Indonesia berada di urutan ketujuh, yang menurut pendataan Amnesty International saat itu ada 188 nakes yang meninggal. Data Laporcovid19.org menunjukkan, jumlah nakes di Indonesia yang meninggal hingga Senin (9/11/2020) 323 orang.
Baca juga : Saya Positif Covid-19 Pak Terawan
Laporcovid19 merupakan platform warga berbagi data, yang mengumpulkan data ini dari organisasi profesi, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Selain itu, data didapatkan dari laporan keluarga dan sejawat mereka.
Di antara nakes di Indonesia yang meninggal, 159 orang dokter, 10 dokter gigi, 113 perawat, 22 bidan, 4 laboran, 6 apoteker, 2 terapis gigi, 3 rekam radiologi, 2 sopir ambulan, 1 sanitarian, dan 1 tenaga farmasi.
Ini berarti, kematian nakes di Indonesia dibandingkan nonnakes mencapai 2,8 persen. Angka ini tergolong sangat tinggi dan melebihi rata-rata global.
Mengacu kajian Izumi Yoshida dan tim di jurnal kesehatan QJM (Mei, 2020), rasio dokter yang meninggal dibandingkan total korban 0,3 persen. Sementara mengacu data Amnesty International pada 3 September, rasio nakes meninggal dibandingkan total korban sekitar 0,9 persen.
”Sampai saat ini, dokter dan nakes lain yang meninggal di Indonesia terus bertambah. Ini tentu kehilangan besar bagi kita semua,” kata Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar IDI Adib Khumaidi.
Baca juga : Tenaga Kesehatan di Faskes Primer Minim Perlindungan
Ada banyak faktor yang menyebabkan tingginya kematian nakes di Indonesia. Untuk mengetahui dengan pasti, seharusnya dilakukan audit kematian. ”Sampai saat ini, belum selesai kajiannya, kami pernah diajak diskusi dengan Litbang Kementerian Kesehatan soal ini, tetapi sejauh ini belum ada hasilnya,” katanya.
Faktor risiko
Mengacu pada kajian Karthikeyan P Iyengar dan tim di jurnal Diabetes & Metabolic Syndrome (November 2020), untuk memahami tingginya kematian nakes dan melindungi mereka, perlu diketahui beragam faktor risikonya.
Seperti korban Covid-19 pada umumnya, usia dan jenis kelamin merupakan faktor risiko bagi tenaga kesehatan. Laporan Yoshida, dari 120 dokter yang dikajinya di Asia dan Eropa, 94 orang berusia 50-99 tahun (berusia rata-rata 65 tahun) dan 108 laki-laki.
Fenomena ini juga terjadi di Indonesia. Data IDI, jumlah dokter yang meninggal dengan usia 50-85 tahun 66,4 persen, sedangkan korban terbanyak berusia 56-60 tahun mencapai 15,1 persen. Dokter laki-laki yang meninggal 86 persen atau jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan 14 persen.
Penyakit penyerta atau komorbid dan obesitas juga menjadi faktor risiko. Survei IDI Jawa Timur pada Agustus 2020 terhadap 3.000-an dokter di daerah ini menunjukkan, hanya 4 persen dokter di wilayah mereka merokok. Namun, yang memiliki komorbid, seperti diabetes, darah tinggi, dan kardiovaskular, sebanyak 27 persen dan 34 persen kelebihan berat badan.
Survei Tim Bantuan Residen IDI terhadap 7.285 dokter residen pada Agustus 2020 juga menemukan, dokter residen yang memiliki berbagai komorbid mencapai 33 persen. ”Sejawat kami, dua dokter residen yang meninggal karena Covid-19 memiliki komorbid dan obesitas,” kata Koordinator Tim Bantuan Residen, Jagaddhito Probokusumo.
Sekalipun saat ini mulai ada perbaikan, alat perlindungan diri (APD) masih menjadi salah satu faktor risiko. Menurut Adib, banyaknya kematian nakes di awal pandemi, terutama dipengaruhi oleh minimnya APD sesuai standar dan juga kedisiplinan saat memakai dan melepas.
Baca juga : Melindungi Diri di Tengah Keterbatasan
”Untuk APD membaik walaupun belum merata. Survei di Jatim, ada 23 persen belum mendapat APD dan 40 persen mendapat APD, tapi tidak sesuai standar. Kemungkinan APD terkonsentrasi di rumah sakit, sedangkan layanan primer masih kurang. Di luar Jawa kondisinya bisa lebih parah,” katanya.
Jenis pekerjaan juga menjadi faktor risiko. Data IDI menunjukkan, dokter umum paling banyak yang menjadi korban, yaitu mencapai 53 persen, disusul spesialis penyakit dalam 5,9 persen, spesialis bedah 4,6 persen, spesialis kandungan 3,9 persen, dan sejumlah dokter spesialis lain.
”Dokter umum lebih berisiko karena mereka berada di garis paling depan. Saat bertugas di layanan primer atau klinik, kemungkinan lebih sering bertemu dengan pasien yang belum diketahui membawa virus atau tidak,” kata Adib.
Adapun dokter spesialis, menurut Adib, saat ini cenderung lebih siap, baik dari APD maupun infrastruktur di rumah sakit seperti adanya ruangan bertekanan rendah. Meskipun tetap saja ada faktor risiko, terutama pada dokter spesialis yang aktivitas sehari-harinya melibatkan prosedur intubasi atau prosedur yang menghasilkan aerosol lain.
Berikutnya, faktor risiko yang saat ini cukup dominan, yaitu terjadinya burn out atau kelelahan mental, seperti dilaporkan para peneliti Program Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia. Dewi S Soemarko, ketua tim peneliti dari FK UI pada Jumat (4/9/2020) menyebutkan, dari 1.461 nakes di seluruh Indonesia yang disurvei, 82 persen di antaranya telah mengalami burn out.
”Burn out nakes saat ini menjadi kekhawatiran terbesar kami, apalagi sampai saat ini kasus terus bertambah, bahkan cenderung meluas di daerah. Sulit membayangkan nanti kalau pilkada tetap dilakukan,” kata Adib.
Gejala burn out yang dialami bisa berupa keletihan emosi serta kehilangan empati dan rasa percaya diri. Selain punya implikasi psikis jangka panjang, burn out juga berpengaruh pada kinerja, termasuk menurunkan kewaspadaan sehingga meningkatkan risiko terpapar.
Baca juga : Tenaga Kesehatan Kelelahan
”Saya tertular Covid-19 karena menemui pasien yang membutuhkan bantuan. Kebetulan saya kenal dia, dan saat itu menjelang tengah malam, saat saya mau pulang setelah masuk kerja dari jam tujuh pagi,” cerita Nini Deritana, dokter spesialis paru di Kisaran, Sumatera Utara.
Perilaku individu nakes saat di luar tugasnya juga bisa berpengaruh. Ini misalnya kemunculan kluster di sebuah rumah sakit di Blitar, Jawa Timur, akibat ada nakes yang tertular saat ikut komunitas bersepeda.
Selain faktor-faktor di atas, tingginya risiko nakes, khususnya mereka yang bertugas di layanan primer, juga dipengaruhi perilaku masyarakat yang kerap tidak jujur dengan kondisinya. ”Banyak pasien yang sudah didiagnosa klinis Covid-19 menolak diperiksa kemudian pindah ke dokter atau rumah sakit lain. Bahkan, ada yang sudah terkonfirmasi positif, tetapi tidak jujur sehingga membahayakan kami,” kata Nini.
Baca juga : Tanggung Stigma Covid-19, Tenaga Kesehatan Dihantui Risiko Gangguan Jiwa
Dengan memahami faktor-faktor risiko ini, kita bisa melihat bahwa keselamatan nakes juga bisa dipengaruhi perilaku masyarakat. Jika selama ini mereka menjadi garda terdepan menghadapi pandemi, masyarakat juga bisa berperan menjaga mereka.
Selain jujur kepada nakes, peran serta terbesar dari masyarakat adalah dengan taat protokol kesehatan agar kasus tidak terus membesar. Tiap ada penambahan kasus, artinya beban dan risiko nakes terpapar Covid-19 juga bakal meningkat.
Baca juga : Masyarakat Diminta Tidak Menutupi Status Kesehatan Terkait Covid-19