Penyintas Minta Warga Tak Kendur Hadapi Pandemi Covid-19
Pengalaman tidak mengenakkan dibagikan oleh penyintas Covid-19 dan tenaga medis. Mereka berharap, protokol kesehatan dijalankan betul demi mencegah orang lain merasakan ketidakenakan bermalam di ruang ICU.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat diminta tidak kendur dalam menekan penyebaran virus korona baru. Protokol kesehatan harus ditegakkan jika tak ingin berakhir di ruang intensive care unit atau ICU yang sunyi dan mengerikan.
Hal itu disampaikan oleh penyintas Covid-19, Bernardus Djonoputro, dalam diskusi daring bertajuk ”Jurit Malam di ICU” oleh alumni Pramuka Institut Teknologi Bandung, Kamis (20/8/2020) sore. Bernardus gundah karena masyarakat semakin kendur dalam protokol kesehatan. Kegundahan itu bertambah tatkala ia menyaksikan sejumlah pesohor yang meremehkan Covid-19.
”Ini perspektif penyintas yang mudah-mudahan bisa membantu masyarakat agar tak kendur menghadapi pandemi Covid-19 ini,” katanya.
Bernardus merupakan pasien berstatus pasien dalam pengawasan atau terduga dengan gejala berat. Ia dinyatakan sembuh dari Covid-19 pada 24 April 2020.
Gejala awal sudah ia rasakan pada 20 Maret 2020. Saat itu, tenggorokannya terasa panas. Kemudian, dia menjalani tes cepat dan hasilnya nonreaktif. Namun, dia masih merasa demam saat itu.
Tak puas dengan hasil itu, Bernardus kembali berkonsultasi dengan dokter pada akhir Maret. Dia pun menjalani rontgen paru. Hasilnya, ada dua titik putih di paru-parunya. ”Saat itu, saya sudah curiga ini pasti Covid-19. Tetapi, yang perlu diingat, di masa itu sangat sulit bagi dokter untuk menentukan seseorang positif. Meminta surat rujukan agar dirawat di rumah sakit Covid-19 juga tak mudah,” katanya.
Berkat bantuan beberapa kolega, Bernardus akhirnya bisa dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta. Di sini, dia menjalani CT scan paru-paru. Hasil tes menunjukkan, paru-parunya sudah penuh oleh cairan putih. Dia pun masuk ruang isolasi.
Kondisi Bernardus bertambah berat. Dia dipindahkan ke ruang ICU selama sembilan hari sebelum akhirnya dinyatakan sembuh. ”ICU itu mengerikan, di sebelah kita tak bisa ngomong. Hanya bunyi tut-tut-tut (ventilator). Ketemu terakhir sama keluarga pas mau diisolasi. Dan kita tak tahu apakah keluar dalam keadaan sehat atau dalam keadaan sudah terbungkus plastik (meninggal),” katanya.
ICU itu mengerikan, di sebelah kita tak bisa ngomong. Hanya bunyi tut-tut-tut (ventilator). Ketemu terakhir sama keluarga pas mau diisolasi. Dan kita tak tahu apakah keluar dalam keadaan sehat atau dalam keadaan sudah terbungkus plastik (meninggal).
Tenaga kesehatan
Anggota tim Covid-19 RSUD Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dr Edwin M Hilman, yang juga menjadi pembicara dalam diskusi daring itu menambahkan, kengerian di ruang isolasi dan ICU tak hanya dirasakan pasien. Tenaga kesehatan pun merasakan hal yang sama. ”Saya punya teman, ketika akan dinas di ICU, semalamnya tak bisa tidur,” katanya.
Ini tak lain karena sunyinya ruangan tersebut. Tak jarang, dia mendapati pasien ICU memutar ayat kitab suci atau lagu-lagu rohani.
Selain suasana yang sepi, tantangan yang dihadapi tenaga kesehatan adalah risiko tertular virus korona baru. Tenaga kesehatan sering tertular ketika pelepasan alat pelindung diri (APD). ”Meskipun kami sudah berulang kali diajarkan mengenai protokol pelepasan APD, tetap saja ada tenaga kesehatan yang terkena,” katanya.
Di tempat Edwin bekerja, meyakinkan masyarakat agar bersedia menjalani isolasi pun tak mudah. Kerap kali tenaga kesehatan harus dibantu polisi dalam mengurus pasien positif Covid-19.
Dalam dunia kedokteran, katanya, hal ini menimbulkan perdebatan. Di satu sisi, protokol kesehatan mengharuskan pasien yang terkonfirmasi positif disertai gejala harus menjalani isolasi di rumah sakit. Namun, pada saat bersamaan, pasien berhak menolak isolasi karena ingin mendapat opini lain (second opinion) atas vonis positif Covid-19. ”Sampai kini, hal ini masih diperdebatkan oleh para dokter,” ujarnya.