Membatasi Waktu di Depan Layar Mengurangi Risiko Kematian
Studi terbaru menunjukkan, membatasi memelototi layar monitor maksimal dua jam per hari bisa mencegah dan menunda kematian. Padahal, pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19 membuat banyak hal dilakukan melalui gawai.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
Sejak beberapa dekade silam, kampanye untuk membatasi waktu di depan layar televisi digaungkan. Pada era digital, seruan ini juga muncul akibat tingginya waktu di depan layar gawai. Namun, pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru membuat ajakan guna membatasi gawai itu seperti sirna.
Pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19 membuat banyak hal dilakukan melalui gawai. Jadi, gawai yang sebelumnya lebih banyak dijadikan sarana untuk memperoleh hiburan kini pemanfaatannya lebih beragam, mulai untuk belajar, bekerja, rapat, seminar, konser atau pertunjukan seni, belanja, konsultasi dokter, hingga silaturahmi.
Repotnya, gawai juga banyak dijadikan pelarian atas kejenuhan dan stres selama hanya bisa beraktivitas di rumah. Peningkatan waktu di depan gawai itu terjadi di seluruh dunia hingga menimbulkan perdebatan dampak dari besarnya waktu anak-anak di depan gawai selama terkurung di rumah akibat korona.
Di luar perdebatan yang terjadi, studi terbaru yang dilakukan sejumlah peneliti di Universitas Glasgow, Inggris, dan dipublikasikan di Mayo Clinic Proceedings, 23 Juli 2020, menunjukkan membatasi memelototi layar monitor maksimal dua jam per hari bisa mencegah dan menunda kematian ataupun memburuknya kondisi kesehatan.
Studi itu dilakukan terhadap 500.000 orang berumur 37-73 tahun selama 12 tahun, antara 2006 dan 2018 atau sebelum pandemi Covid-19 terjadi. Meski demikian, studi ini tidak hanya menghitung dampak dari menonton televisi semata, tetapi juga menonton video melalui gawai atau telepon seluler.
Hasil dari semua responden menunjukkan membatasi menonton televisi dua jam per hari atau kurang dari itu bisa mencegah atau menunda 5,62 persen kematian dari semua kasus kematin yang ada dan 7,97 persen kematian akibat penyakit kardiovaskular.
Hamish Foster, pimpinan studi yang berasal dari Institut Kesehatan dan Kesejahteraan Universitas Glasgow kepada BBC, 23 Juli 2020, mengatakan, hasil penelitian ini mendukung bukti sebelumnya bahwa terlalu banyak menonton televisi atau berada di depan layar monitor akan meningkatkan gaya hidup kurang gerak (sedentery lifestyle) yang bisa meningkatkan risiko kesehatan.
”Saat ini tim masih meneliti untuk menghasilkan rekomendasi berapa lama waktu menonton televisi yang baik," katanya.
Makan camilan
Kebiasaan duduk berlama-lama di depan televisi atau layar monitor itu memiliki hubungan kuat dengan kebiasaan ngemil atau makan camilan tidak sehat dan tingkat sosioekonomi yang rendah. Selain itu, mereka yang aktif bergerak menghabiskan waktu lebih sedikit di depan televisi.
Lantas, bagaimana dengan yang terjadi selama pandemi ini?
Hampir semua orang merasakan betapa padatnya jaringan seluler sepanjang hari selama masyarakat diminta tetap tinggal di rumah. Kapasitas jaringan umumnya mulai longgar saat tengah malam. Situasi itu membuat sejumlah orang yang harus bekerja di rumah baru bisa mengirimkan dokumen-dokumen kerjanya menjelang tengah malam, bahkan dini hari.
Banyaknya waktu di depan layar itu juga bisa dilihat dari melonjaknya kebutuhan untuk membeli pulsa. Survei Sosial Demografi Dampak Covid-19 yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada akhir April 2020 menunjukkan, pulsa atau paket data menjadi pengeluaran masyarakat terbesar ketiga setelah bahan makanan dan kesehatan.
Namun, banyak ahli melihat fenomena melonjaknya waktu di depan layar monitor selama pandemi ini bukan sebagai hal yang meresahkan karena situasi yang terjadi saat ini di luar normal. Peningkatan itu terjadi pada semua kelompok masyarakat dan di seluruh dunia.
”Keluarga menghadapi banyak stres selama pandemi. Karena itu, membatasi waktu di depan layar atau monitor bukan menjadi prioritas,” kata Michael Robb dari Common Sens Media, kelompok pengedukasi keluarga dalam penggunaan teknologi secara aman yang berbasis di San Fransisco, Amerika Serikat, seperti dikutip BBC, 15 April 2020.
Sebelum pandemi, American Academy of Pediatrics (AAP), semacam Ikatan Dokter Anak Indonesia, telah lama mengingatkan agar orangtua untuk tidak memberikan gawai pada bayi hingga mereka berumur 18 bulan. Setelah itu, hingga usia lima tahun, anak boleh dikenalkan gawai dengan dibatasi waktu penggunaan tidak lebih dari satu jam sehari. Itu pun harus didampingi orangtua.
Keluarga menghadapi banyak stres selama pandemi. Karena itu, membatasi waktu di depan layar atau monitor bukan menjadi prioritas.
Namun, peringatan itu ditentang sejumlah ahli yang lain. Andrew Przybylski, Direktur Penelitian di Institut Internet Oxford, Universitas Oxford, Inggris, mengatakan, gawai juga memberi banyak manfaat, seperti untuk berkomunikasi melalui panggilan video dengan kakek dan nenek, bermain catur daring, atau tontonan mendidik lainnya. Semua hal yang bermanfaat itu tidak bisa dicampuradukkan dengan tayangan yang kurang bermutu dan bermanfaat.
Studi Przybylski dan rekan yang dipublikasikan di Psychological Science, 2 April 2019, menemukan lama waktu di depan layar monitor memiliki sedikit dampak terukur pada kesehatan mental remaja.
Penelitian Przybylski lain yang diunggah di Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry pada 7 Agustus 2019 menunjukkan anak yang memiliki waktu di depan layar monitor 1-2 jam per hari memiliki tingkat kesejahteraan lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang tidak bisa mengakses gawai sama sekali.
Di antara pertentangan itu, dokter anak Cori Cross dari Los Angeles, AS, yang ikut menyusun pedoman AAP tentang penggunaan gawai pada remaja mengaku pentingnya melihat gambaran besar persoalan.
Cross pun telah melonggarkan sejumlah aturan pembatasan penggunaan gawai pada anak-anaknya selama pandemi, seperti membolehkan penggunaaan gawai di kamar tidur hingga mereka bisa belajar dan mengerjakan tugas sekolah dengan tenang. Namun, dia juga memastikan ada saat bagi anak-anaknya mematikan gawai mereka dan membuat mereka sibuk dengan kegiatan yang tidak melibatkan gawai.
Pada masa yang tidak mudah ini, anak-anak tetap membutuhkan aktivitas fisik, bermain di luar rumah, kegiatan yang tidak terstruktur, dan tetap terhubung dengan semua anggota keluarga. Di samping itu, pola makan dan tidur yang sehat tetap jadi acuan.
Dalam situasi tidak normal seperti sekarang, aturan buat anak perlu disesuaikan. Namun, saat kondisi sudah normal kembali, aturan yang diterapkan bisa berbeda lagi.
Hal senada diungkapkan Jenny Radesky, dokter spesialis anak di Universitas Michigan, AS, yang juga menyusun pedoman media AAP untuk anak pada 2016. Orangtua tidak pelu merasa tertekan 24 jam penuh untuk mengatur waktu anak-anak dengan gawai. Selama pandemi ini, jika orangtua merasa anak-anak mereka menghabiskan waktu terlalu banyak dengan gawai, hal itu masih bisa terjadi di kemudian hari.
Saat ini, orangtua perlu melatih anak-anak mereka untuk bisa mengatur diri sendiri menggunakan gawai. Keterampilan ini dibutuhkan agar saat pandemi berakhir dan situasi kembali normal, anak-anak memiliki kemampuan untuk menentukan kapan mereka menggunakan gawai dan kapan harus mematikan atau mengabaikan gawai mereka.