Pasien kanker paru memiliki keterbatasan dalam fungsi parunya. Jika terinfeksi Covid-19, angka kesakitannya menjadi lebih tinggi. Selain itu, daya tahan tubuh pada pasien kanker paru juga tidak optimal.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Orang dengan komorbid atau penyakit penyerta berupa gangguan fungsi paru, terutama kanker paru, berisiko lebih besar mengalami perburukan ketika tertular Covid-19. Pencegahan penularan agar dilakukan seoptimal mungkin melalui penghindaran risiko.
Hal itu bisa dilakukan dengan menghindari bertemu banyak orang, berada di fasilitas umum yang terlalu lama, ataupun melakukan kegiatan yang sifatnya berkerumun. Apabila terpaksa beraktivitas di luar rumah, protokol kesehatan harus ketat dijalankan, seperti menjaga jarak, mencuci tangan sesering mungkin, dan menggunakan masker yang bisa dilengkapi dengan pelindung muka (face shield).
Dokter spesialis paru konsultan onkologi Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Sita Laksmi Andarini, mengatakan, pasien kanker paru memiliki risiko lebih besar tertular Covid-19 dan rentan mengalami kondisi yang lebih berat apabila terinfeksi. Ini karena virus SARS-CoV-2 yang menjadi penyebab Covid-19 menyerang fungsi paru.
”Pasien kanker paru sudah memiliki keterbatasan dalam fungsi parunya. Jika terinfeksi Covid-19, angka kesakitannya menjadi lebih tinggi. Selain itu, daya tahan tubuh pada pasien kanker paru juga tidak optimal sehingga mudah terserang berbagai penyakit, termasuk Covid-19,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (8/8/2020).
Ia mengakui, pasien kanker paru tak selamanya bisa berada di rumah. Pasien tersebut dalam periode waktu tertentu masih tetap harus berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan terapi dan pengobatan yang tak boleh putus di tengah jalan. Terkait konsultasi rutin dengan dokter, untuk sementara bisa dilakukan secara daring atau melalui sejumlah aplikasi.
Kendala
Di sisi lain, pasien kanker paru dari luar daerah terkendala akses pengobatan dan terapi. Sebagian pasien kanker paru di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan berdomisili di luar kota, mengalami kesulitas mangakses layanan langsung saat pembatasan sosial berskala besar untuk mengakses layanan langsung. Kendala ini sempat menyebabkan sebagian pasien mengalami putus obat.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Cancer Information and Support Center (CISC) Aryanthi Baramuli Putri menuturkan, pandemi Covid-19 juga berdampak pada keterbatasan akses layanan kesehatan di rumah sakit. Jumlah pasien yang bisa berkunjung ke rumah sakit lebih dibatasi sehingga waktu tunggu untuk mendapatkan layanan terapi menjadi lebih lama.
Selain itu, pasien kanker paru juga dibebani biaya pemeriksaan Covid-19 dengan tes usap atau tes cepat, sebelum melakukan terapi. Biaya ini menambah beban pasien, terlebih pasien dari luar kota yang juga harus mengeluarkan ongkos untuk akomodasi.
Aryanthi menambahkan, layanan telemedicine pun belum didapatkan oleh pasien yang menjadi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat. Program tersebut hanya menanggung layanan tatap muka dengan dokter.
Ia berharap kepastian pengobatan bagi pasien kanker paru bisa tetap terjamin pada masa pandemi ini. Selain itu, pemberlakuan surat rujukan BPJS Kesehatan bisa diperpanjang sampai satu tahun.
Saat ini, surat rujukan hanya berlaku tiga bulan sehingga pasien tetap harus kembali ke fasilitas kesehatan tingkat pertama. (Aryanthi Baramuli Putri)
”Saat ini, surat rujukan hanya berlaku tiga bulan sehingga pasien tetap harus kembali ke fasilitas kesehatan tingkat pertama,” katanya.
Ini meningkatkan risiko paparan Covid-19 menjadi tinggi karena terapi kanker seperti kemoterapi dan radioterapi cukup memakan waktu.
Menanggapi kendala ini, Kepala Humas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan, aturan khusus pemberian obat kemoterapi sudah diterbitkan pemerintah. Obat dapat diberikan maksimum untuk 30 hari sesuai dengan indikasi medis dan mengacu pada Formularium Nasional.
Dokter spesialis atau subspesialis juga dapat meresepkan obat kronis atau obat kemoterapi oral untuk kebutuhan 30 hari. Selain itu, dokter juga bisa memberikan tanda iter pada resep yang berlaku untuk maksimal dua kali iterasi sesuai dengan ketentuan. Ini tercantum dalam Surat Edaran Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Nomor 42 Tahun 2020.
”BPJS Kesehatan sudah menyampaikan kebijakan ini ke semua fasilitas kesehatan. Diharapkan fasilitas kesehatan juga dapat mengomunikasikannya ke dokter dan pasien sehingga pelaksanaannya bisa optimal,” kata Iqbal.
Berdasarkan data Globocan 2018, terdapat 348.809 kasus kanker paru di Indonesia dengan angka kematian 207.210 jiwa. Kanker paru termasuk jenis kanker penyebab kematian tertinggi.
Cegah kanker paru
Sita menuturkan, deteksi dini harus lebih digalakkan agar penemuan kasus bisa cepat dilakukan. Dengan begitu, tata laksanan pun menjadi lebih mudah dilakukan dan cepat. Bahkan, pasien kanker paru yang terdiagnosis pada stadium dini bisa disembuhkan.
Meski begitu, upaya pencegahan merupakan hal yang lebih penting. Masyarakat harus menghindari faktor risiko yang dapat memicu terjadinya kanker paru.
”Faktor risiko yang paling utama adalah paparan asap rokok. Untuk itu, jika tidak ingin terkena kanker paru, berhentilah merokok saat ini juga. Merokok tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga orang yang berada di sekelilingnya,” ucap Sita.