Pandemi Covid-19 menuntut berbagai kegiatan dan aktivitas harian dilakukan di dalam rumah. Hal ini juga berdampak pada kebiasaan merokok yang semakin banyak dilakukan di rumah. Dampaknya pada anak.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masa pandemi Covid-19 menuntut berbagai kegiatan dan aktivitas harian dilakukan di dalam rumah. Hal ini juga berdampak pada kebiasaan merokok yang semakin banyak dilakukan di rumah. Akibatnya, ancaman asap rokok pun kian meningkat pada anggota keluarga, terutama anak.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Cut Putri Ariane mengatakan, paparan asap rokok di dalam rumah diperkirakan semakin banyak ditemui di rumah selama masa pandemi ini. Hal ini ironi mengingat rumah seharusnya menjadi tempat yang paling aman bagi anak, termasuk dari ancaman asap rokok.
”Ancaman asap rokok pada anak nyata terjadi. Residu dari asap rokok saja sudah berbahaya, apalagi paparan asap rokok langsung. Berbagai risiko bisa ditimbulkan, mulai dari gangguan kognitif sampai risiko penyakit tidak menular di masa depan,” tuturnya di Jakarta, Sabtu (29/8/2020).
Karena itu, Cut mengatakan, kepatuhan untuk menerapkan rumah bebas asap rokok perlu semakin ditingkatkan. Setiap anggota keluarga berperan untuk saling mengingatkan agar tidak ada yang merokok di rumah. Bahkan, tamu yang datang ke rumah pun seharusnya tidak diperbolehkan untuk merokok.
Data Global Youth Tobacco Survey 2019 menunjukkan, sebesar 58 persen paparan asap rokok pada anak terjadi di rumah. Sementara itu, 67 persen terjadi di tempat umum yang tertutup dan 67 persen terjadi di tempat umum yang terbuka.
Ketua Unit Kerja Koordinasi Respirologi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) yang juga anggota Satuan Tugas Covid-19 PP IDAI Nastiti Kaswandani menuturkan, paparan asap rokok pada anak bisa berdampak buruk pada kesehatan dan perilaku anak. Risiko kesehatan yang bisa terjadi seperti kanker, asma, pneumonia akut, limfoma, bronkitis, dan diabetes melitus. Selain itu, kemampuan kognitif pada anak yang terpapar asap rokok tidak berkembang optimal.
Menurut dia, risiko asap rokok tidak hanya terjadi akibat paparan langsung. Residu dari asap rokok yang menempel di pakaian ataupun perabotan rumah juga berbahaya bagi anak. Racun yang terdapat dari asap rokok dapat bertahan selama beberapa lama di permukaan benda.
”Di masa pandemi Covid-19, kita seharusnya semakin menjauhkan diri dari asap rokok. Ini karena rokok dapat meningkatkan risiko infeksi Covid-19. Risiko perburukan dan komplikasi juga semakin besar terjadi pada perokok yang terinfeksi penyakit ini,” kata Nastiti.
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Lenny Nurhayanti Rosalin berpendapat, anak merupakan peniru ulung sehingga semakin tinggi anak terpapar rokok, maka potensi untuk mulai merokok juga semakin besar. Faktor risiko anak mulai merokok antara lain karena pengaruh dari orangtua yang merokok, teman sebaya yang merokok, serta iklan dan promosi rokok yang dilihat.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, prevalensi perokok pemula pada anak usia 10-18 tahun meningkat menjadi 9,1 persen pada 2018 dari sebelumnya 7,2 persen pada 2013. Selain itu, ada sekitar 0,70 persen anak usia 10-14 tahun yang merokok setiap hari. Sementara 1,40 persen mengaku kadang-kadang merokok dan 2 persen adalah mantan perokok.
Meskipun ada 95,90 persen anak yang tidak merokok, risiko untuk menjadi perokok pasif tetap tinggi karena orangtua yang merokok, kerabat, ataupun lingkungan sekitar. Keberadaan perokok di lingkungan anak juga mendorong sekitar 10 persen anak untuk merokok.
”Masalah rokok pada anak ini tidak boleh dibiarkan berlarut. Seluruh pemangku kepentingan harus kerja bersama untuk mengatasi ini. Pemerintah pun juga harus segera membentuk strategi percepatan penurunan perokok yang lengkap dengan rambu-rambu indikator, target pencapaian, serta monitoring dan pengawasan yang kuat,” kata Lenny.