya tidak lagi mengakses pengobatan. Sementara jumlah kumulatif kasus HIV 409.857 orang dan kasus AIDS 127.873 orang. Pada Januari-September 2020 ada 32.293 kasus baru HIV dan 6.772 kasus baru AIDS di Indonesia.
Kondisi serupa dialami NK (32). Sebagai ibu rumah tangga, pendapatan harian keluarganya hanya bergantung pada suami. Sementara suaminya selama ini bekerja di bidang pemasaran yang pendapatannya bergantung pada jumlah produk yang berhasil terjual. Selama ini pun tidak ada bantuan dari pemerintah. Beruntung, komunitas ODHA (orang dengan HIV/AIDS) yang dia ikuti sempat memberikan bantuan untuk kebutuhan harian.
Nes dan NK hanya sebagian kecil dari ODHA yang terdampak secara ekonomi dan sosial pada masa pandemi Covid-19. Sebagian besar ODHA saat ini bekerja sebagai pekerja nonformal. Stigma yang masih tinggi serta pemahanan masyarakat yang kurang terkait penularan HIV membuat kesempatan untuk bekerja secara formal sulit didapatkan.
Hasil survei Jaringan Indonesia Positif (JIP) didukung Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Masalah AIDS (UNAIDS) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendapati, banyak ODHA terdampak secara sosial ekonomi. Survei dilaksanakan dua kali, yakni akhir Maret, pada awal pandemi di Indonesia, dengan 1.000 responden. Kedua, akhir Agustus, dengan 1.035 responden dari 196 kabupaten/kota di Indonesia, kecuali Bangka Belitung, Sulawesi Barat, dan Maluku Utara.
Survei ini bertujuan mendapat gambaran kebutuhan ODHA di masa pandemi Covid-19 sebagai bahan advokasi ke pemerintah terkait kebijakan untuk ODHA dan mendorong pemberian obat multibulan (MMD) di Indonesia. ”Sesuai anjuran WHO, untuk mengurangi kunjungan ODHA ke fasilitas kesehatan di masa pandemi, obat diberikan setidaknya untuk persediaan 3 bulan,” kata Ary Bumi Kartini, Supervisor Penelitian dan Pengembangan dari JIP.
Kehilangan pendapatan
Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition Adburuitya Wardhana menuturkan, tidak sedikit pula ODHA yang merupakan populasi kunci seperti pekerja seks dan waria yang banyak bekerja di salon harus kehilangan pendapatan. Sementara tidak ada bantuan sosial yang didapatkan karena mereka pun banyak yang tidak memiliki kartu identitas atau KTP.
Apabila kondisi saat ini berlarut, kemampuan mereka untuk bisa bertahan hidup pun dipertaruhkan. ”Jangankan untuk bisa mengakses obat yang harus dikonsumsi tiap hari, untuk makan sehari-hari pun sangat terbatas. Sementara kondisi ODHA butuh nutrisi yang baik karena sistem imun tubuhnya yang kurang baik. Pandemi ini membuat ODHA menjadi semakin rentan,” tuturnya.
Jangankan untuk bisa mengakses obat yang harus dikonsumsi tiap hari, untuk makan sehari-hari pun sangat terbatas.
Karena itu, ODHA harus mendapatkan perhatian dan penanganan yang komprehensif. Fasilitas pengobatan saja tidak cukup. ODHA pun berhak mendapatkan hak asasi manusia berupa hak-hak dasar untuk hidup dari negara.
”Sayangnya, ODHA yang persentasenya tidak besar terkadang luput dari jangkauan pemerintah. Masalah ODHA bukan hanya kesehatan, melainkan kompleks,” kata Aditya.
Dari dampak ekonomi yang terjadi akibat pandemi Covid-19, ODHA pun kini semakin rentan mengalami kekerasan, terutama pada perempuan ODHA. Hal itu diutarakan Baby Rivona Nasution yang merupakan Koordinator Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI). Kekerasan ini tidak hanya diterima secara verbal, tetapi juga fisik serta seksual.
Menurut dia, ketika ada satu pasangan dengan perempuan yang terdeteksi HIV sementara laki-lakinya tidak, biasanya kekerasan yang terjadi menjadi lebih buruk. Relasi kuasa akan lebih terjadi dalam kondisi tersebut. Lain hal dengan pasangan yang laki-lakinya terdeteksi HIV, sementara perempuannya tidak.
”Masa pandemi ini memperburuk kejadian kekerasan pada perempuan dengan HIV. Masalah ekonomi yang terjadi di keluarga biasanya akan dilampiaskan ke perempuan atau istrinya dengan membawa status HIV yang dimiliki. Sementara sekarang layanan pengaduan pun terbatas karena adanya aturan pembatasan sosial akibat pandemi,” ujar Baby.
Kendala lainnya adalah aturan yang berbelit untuk penanganan pengaduan pada korban kekerasan. Ketika akan melakukan pengaduan, mereka diharuskan menjalani pemeriksaan Covid-19 yang biayanya harus ditanggung secara mandiri. Kebijakan ini cukup menyulitkan karena tidak jarang ODHA yang mengalami kekerasan memiliki keterbatasan ekonomi.
”Sudah bisa bebas dari pasangannya dan datang ke layanan itu sudah syukur. Karena ada syarat (pemeriksaan Covd-19) ini, akhirnya korban tidak bisa berbuat apa-apa dan kasusnya tidak ditangani. Ia pun mau tidak mau jadi kembali lagi ke pasangannya,” tambah Baby.
Perubahan sistem layanan
Persoalan lainnya juga diutarakan Nining Ivana, pendamping dari IPPI. Perubahan sistem layanan kesehatan yang terjadi karena pandemi membuat layanan pada ODHA juga berganti. Rumah sakit yang sebelumnya bisa menangani ODHA kini tidak lagi membuka pelayanan karena difokuskan untuk melayanani pasien Covid-19.
Layanan perawatan bagi ODHA pun dipindahkan ke rumah sakit lain. Tenaga kesehatan yang menangani pun berganti. ”Pada tenaga kesehatan yang tidak biasa menangani ODHA biasanya masih ada stigma tinggi. Sempat ada perempuan HIV yang hamil itu bahkan ditolak beberapa kali oleh tenaga kesehatan karena tahu dirinya positif HIV,” kata Nining.
Namun, di tengah berbagai keterbatasan yang dihadapi di masa pandemi, komunitas pendukung tetap optimistis untuk membantu penanganan optimal bagi para ODHA.
”Hal yang utama itu adalah mental. Berbagai tekanan dihadapi, baik stigma, tekanan untuk harus mengonsumsi obat setiap hari seumur hidup, serta penolakan masyarakat membuat pertahanan yang harus dibangun tidak mudah. Namun, kita harus bersama-sama berjuang,” kata Aditya. (ATK/SON)