Pemerintah membuka sejumlah skenario agar cakupan imunisasi dasar dan lanjutan pada anak meningkat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah menyusun sejumlah skenario terkait dengan pelaksanaan imunisasi dasar dan lanjutan bagi anak di Indonesia. Hal ini dilakukan agar program imunisasi rutin tetap bisa dilaksanakan meskipun terkendala pandemi Covid-19.
Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan Vensya Sitohang di Jakarta, Kamis (10/9/2020), mengatakan, pemerintah telah mengadakan beberapa kegiatan untuk meningkatkan cakupan imunisasi selama pandemi berlangsung. Sosialisasi tentang pentingnya imunisasi pada anak terus berjalan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan ketat.
”Buku pedoman teknis pelayanan imunisasi di masa pendemi Covid-19 sudah diterbitkan. Surat edaran terkait dengan petunjuk pelaksanaan imunisasi, termasuk imunisasi anak sekolah di masa pandemi, juga sudah disampaikan ke seluruh kepala daerah untuk mendukung peningkatan cakupan imunisasi,” katanya.
Berdasarkan hasil survei cepat yang dilakukan Kemenkes dan Unicef Indonesia, pelayanan imunisasi menurun di masa pandemi. Setidaknya 84 persen fasilitas kesehatan layanan imunisasi mengalami gangguan yang signifikan. Selain itu, sekitar 65 persen layanan imunisasi di posyandu dan puskemas mengalami gangguan pada Februai 2020.
Vensya mengatakan, pandemi Covid-19 juga berdampak pada penurunan cakupan imunisasi anak. Pada Maret 2020, cakupan imunisasi menurun 5 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu. Cakupan ini kian menurun pada Mei 2020 yang tercatat menurun hingga 35 persen.
Karena itu, sosialisasi secara masif terus dilakukan agar cakupan imunisasi di sejumlah daerah bisa meningkat. Sosialisasi ini disertai dengan petunjuk teknis, kebijakan, dan strategi pelaksanaan imunisasi yang aman dari Covid-19. Setidaknya, setelah sosialisasi dilakukan pada Juni 2020, penurunan cakupan imunisasi menjadi 29 persen.
Vensya mengatakan, skenario juga disiapkan pada pelaksanaan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). Biasanya BIAS mulai diselenggarakan pada Agustus-September di setiap sekolah. Namun, sebagian besar sekolah kini tidak lagi menerapkan pembelajaran tatap muka di masa pandemi sehingga tata cara pelaksanaan BIAS perlu diubah.
”BIAS bisa tetap dilakukan di sekolah apapbila sekolah sudah menyelenggarakan tatap muka. Bisa juga sekolah hanya menjadi tempat pelaksanaan imunisasi dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan dengan pendataan dan temu janji antara murid dan wali muridnya,” ujarnya.
Selain itu, skenario lainnya, BIAS bisa dilakukan di puskesmas apabila imunisasi tidak mungkin dilakukan di sekolah. Sebelumnya, sekolah harus mendata murid yang menjadi sasaran imunisasi dan kemudian berkoordinasi dengan puskesmas untuk menentukan jadwal imunisasi.
Cara lainnya, imunisasi anak sekolah bisa dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas puskesmas keliling. Ini terutama untuk daerah dengan keterbatasan akses pelayanan kesehatan. ”Daerah bisa melakukan kombinasi dari semua strategi tergantung kebijakan daerah. Termasuk dengan imunisasi di posyandu dengan koordinasi dari pihak sekolah,” tutur Vensya.
Adapun target sasaran penerima program BIAS pada tahun 2020 sebanyak 4,8 juta anak kelas satu sekolah dasar untuk penerima imunisasi DT (difteri tetanus). Kemudian, 4,8 juta anak kelas dua sekolah dasar untuk imunisasi Td (tetanus difteri), 4,7 juta anak kelas lima sekolah dasar untuk imunisasi Td dan HPV (human papillomavirus), serta 300.000 anak kelas enam sekolah dasar untuk imunisasi HPV.
Sebelumnya, Ketua Satuan Tugas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Cissy B Kartasasmita mengatakan, pelaksanaan imunisasi untuk anak sekolah juga bisa dilakukan dengan cara drive through atau drive thru. Ini bisa dilakukan pada sekolah dengan siswa yang memungkinkan memiliki akses kendaraan pribadi.
Namun, Vensya menilai, cara tersebut tidak direkomendasikan untuk pelaksanaan imunisasi. ”Sesuai dengan protap imunisasi, anak-anak yang telah diimunisasi harus menunggu observasi selama 30 menit untuk mengantisipasi kalau terjadi efek samping berat, seperti shock anafilaksis, walaupun kejadian ini sangat jarang,” ujarnya.
Tengkes
Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, upaya penurunan angka tengkes atau stunting juga tetap harus digenjot sekalipun sedang terjadi pandemi. Ini dilakukan agar target yang ditetapkan oleh Presiden, yakni mencapai 14 persen pada 2024, bisa tercapai.
Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) 2019, penurunan prevalensi tengkes menurun dari 30,8 persen pada 2018 (Riskesdas 2018) menjadi 27,67 persen pada 2019. ”Angka kelahiran kita sekitar 4,8 juta per tahun, artinya angka stunting kita harus di bawah 680.000 anak. Jika angka stunting masih di atas 680.000 anak, target yang sudah ditetapkan oleh presiden tidak akan tercapai,” tuturnya.
Karena itu, Muhadjir mengatakan, langkah-langkah strategis dan terobosan perlu dilakukan agar angka tengkes di Indonesia bisa diturunkan secara signifikan. Langkah yang disiapkan perlu konkret dan spesifik. Penanganan tengkes kini telah masuk dalam program prioritas nasional yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2021.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas Subandi Sardjoko menuturkan, selain melalui strategi nasional, percepatan penurunan tengkes juga akan diatur dalam peraturan presiden. Kebijakan ini saat ini masih dirancang.
Selain itu, hal lain yang perlu didorong yakni sistem monitoring dan evaluasi anggaran yang tepat sasaran serta membangun dashboard untuk melihat capaian penurunan angka tengeks di setiap daerah. ”Data yang akurat juga penting untuk melihat apakah intervensi berhasil, pemanfaatan dana desa tepat sasaran, serta untuk mengukur keterlibatan semua pihak termasuk swasta dan NGO,” ujarnya.