Riset terkini membuktikan diet tinggi protein bisa menjadi strategi untuk memerangi obesitas pada orang dewasa.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), saat ini obesitas atau kegemukan telah meningkat hampir tiga kali lipat di seluruh dunia sejak tahun 1975. Pada 2016, misalnya, lebih dari 1,9 miliar orang dewasa dikategorikan kelebihan berat badan yang 650 juta di antaranya mengalami obesitas.
Di Indonesia, datanya tak kalah mengkhawatirkan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan obesitas pada usia dewasa di atas 18 tahun semakin meningkat menjadi 21,8 persen dari tahun 2013 sebanyak 15,49 persen.
Obesitas bukan sekadar memengaruhi penampilan. Yang jauh lebih penting untuk dipikirkan, obesitas dalam sejumlah studi dan fakta memiliki kaitan dengan kemunculan diabetes, penyakit kardiovaskular, dan beberapa jenis kanker. Penyakit-penyakit tidak menular ini menyebabkan kematian tinggi di dunia, termasuk Indonesia.
Hal ini mengingatkan, untuk mengurangi prevalensi penyakit menular, dimulai dengan mengatasi masalah obesitas ataupun kelebihan berat badan. Berbagai hal promosi kesehatan, seperti makan makanan sehat, berolahraga atau memperbanyak aktivitas fisik, dan tidur cukup, dilakukan untuk menjaga tubuh dari kegemukan.
Dari sisi mengonsumsi makanan sehat ini, sekelompok peneliti menemukan bahwa penggantian menu makanan dengan diet total protein tinggi bisa menjadi strategi yang menjanjikan untuk memerangi peningkatan obesitas. Secara khusus, penelitian ini memberikan bukti, diet dengan proporsi protein yang lebih tinggi kemungkinan memberikan keuntungan metabolik dibandingkan dengan diet yang terdiri dari jumlah kalori yang sama, tetapi dengan proporsi protein yang lebih rendah.
Hasil riset ini diterbitkan dalam publikasi ilmiah The American Journal of Clinical Nutrition, 18 November 2020.
Selama ini diet tinggi protein telah populer disarankan para ahli nutrisi bagi mereka yang ingin menurunkan berat badan. Strategi mengonsumsi menu tinggi protein ini terbukti meningkatkan penurunan berat badan dan menjaga berat badan dengan meningkatkan rasa kenyang, pengeluaran energi, dan kemampuan meningkatkan berat bebas/minim lemak.
Riset mereka berusaha menjawab bagaimana hal itu bisa terjadi. Dalam studi mereka, penulis membandingkan dampak dari penggantian diet protein tinggi total dengan diet kontrol, diet khas Amerika Utara, pada komponen tertentu dari metabolisme energi.
Penulis utama, Camila Oliveira, seorang mahasiswa doktoral di University of Alberta di Kanada, dalam Science Daily, 18 November 2020, mencatat, ”Mengingat prevalensi obesitas di seluruh dunia dan dampaknya terhadap kesehatan, tidak mengherankan strategi nutrisi, seperti penggantian pola makan total dan diet tinggi protein, menjadi semakin populer saat ini dan menjadi strategi mengelola berat badan. Namun, penelitian terkait hal ini tidak sejalan dengan popularitasnya.”
Dalam penelitiannya, penulis merekrut sekelompok orang dewasa yang sehat dan berat badan normal berusia 18-35 tahun melalui iklan yang dipasang di papan pengumuman di University of Alberta, Kanada. Sekelompok orang ini kemudian dibagi menjadi dua kelompok.
Satu kelompok diberi makan pengganti diet tinggi protein total, yang terdiri dari 35 persen karbohidrat, 40 persen protein, dan 25 persen lemak. Kelompok kedua, kelompok kontrol, diberi makan makanan dengan jumlah kalori yang sama, tetapi terdiri dari 55 persen karbohidrat, 15 persen protein, dan 30 persen lemak, pola diet khas Amerika Utara. Mereka ditempatkan di ruang metabolisme selama 32 jam untuk diobservasi.
Dibandingkan dengan pola diet standar Amerika Utara, temuan studi keseimbangan metabolik ini mengungkapkan bahwa penggantian diet total protein tinggi menyebabkan ”pengeluaran energi yang lebih tinggi, peningkatan oksidasi lemak, dan keseimbangan lemak negatif”. Secara khusus, hasil studi tersebut memberikan bukti lebih lanjut bahwa kalori bukan sekadar kalori.
Artinya, diet dengan proporsi protein yang lebih tinggi dapat menyebabkan peningkatan pengeluaran energi dan oksidasi lemak dibandingkan dengan diet yang terdiri dari jumlah kalori yang sama, tetapi dengan proporsi protein yang lebih rendah serta proporsi karbohidrat atau karbohidrat yang lebih tinggi lemak.
Carla Prado, Profesor University of Alberta dan peneliti utama studi tersebut, mengatakan, ”Meskipun hasil ini terbatas pada populasi tertentu dari orang dewasa yang sehat dan berat badan normal, mereka dapat membantu ilmuwan nutrisi dan penyedia layanan kesehatan untuk lebih memahami efek fisiologis yang sebenarnya dari penggantian diet total protein tinggi pada manusia. Menurut pendapat kami, sangat penting untuk terlebih dahulu memahami dampak fisiologis dari penggantian diet total protein tinggi dalam kelompok populasi yang sehat sehingga efeknya diterjemahkan lebih baik pada individu dengan obesitas dan komorbiditas terkait.”
Singkatnya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggantian diet total protein tinggi mungkin merupakan strategi nutrisi yang menjanjikan untuk memerangi peningkatan angka obesitas. Hanya saja, penulis utama Camila Oliveira mengingatkan bahwa penelitian lanjutan perlu dilakukan agar lebih memahami efek jangka panjang dari intervensi diet tinggi protein tersebut pada fisiologi kelompok populasi yang sehat dan sakit.