Jumlah kasus baru tertular virus SARS-CoV-2 di Indonesia masih terus bertambah. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mendapat tantangan untuk mengajak masyarakat mengubah perilaku demi menaklukkan pandemi Covid-19.
Oleh
NINUK MARDIANA PAMBUDY
·4 menit baca
Ketika ada kerabat, teman, tetangga, atau orang yang kita kenal tertular Covid-19, angka-angka korban Covid-19 menjadi terasa sangat nyata. Semakin banyak kepala daerah yang positif terinfeksi virus korona baru atau SARS CoV-2 penyebab Covid-19, sebagian meninggal. Tiga menteri ikut terinfeksi: Menteri Perhubungan, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta terakhir Menteri Agama.
Ketua Satgas Covid-19 Doni Monardo meminta media arus utama ikut mengampanyekan perubahan perilaku. Bulan September ini fokus pada mengajak masyarakat patuh memakai masker. Selanjutnya rajin mencuci tangan dan menjaga jarak.
Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana mengubah perilaku masyarakat dalam waktu beberapa bulan. Indonesia pernah punya model perubahan perilaku ketika pemerintah menjalankan program intensifikasi pertanian melalui Bimas padi pada 1960-an. Petani diajak melaksanakan Panca Usaha Tani, antara lain menggunakan benih unggul, memakai pupuk, mengendalikan hama penyakit, pengairan yang baik, dan bimbingan bagi petani. Keberhasilan produksi beras baru tercapai pada 1984 ketika Indonesia mencapai swasembada.
Model kedua adalah program kampanye Keluarga Berencana untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk yang dimulai pada akhir 1970-an. Slogan ”dua anak cukup, laki perempuan sama saja” melekat begitu kuat di benak masyarakat sampai hari ini.
Model terbaru adalah penanggulangan demam berdarah. Ada garis komando, keseragaman penanganan, dan disiplin pelaksanaan dari pusat hingga rukun tetangga (RT). Ada pola penanganan mulai dari pencegahan, standar penanganan di rumah sakit, hingga standar pembiayaan. Di luar itu masih ada fasilitas pemerintah untuk menyediakan abate dan pengasapan memberantas nyamuk Aedes aegypti.
Kesenjangan
Pengendalian pandemi Covid-19 dapat belajar dari pengalaman yang sudah ada. Saat ini ada kesenjangan besar antara perilaku yang diharapkan dan kenyataan di masyarakat.
Perubahan perilaku bertujuan agar orang tidak tertular, tidak menulari, dan bila tertular atau menulari langkah berikutnya yaitu isolasi mandiri atau oleh negara dan pengobatan.
Semuanya harus ada pedoman umum yang diketahui semua orang. Dalam kampanye memakai masker, misalnya, perlu ada standar mulai dari bahan hingga cara penggunaannya, mengapa, dan manfaatnya. Penjelasan harus sederhana sehingga mudah dipahami kegunaannya oleh masyarakat luas.
Pengetatan penggunaan masker menimbulkan kebingungan sebagian masyarakat. Misalnya, muncul pertanyaan mengapa tetap harus bermasker saat berkendara sendirian di dalam mobil.
Kasus lain, seorang warga di Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, bertanya kepada ketua RT-nya, apakah benar warga akan didenda petugas kelurahan bila tidak memakai masker di halaman rumahnya sendiri. Peraturan menyatakan, setiap orang harus bermasker saat di luar rumah.
Lantaran tak tahu jawabannya, ketua RT berkonsultasi dengan pengurus rukun warga (RW) yang menyarankan agar warga tetap mengenakan masker saat di luar rumah, termasuk di halaman rumah atau di jalan di depan rumah. Ini juga untuk menghadapi petugas yang kemungkinan mencari prestasi dari pendapatan denda.
Kondisi di masyarakat ini pun menunjukkan peraturan dari pusat, provinsi, hingga di tingkat kelurahan biasanya diterima ”simpang-siur” karena penafsiran aturan. Akibatnya, petugas lapangan akan mengambil jalan termudah.
Komunikasi publik
Percakapan konkret di atas, Senin (21/9/2020) pagi, merupakan gambaran kecil mengenai pentingnya komunikasi publik. Menurut epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, dalam diskusi virtual oleh Community Development Center Ikatan Alumni Universitas Indonesia, akhir pekan lalu, perubahan perilaku akibat pandemi Covid-19 masuk di dalam kesehatan masyarakat. Komunikasi publik yang tepat menjadi cara mengendalikan meningkatnya kasus baru dan mencegah kematian.
Mengenakan masker, menurut Pandu, adalah vaksinasi terbaik saat ini. Membuat permodelan dari hasil penelitian Derek K Chu dkk (2020) dan Andrew Hayward dkk (2020) dan dengan angka reproduksi efektif (Rt) 3, artinya meskipun sudah dilakukan intervensi, tetapi satu orang dengan Covid-19 masih menulari tiga orang. Pandu menunjukkan, cara perlindungan paling efektif melindungi dari Covid-19 adalah menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Risiko tertular hanya 1,6 persen.
Vaksinasi memerlukan waktu lebih panjang untuk memberikan kekebalan dari virus pada seluruh populasi (herd immunity). Pandu menyebut, setidaknya perlu 70 persen populasi mendapat vaksinasi agar tercapai kekebalan populasi. Keadaan itu tercapai minimum dalam 3-4 tahun.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia Aman Bhakti Pulungan mengingatkan, risiko tertinggi ada pada anak berusia kurang dari lima tahun dan usia 12-18 tahun. Untuk melindungi anak dari Covid-19, tindakan testing, pelacakan (tracing) dan surveilans, serta isolasi bagi yang terinfeksi harus dilakukan. Saat ini, ketiga tindakan pengendalian Covid-19 itu masih terus ditawar.
Mengubah perilaku adalah mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru dan harus bisa dilakukan dengan cepat karena nyawa menjadi taruhannya. Kampanye perubahan perilaku harus terus-menerus, sistematis, konsisten, ada ukuran keberhasilan, dan ada evaluasi teratur sampai perilaku baru menjadi gaya hidup baru pada era baru.