Antibodi dan protein dari sistem kekebalan tubuh diketahui mampu menghambat kuman penyebab penyakit. Karena itu, peneliti berupaya mengidentifikasi antibodi spesifik yang mampu melawan SARS-CoV-2.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·3 menit baca
Pandemi SARS-CoV-2 nyaris melumpuhkan roda kehidupan manusia dan ekonomi global. Di dunia, lebih dari 15,6 juta orang terinfeksi dengan sedikitnya 636,848 kematian (data 24 Juli 2020). Pandemi ini membuat sebagian besar kehidupan terhenti dan ekonomi terganggu. Bahkan, negara makmur, seperti Singapura dan Korea Selatan, pun dilanda resesi.
Pulihnya kondisi sangat bergantung pada kemajuan ilmu pengetahuan dan kedokteran. Untuk itu, ilmuwan di sejumlah negara dan perusahaan farmasi bekerja keras melakukan penelitian untuk menemukan obat ataupun vaksin untuk melawan virus penyebab Covid-19 itu.
Sejauh ini belum ada pengobatan yang disetujui untuk mengatasi Covid-19. Penderita dengan gejala ringan dianjurkan untuk isolasi mandiri di rumah. Sementara yang mengalami gejala cukup berat dirawat di rumah sakit dengan terapi penunjang seperti pemberian oksigen serta mendapat obat sesuai dengan penilaian klinis dokter dan panduan rumah sakit.
Obat yang paling maju dalam uji klinis untuk Covid-19 saat ini adalah remdesivir, antivirus yang diberikan secara intravena. Namun, belum secara resmi disetujui badan pengawas obat mana pun, termasuk FDA Amerika Serikat.
Para peneliti juga menguji obat yang sebelumnya digunakan untuk mengobati penyakit lain, untuk melihat efektivitasnya dalam mengatasi Covid-19. Obat-obatan itu, antara lain deksametason, hidroksikhlorokuin dan klorokuin, azitromisin, plasma konvalens, tocilizumab, Kaletra (lopinavir/ritonavir), Tamiflu (oseltamivir), Avigan (favipiravir) dan obat antiviral lain, serta colchicine, obat antiradang yang daya kerjanya mirip tocilizumab.
Antibodi
Para peneliti juga mengeksplorasi berbagai kemungkinan calon obat. Salah satunya, penelitian terkait antibodi yang diproduksi tubuh penderita Covid-19.
David Ho dari Fakultas Kedokteran dan Bedah Vagelos, Universitas Columbia, New York City dan kolega, dalam ulasan artikel yang dimuat di Nature, 22 Juli 2020, melaporkan, telah mengidentifikasi sejumlah antibodi yang mampu menghambat virus korona baru agar tidak menginfeksi sel.
Mereka meneliti antibodi penghambat virus dari plasma darah lima orang dari 40 penderita Covid-19 parah yang memiliki titer antibodi tertinggi. Ada 61 antibodi monoklonal (mAbs) yang diisolasi dan diteliti efektivitasnya.
Hasilnya, 19 jenis antibodi berpotensi mencegah infeksi pada penelitian di laboratorium (in vitro), yakni pada contoh sel. Antibodi itu menempel pada berbagai lokasi protein paku virus korona baru, yakni protein yang bertanggung jawab untuk mengikat reseptor pada sel inang. Akibatnya, virus sulit bermutasi ataupun menempel ke sel target.
Dari jumlah itu, sembilan antibodi menunjukkan potensi sangat baik, dengan konsentrasi penghambatan virus sebesar 0,7 hingga 9 ng/mL. Dosis kecil salah satu protein kekebalan tubuh itu mampu melindungi hamster suriah (Mesocricetus auratus) dari infeksi SARS-CoV-2.
Karena itu, peneliti optimistis, antibodi monoklonal tersebut bisa menjadi kandidat untuk dikembangkan sebagai terapi baik dalam pengobatan maupun pencegahan infeksi SARS-CoV-2.
Sementara itu, sejumlah peneliti lain mendapatkan, sistem kekebalan tubuh penderita Covid-19 dengan gejala yang parah ternyata hanya menghasilkan sedikit protein antivirus yang disebut interferon (IFN tipe 1) dibandingkan dengan penderita dengan gejala ringan atau sedang. Tubuh penderita Covid-19 yang parah lebih banyak memproduksi molekul peradangan. Molekul ini berbahaya jika terbentuk dalam jumlah besar, bahkan bisa menyebabkan kematian.
Penelitian Benjamin Terrier dari Universitas Paris, Perancis, dan kolega itu dipublikasi di Science, 13 Juli 2020. Dari penelitian terhadap 50 orang yang terinfeksi dengan berbagai tingkat keparahan, mereka menemukan, kadar interferon dalam darah menurun sehingga pasien harus masuk unit perawatan intensif (ICU).
Penurunan kadar interferon dalam darah merupakan ciri khas Covid-19 yang parah.
Disimpulkan, penurunan kadar interferon dalam darah merupakan ciri khas Covid-19 yang parah. Karena itu, perawatan untuk mengatasi peradangan dan meningkatkan jumlah interferon dinilai dapat membantu pasien untuk melewati masa kritis.
Berbagai penelitian terus dilakukan untuk memahami kerja virus, reaksi tubuh penderita ataupun akibat yang terjadi dalam perjalanan penyakit. Banyak hasil yang menarik dan menjanjikan. Sebagian bisa mulai diterapkan, tetapi banyak yang masih harus melalui jalan panjang untuk menjadi pengobatan standar melawan penyakit yang melumpuhkan dunia ini.