Penelusuran Kontak Kasus Covid-19 di Puskesmas Masih Lemah
Keberadaan puskesmas diharapkan bisa menjadi garda terdepan dalam penelusuran kasus Covid-19. Ini membutuhkan peningkatan jumlah tenaga di puskesmas.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Puskesmas merupakan garda terdepan dalam pengendalian penularan Covid-19, khususnya dalam upaya penelusuran kontak serta pengawasan pada kasus yang terinfeksi. Namun, fungsi tersebut tidak berjalan optimal sekalipun pandemi Covid-19 sudah terjadi delapan bulan sejak pertama kali terdeteksi di Indonesia.
Kolaborasi dari lintas sektor sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai kendala yang terjadi. Selain itu, pemerintah juga diharapkan segera mengatasi segala ketertinggalan dan memperbaiki strategi penanganan wabah, terutama pada aspek pelacakan, pemeriksaan, dan perawatan pasien.
”Berdasarkan beberapa studi, setidaknya penelusuran kontak harus dilakukan pada 70-90 persen dari kontak kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19. Dengan angka kasus reproduksi yang ada saat ini, paling tidak setiap satu kasus harus dilacak sampai 20-30 orang,” ujar Direktur Kebijakan Pusat Inisiatif dan Strategi untuk Pembangunan (Center for Indonesia Strategic Development Initiative/CISDI) Olivia Herlinda di Jakarta, Kamis (5/11/2020).
Akan tetapi, kondisi di Indonesia masih sangat jauh dari target yang ditetapkan tersebut. Hal itu terlihat dari hasil survei yang dilakukan CISDI bersama Kawal Covid-19 dan Cek Diri. Survei tersebut dilakukan secara daring pada 14 Agustus-7 September 2020 dengan 647 responden puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dari survei tersebut ditemukan, 47 puskesmas melakukan penelusuran kontak kurang dari lima orang untuk tiap satu kasus positif. Sementara, 34 persen melakukan penelusuran pada 6-10 kontak per satu kasus positif. Adapun puskesmas yang melakukan penelusuran kontak pada lebih dari 20 orang hanya sebesar 5 persen.
Minimnya penelusuran yang dilakukan bisa disebabkan karena jumlah sumber daya manusia yang terbatas. Survei ini menunjukkan, 47 persen puskesmas memiliki tenaga pelacak kurang dari lima orang. Sekitar 10 persen di antaranya bahkan hanya memiliki satu tenaga pelacak.
Selain itu, dari puskesmas yang melakukan penelusuran kontak, hanya 39 persen puskesmas yang melakukan pengambilan spesimen dengan metode tes usap reaksi rantai polimerase (PCR). Sisanya, 61 persen melakukan pemeriksaan kasus menggunakan tes cepat berbasis antibodi.
Olivia berpendapat, hal ini menjadi relevan karena ditemukan 28 persen puskesmas yang hanya mendapatkan kurang dari 10 kuota untuk tes PCR ataupun TCM (tes cepat molekuler) per hari. Bahkan, ada 40 persen puskesmas yang tidak mendapatkan kuota atau tidak dapat melakukan tes PCR. Dari pemeriksaan yang dilakukan tersebut, didapatkan pula 60 persen responden yang melaporkan hasil pemeriksaan baru keluar 3-7 hari setelah pengambilan tes usap dilakukan.
”Keterbatasan kapasitas tes pada puskesmas tersebut akan menghambat upaya penemuan kasus secara cepat dan melakukan tindakan penanganan segera untuk mencegah kesakitan ataupun kematian lebih lanjut, sekaligus untuk menahan laju penyebaran infeksi,” katanya.
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (Iakmi) Ajeng Tias Endarti menyampaikan, terbatasnya sumber daya yang tersedia di puskesmas juga menjadi salah satu penyebab tidak optimalnya upaya pelacakan kasus ataupun penelusuran kontak di masyarakat. Dengan jumlah yang terbatas tersebut, sumber daya yang dimiliki juga masih harus melakukan pelayanan kesehatan esensial lainnya.
”Untuk mengatasi ini, kami setidaknya sudah mengerahkan sejumlah anggota untuk menjadi relawan tenaga surveilans di masyarakat. Sekitar 970 orang sudah kami rekrut. Selain itu, edukasi dan pelatihan juga terus dilakukan untuk peningkatan kapasitas para relawan,” ucapnya.
Pelatihan
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Puskesmas Indonesia (PDPKMI) Mustakim Manaf mengatakan, upaya pelacakan, pemeriksaan, dan perawatan kasus harus diperkuat dengan pelatihan dan pengajaran bagi seluruh tenaga kesehatan yang bertugas. Tanpa adanya pelatihan, upaya pengendalian yang dilakukan tidak akan optimal.
”Pelatihan yang diberikan pun perlu dilakukan secara kompeten. Berbagai keterbatasan di tengah pandemi harus bisa diatasi agar proses transfer pengetahuan dan informasi terkait dengan penanganan Covid-19 tetap berjalan baik,” katanya.
Ia pun mengatakan, petugas kesehatan di puskesmas yang bertugas melakukan pelacakan kasus dan pengawasan di masyarakat juga perlu dilindungi dari penularan Covid-19. Sampai saat ini, masih banyak tenaga kesehatan di puskesmas yang tidak memiliki akses alat pelindung diri yang maksimal. Masker yang dimiliki pun masih terbatas pada jenis masker medis.
Direktur Pelayanan Kesehatan Pratama Kementerian Kesehatan Saraswati mengakui, tidak optimalnya upaya penanganan kasus di puskesmas salah satunya disebabkan karena selama ini pemerintah masih lebih fokus pada penanganan di hilir, yakni di rumah sakit. Upaya penguatan pada sistem kesehatan pun akhirnya lebih banyak dilakukan di rumah sakit.
”Perbaikan terus kami lakukan. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan kini telah berupaya menambah sumber daya manusia yang bertugas untuk melakukan penelusuran kontak di masyarakat. Perekrutan relawan tenaga pelacak sedang dilakukan dan menurut rencana ditugaskan selama dua bulan sampai Desember 2020,” ujarnya.