Pemerintah perlu meningkatkan kapasitas dan produktivitas pertanian, keberagaman pangan, serta mengatasi tiga beban masalah gizi. Hal itu untuk mencegah dampak pandemi Covid-19 pada ketahanan pangan dan gizi.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 dikhawatirkan mengancam ketahanan pangan dan gizi serta menyurutkan kemajuan yang telah dicapai dalam mengatasi masalah malnutrisi. Untuk itu, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas dan produktivitas pertanian, memfokuskan pada keberagaman konsumsi pangan, serta mengatasi tiga beban masalah gizi yang ada selama ini.
Dalam Forum Kajian Pembangunan dan peluncuran laporan Strategic Review of Food Security and Nutrition in Indonesia 2019-2020 Update secara daring, Rabu (14/10/2020), para pembicara menyoroti tantangan yang dihadapi Indonesia, yakni tiga beban malnutrisi, kurang beragamnya pola makan akibat sumber energi dominan pada konsumsi beras, serta ancaman pada ketersediaan dan distribusi pangan akibat pandemi.
Perwakilan Program Pangan Dunia (WFP) Christa Rader juga menyoroti kecenderungan peningkatan konsumsi makanan olahan yang tinggi karbohidrat, gula, garam, dan lemak trans. Untuk itu, strategi perlu difokuskan pada keberagaman konsumsi pangan serta upaya mengatasi tiga beban malnutrisi yang menyebabkan 7 juta anak balita Indonesia mengalami tengkes (stunting).
”Kami berharap tinjauan strategis yang disusun WFP bersama Lembaga Penelitian SMERU tersebut digunakan untuk menyusun kebijakan oleh seluruh pemangku kepentingan terkait gizi di Indonesia,” kata Rader.
Tiga masalah gizi dipaparkan Direktur Gizi Masyarakat Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Dhian Probhoyekti Dipo, yakni gizi kurang, di mana tahun 2019 stunting pada anak balita masih 27,67 persen dan wasting 10,2 persen. Di sisi lain, ada masalah kelebihan berat badan, yakni 8 persen pada anak dan 21,8 persen pada orang dewasa. Selain itu, terjadi defisiensi mikronutrien zat besi sehingga 48,9 persen ibu hamil anemia. Akibatnya, penyakit tidak menular, seperti diabetes, stroke, dan hipertensi, meningkat serta terjadi pada usia lebih muda.
”Konsumsi beras Indonesia tertinggi di Asia, yakni 115 kg per kapita per tahun. Sebagai perbandingan, Malaysia 80 kg per kapita per tahun dan Korea 40 kg per kapita per tahun. Karena itu, perlu ada diversifikasi, dengan konsumsi makanan lebih beragam,” kata Dhian.
Untuk memenuhi kebutuhan mikronutrien, pemerintah melakukan fortifikasi pangan, antara lain fortifikasi yodium pada garam, juga zat besi, seng, asam folat, vitamin B1 dan B2 pada tepung terigu, serta vitamin A pada minyak goreng.
Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Bambang Widianto menyatakan, Indonesia mencatat kemajuan dalam mengatasi masalah gizi. Tahun 2019, angka stunting pada anak balita menjadi 27,67 persen, turun dari 30,8 persen pada 2018. Namun, pandemi mengancam keberhasilan ini. Catatan Badan Pusat Statistik, terjadi kontraksi ekonomi pada kuartal I-2020. Kemiskinan bertambah dari 9,23 persen menjadi 9,76 persen. Artinya, ada tambahan 2 juta penduduk miskin.
Pelambatan ekonomi tersebut dikhawatirkan Elan Satriawan, Kepala Kelompok Kerja Kebijakan TNP2K, bisa mengancam upaya mengatasi malnutrisi. Apalagi ada penurunan pasokan pangan akibat negara pengekspor menahan produk pertanian untuk menjamin kecukupan dalam negeri mereka.
Peran aktif pemerintah daerah diperlukan. Sejauh ini alokasi anggaran pemerintah kabupaten/kota hanya sekitar 4 persen APBD untuk penanganan masalah gizi.
Pemerintah Indonesia berkomitmen mengatasi stunting, antara lain dengan meningkatkan alokasi anggaran untuk program perlindungan sosial guna mengamankan ketahanan pangan. Peran aktif pemerintah daerah diperlukan. Sejauh ini alokasi anggaran pemerintah kabupaten/kota hanya sekitar 4 persen APBD untuk penanganan masalah gizi.
Investasi pertanian
Peneliti utama SMERU Research Institute, Sirojuddin Arief, memaparkan, ada peningkatan produksi pangan dalam lima tahun terakhir, terutama beras. Namun, masih ada ketergantungan pada impor. Selain itu, terjadi penurunan produksi sayur dan buah sehingga tidak mampu memenuhi permintaan dalam negeri.
Proporsi orang Indonesia yang kekurangan konsumsi sayur dan buah, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2018, adalah 95,5 persen, demikian Dhian.
”Ada ketidaksetaraan jender, di mana peran perempuan di sektor pertanian belum diakui, yakni terkait hak kepemilikan lahan serta untuk mendapat kredit. Karena itu, masalah ketidaksetaraan jender perlu diatasi untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi,” ujarnya.
Masalah lain, anggaran Indonesia untuk stimulus ekonomi dan program perlindungan sosial dalam mengatasi dampak pandemi lebih rendah daripada negara-negara lain.
Para pembicara menekankan pentingnya menjamin pasokan pangan. Selain dengan impor, juga perlu melakukan investasi ke sektor pertanian untuk meningkatkan kapasitas dan produktivitas pertanian.
”Yang harus dilakukan adalah membantu petani kecil agar tetap tangguh dan produktif,” kata Ivan Cossio Cortez dari International Fund for Agricultural Development (IFAD).
Untuk mengatasi masalah gizi, menurut para pembicara, selain memastikan bantuan sosial menarget pada kelompok yang paling memerlukan, juga perlu peningkatan pengetahuan dan kesadaran terkait gizi.
John McCarthy, Guru Besar dari Australian National University, menyatakan, masalah pangan harus dilihat dan diatasi secara multidisiplin. Kebijakan pangan perlu terintegrasi pada strategi lebih luas terkait sosial politik dan pembangunan ekonomi. Tujuan pada peningkatan sistem produksi dan konteks perdesaan, yakni meningkatkan kapasitas dan ketahanan petani.