Anak Indonesia Perlu Diedukasi soal Gizi Seimbang Sejak Dini
Edukasi tentang gizi seimbang perlu diajarkan sejak dini kepada anak, orangtua, dan guru. Kesadaran pola hidup sehat diharapkan bisa memutus mata rantai malnutrisi di Indonesia.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah upaya memperkuat edukasi tentang gizi seimbang dilakukan. Ini penting untuk menanamkan kesadaran gaya hidup sehat sejak dini sekaligus menangani masalah gizi di Indonesia.
Ahli gizi Institut Pertanian Bogor, Sri Anna Marliyati, pada Jumat (28/8/2020), mengatakan, edukasi harus dilakukan terhadap orangtua, guru pendidikan anak usia dini (PAUD), dan anak-anak. Orang dewasa perlu memahami konsep makanan bergizi seimbang, lalu menyampaikannya kepada anak.
Panduan makan sehat bisa mengacu pada program Isi Piringku yang digalakkan Kementerian Kesehatan sejak 2017. Dalam sekali penyajian, idealnya ada sayuran, buah, protein, dan karbohidrat dalam satu piring.
”Gizi seimbang itu bisa dicapai dengan mengikuti prinsip Isi Piringku. Konsumsilah karbohidrat, sayur, protein, dan buah yang beraneka ragam. Batasi konsumsi gula, garam, dan minyak pada anak,” kata Sri pada seminar virtual berjudul ”Upaya Penguatan Edukasi Perilaku Gizi Seimbang untuk Anak pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru”.
Selain konsumsi unsur pangan yang beragam, Sri juga menekankan pentingnya mengajarkan kepada anak perilaku hidup bersih. Anak juga perlu diajak melakukan aktivitas fisik. Setelahnya, orangtua harus rutin memantau berat badan anak dengan membawanya ke posyandu sebulan sekali.
Kesadaran anak akan gaya hidup sehat perlu dipupuk sejak dini. Namun, menurut Sri, proses mengajar bisa jadi menantang sehingga orangtua dan guru butuh media edukasi. Media ini bisa berupa permainan ataupun lagu.
Salah satu lagu anak untuk edukasi gizi seimbang berjudul ”Isi Piringku”. Lirik dan pesan lagu diadaptasi dari program Isi Piringku yang dilakukan Kementerian Kesehatan sejak 2017. Lagu ini diunggah di akun Youtube Nutrisi Bangsa oleh Danone Indonesia hari ini.
Pada program Isi Piringku, anak dan orangtua diajarkan porsi dan komponen makanan seimbang dalam sekali penyajian. Idealnya ada sayuran, buah, protein, dan karbohidrat dalam satu piring.
Direktur Sustainable Development Danone Indonesia Karyanto Wibowo berharap agar lagu ini bisa berdampak positif bagi edukasi gizi seimbang. Ini penting karena ada sekitar 79 juta anak Indonesia yang berhak mendapat gizi terbaik. Kesadaran ini perlu ditanamkan agar anak terhindar dari malnutrisi, termasuk tengkes (stunting).
”Dampak stunting sangat luar biasa karena berkaitan dengan perkembangan otak anak. Jika tidak ditangani secara serius, kita bisa kehilangan satu generasi pada masa depan,” kata Karyanto.
Psikolog anak, Anna Surti Ariani, mengatakan, lagu merupakan stimulasi yang efektif untuk mengedukasi anak. Lagu dinilai sebagai media belajar yang menyenangkan sehingga proses belajar anak efektif.
Minimalkan risiko
Pola hidup sehat diharap bisa meminimalkan masalah gizi di Indonesia. Menurut Sri, umumnya Indonesia menghadapi tiga masalah, yakni gizi lebih, gizi kurang, dan defisiensi zat gizi mikro. Kini separuh dari populasi anak di dunia kekurangan minimal satu zat gizi mikro. Jenis kekurangan zat gizi mikro yang banyak ditemui ialah kekurangan zink atau seng, besi, yodium, folat, dan vitamin A (13/2/2020).
Kondisi ini pada akhirnya memicu tengkes (stunting). Angka prevalensi tengkes di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, ialah 30,8 persen, lalu turun menjadi 27,67 persen pada 2019. Angka ini masih jauh di atas ambang batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 20 persen.
Adapun Unicef memperkirakan jumlah anak yang menderita gizi kurang dan gizi buruk meningkat 15 persen pada tahun pertama pandemi Covid-19. Angka ini setara dengan tujuh juta anak di seluruh dunia. Adapun jumlah anak yang menderita tengkes (stunting) bertambah 700.000 anak.
Naiknya kasus tengkes terjadi karena beberapa faktor, antara lain akses yang tebatas terhadap layanan kesehatan dan makanan bergizi. Peneliti dari University of North Carolina di Chapel Hill, Amerika Serikat, Barry Popkin, mengatakan, publik cenderung memilih makanan olahan dan murah. Ini karena kemampuan finansial masyarakat turun saat pandemi.
Upaya penanganan tengkes dikhawatirkan terhambat. Padahal, pemerintah menargetkan prevalensi tengkes turun menjadi 14 persen pada 2024.