Mobilisasi Tenaga Kesehatan Alternatif Pemenuhan Layanan Covid-19
Kondisi ruang perawatan dan ICU rumah sakit yang mulai penuh oleh pasien Covid-19 tak bisa serta-merta diatasi dengan penambahan ruang. Ketersediaan tenaga medis untuk menambah layanan kesehatan menjadi kendala.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebutuhan tempat tidur untuk perawatan Covid-19 semakin meningkat seiring dengan jumlah pasien yang terus melonjak. Kapasitas tempat tidur pun ditambah, baik di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Namun, peningkatan kapasitas ini menghadapi kendala berupa keterbatasan jumlah tenaga kesehatan.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pengembangan Kependudukan, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Agus Suprapto menuturkan, pemerintah sedang berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk meningkatkan kapasitas pelayanan Covid-19. Peningkatan kapasitas ini akan diprioritaskan pada daerah dengan tingkat keterisian tempat tidur (BOR) yang sudah lebih dari 70 persen.
”Penambahan tempat tidur di rumah sakit akan dikaji berdasarkan data yang dilaporkan secara menyeluruh. Perlu dipastikan apakah kekurangan tempat tidur terjadi karena memang sudah penuh atau karena sistem rujukan dalam proes pelayanan yang tidak optimal,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Rabu (16/9/2020).
Ia mengatakan, jumlah ketersediaan tempat tidur masih mencukupi, tetapi distribusi sebarannya bervariasi di setiap daerah. Berdasarkan data rumah sakit online per 14 September 2020, daerah dengan tingkat keterisian tempat tidur isolasi dan ICU yang tinggi yakni Bali (70 persen), Sulawesi Tenggara (62 persen), Kalimantan Tengah (58 persen), Riau (58 persen), dan DKI Jakarta (54 persen). Adapun secara nasional, tingkat keterisian tempat tidur isolasi dan ICU sebesar 40 persen dengan total kapasitas 45.062 tempat tidur.
Agus menyampaikan, peningkataan kapasitas tempat tidur di rumah sakit juga perlu memperhatikan ketersediaan sumber daya manusia. Adapun jumlah tenaga kesehatan di Indonesia cukup terbatas dengan distribusi yang belum merata.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, pemenuhan tenaga kesehatan di daerah dengan tingkat kasus yang tinggi dilakukan melalui mekanisme mobilisasi tenaga kesehatan antardaerah. Mobilisasi ini akan mempertimbangkan jenis dan tingkat kompetensi tenaga kesehatan serta ketersediaan peralatan medis.
”Mobilisasi tenaga kesehatan bisa menjadi salah satu alternatif. Namun, dalam kondisi tenaga kesehatan yang terbatas, maka sistem rujukan pasien akan dilakukan berdasarkan tingkat keparahan yang dialami,” tuturnya.
”Happy hypoxia”
Secara terpisah, dokter spesialis paru dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta, Erlina Burhan, menuturkan, masyarakat kini juga perlu waspada akan gejala happy hypoxia atau hipoksia senyappada pasien Covid-19. Pasien dengan kondisi ini akan mengalami kekurangan oksigen dalam darah, tetapi tidak merasakan sesak napas.
”Akibatnya, perburukan akan cepat terjadi karena organ tubuh mendapatkan suplai darah yang kurang oksigen. Penanganan cepat harus dilakukan agar tidak terjadi gangguan pada fungsi dari berbagai organ,” ucapnya.
Gejala dari happy hypoxia bisa dideteksi dengan melihat tingkat keparahan gejala yang dialami. Hal itu seperti batuk yang semakin bertambah dan menetap, tubuh yang kian lemas, serta warna bibir dan ujung jari yang mulai kebiruan.
Apabila gejala tersebut mulai timbul, sebaiknya pasien langsung datang ke rumah sakit rujukan untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut. Jika perlu, pasien bisa mengukur saturasi oksigen terlebih dahulu dengan alat pulse oksimetri.
”Sebaiknya jangan menunggu gejala ini timbul, pasien harus langsung dilarikan ke rumah sakit. Namun, yang perlu diingat, happy hypoxia hanya terjadi pada pasien Covid-19 yang merasakan gejala. Jadi, tidak akan terjadi pada pasien yang tanpa gejala,” tuturnya.