Risiko Gangguan Penglihatan Berpotensi Meningkat, Kurangi Pemakaian Gawai pada Anak
Kebiasaan menggunakan gawai, terutama pada anak, sebaiknya dibatasi karena dapat memicu terjadinya gangguan pada penglihatan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aktivitas yang cenderung terbatas pada masa pandemi Covid-19 membuat penggunaan gawai semakin meningkat. Kebiasaan menggunakan gawai, terutama pada anak, sebaiknya dibatasi karena dapat memicu terjadinya gangguan pada penglihatan.
Ketua Umum Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) M Sidik menuturkan, penggunaan gawai yang terlalu lama pada anak dapat meningkatkan risiko terjadinya kelainan refraksi miopia atau rabun jauh. Gangguan penglihatan pada jarak jauh ini meski tidak berbahaya, dapat menurunkan produktivitas anak dalam jangka panjang.
”Penelitian terkait dengan pengaruh pembelajaran jarak jauh dengan risiko kelainan refraksi memang belum ada. Namun, penggunaan gawai yang semakin meningkat selama masa pandemi sangat mungkin meningkatkan jumlah anak dengan gangguan penglihatan tersebut,” tuturnya dalam konferensi pers terkait dengan Hari Penglihatan Sedunia secara virtual dari Jakarta, Selasa (6/10/2020). Hari Penglihatan Sedunia diperingati setiap 7 Oktober.
Sidik mengatakan, risiko gangguan penglihatan akibat penggunaan gawai yang terlalu lama perlu lebih disadari oleh masyarakat, terutama orangtua dengan anak usia dini. Penggunaan gawai perlu dibatasi. Komunikasi dengan pihak sekolah pun diperlukan untuk memertimbangkan lama penggunaan gawai untuk belajar.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) juga telah mengeluarkan imbauan terkait pembatasan penggunaan gawai pada anak selama masa pandemi. Pada anak usia prasekolah kurang dari 2 tahun tidak dianjurkan untuk menggunakan gawai. Sementara untuk anak usia 2-6 tahun, penggunaan gawai perlu dibatasi maksimal satu jam. Gawai ini termasuk juga terhadap penggunaan televisi.
Pada anak usia 6-12 tahun, penggunaan gawai atau sebaiknya tidak lebih dari 90 menit. Pada masa pembelajaran jarak jauh, komunikasi antara orangtua dan pihak sekolah diperlukan untuk menyesuaikan batasan waktu tersebut. Pembatasan penggunaan gawai ini perlu dilakukan secara konsisten yang juga diseimbangkan dengan waktu tidur yang berkualitas.
Istirahatkan mata
Direktur Utama Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Irayanti menambahkan, ketika melihat layar gawai, mata perlu diistirahatkan beberapa saat. Setidaknya, setiap 20 menit mata diistirahatkan dengan melihat pemandangan lain yang memiliki jarak jauh dalam waktu 20 detik.
”Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kecerahan pada layar. Sebaiknya atur tingkat kecerahan layar agar tidak terlalu terang dan tidak terlalu gelap. Ini diperlukan untuk menghindari adanya risiko gangguan penglihatan,” katanya.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2015, secara global terdapat sebanyak 312 juta penduduk berusia di bawah 19 tahun yang mengalami kelainan refraksi miopia. Sementara pada 2020, tercatat ada sekitar 2,6 miliar penduduk dari seluruh kelompok umur yang mengalami gangguan penglihatan tersebut.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto mengatakan, berbagai risiko gangguan penglihatan pada masyarakat perlu disertai dengan peningkatan kesadaran dalam pencegahan dan deteksi dini. Gangguan penglihatan yang dialami oleh seseorang, termasuk oleh anak-anak dapat menurunkan produktivitas serta kualitas hidupnya dalam jangka panjang.
”Di tengah keterbatasan selama masa pandemi, kesadaran masyarakat untuk melakukan deteksi dini sangat diperlukan. Untuk itu, edukasi dan sosialisasi harus semakin gencar agar informasi yang diberikan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Jika kesadaran meningkat, penemuan kasus atau deteksi dini menjadi lebih baik,” tuturnya.
Para pasien dari berbagai pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di Kabupaten Sumbawa, mengikuti proses skrining untuk mengetahui apakah bisa mengikuti operasi katarak atau tidak di Rumah Sakit Umum Provinisi (RSUP) Nusa Tenggara Barat HL Manambai Abdulkadir, Sumbawa Besar, Kabupaten Sumbawa, Kamis (2/5/2019).Katarak
Wakil Ketua Komite Mata Nasional Aldiana Halim menambahkan, risiko gangguan penglihatan lain yang juga perlu diwaspadai oleh masyarakat adalah katarak. Di Indonesia, katarak menjadi penyebab kebutaan yang tertinggi.
Dari 1,6 juta orang yang mengalami kebutaan, sebanyak 81,2 persen di antaranya disebabkan oleh katarak. Kondisi ini dapat memengaruhi kualitas hidup seseorang, bahkan kondisi kebutaan ini dapat memicu terjadinya depresi hingga bunuh diri.
”Padahal, katarak ini dapat diatasi dengan operasi. Jika kita dapat mengoperasi seluruh penderita katarak di Indonesia dengan menginvestasikan sekitar Rp 13 triliun, perekonomian bangsa diperkirakan bisa tumbuh sampai 14 kali lipat,” tutur Aldiana.
Meski begitu, kondisi geografis Indonesia yang berbeda-beda juga akses pada fasilitas kesehatan yang terbatas membuat penemuan kasus katarak menjadi sulit dilakukan. Ini terutama pada wilayah yang berada di daerah terpencil.
Masa pandemi ini juga membuat pelayanan pada operasi katarak, terutama pada layanan gratis operasi katarak menjadi semakin terbatas. (Aldiana Halim)
”Masa pandemi ini juga membuat pelayanan pada operasi katarak, terutama pada layanan gratis operasi katarak menjadi semakin terbatas. Tentu ini menyebabkan jumlah orang yang dioperasi menjadi sangat berkurang jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya mencapai 3.000 sampai 4.000 orang,” ujarnya.