Masa Awal Menjadi Penentu Kehidupan
Sel manusia diprogram sejak dalam kandungan untuk merespons lingkungan sepanjang hidup. Karena itu, apa yang dialami di awal kehidupan menentukan mutu dan kemampuan seseorang dalam hidup selanjutnya.
Masa 1.000 hari pertama dalam kehidupan manusia merupakan masa yang paling penting dalam perkembangan fisik dan mental. Masa ini menentukan mutu dan kemampuan seseorang dalam menghadapi kehidupan.
Sel manusia diprogram sejak dalam kandungan dan selama masa kanak-kanak untuk merespons lingkungan sepanjang hidup mereka. Penelitian epigenetik menunjukkan faktor eksternal, seperti makanan dan lingkungan, memengaruhi gen kita.
Karena itu, apa yang dialami seseorang pada awal kehidupan tidak hanya membentuk struktur organ tubuh, tapi juga menentukan polanya dalam memproses dan menghadapi apa yang terjadi di masa depan. Sebagai contoh, jika selama kehamilan ibu kurang gizi, sistem biologi janin beradaptasi dalam memanfaatkan zat gizi untuk melindungi dari kekurangan di masa depan.
Hal ini menimbulkan hubungan paradoks antara bayi yang dilahirkan dan berat badan rendah dengan kecenderungannya untuk mengalami obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular saat dewasa jika tidak hati-hati menerapkan pola makan serta gaya hidup.
Baca juga: Seribu Hari Pertama Kehidupan yang Menentukan
Hal yang sama dengan reaksi emosional. Janin yang ibunya mengalami stres semasa hamil atau bayi dan kanak-kanak yang terpapar rasa takut dalam waktu lama, maka kadar kortisolnya tinggi. Respons stres mereka mudah terpicu hanya dengan sedikit gangguan. Hal ini menyebabkan mereka berisiko mengalami berbagai masalah kesehatan fisik, mental, dan sosial.
Perkembangan otak
Pada awal kehidupan, otak berkembang dengan kecepatan luar biasa. Menurut laman Universitas Washington, Amerika Serikat, ada 250.000 neuron (sel saraf) tumbuh setiap menit pada otak janin dalam kandungan. Pada kehamilan minggu ke-24, otak memiliki 10 miliar sel saraf. Saat dilahirkan, otak bayi memiliki hampir seluruh neuron yang diperlukan. Otak terus berkembang. Pada usia dua tahun, otak tumbuh menjadi 80 persen dan pada usia lima tahun ukurannya mencapai 90 persen otak orang dewasa.
Perhimpunan Dokter Anak Amerika Serikat (American Academy of Pediatrics) menyatakan, zat gizi yang menjadi kunci dalam perkembangan otak yakni protein, asam lemak, seng, zat besi, yodium, kolin, asam folat, vitamin A, D, B6, dan B12. Jika kekurangan zat gizi, bayi berisiko mengalami keterlambatan perkembangan, lahir cacat, dan kemampuan kognitifnya rendah.
Setelah lahir, bayi memerlukan makanan kaya zat gizi untuk pertumbuhan. Air susu ibu (ASI) memberikan zat gizi lengkap untuk perkembangan otak serta faktor pertumbuhan dan hormon yang tidak dapat direplikasi dalam susu formula.
Baca juga: Gizi Anak yang Memprihatinkan
Menurut Sarah Cusick dan Michael K Georgieff di laman Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), kekurangan zat besi merupakan masalah paling umum di dunia. Diperkirakan, 47 persen (293 juta) anak usia prasekolah dan 42 persen (56 juta) ibu hamil menderita anemia. Puncak kebutuhan zat besi otak pada periode janin dan bayi baru lahir serta masa bayi hingga balita (6 bulan hingga 3 tahun).
Tantangan Indonesia
Masalah terkait pandemi Covid-19 yakni layanan kesehatan dan jangkauan petugas berkurang karena kekhawatiran penularan penyakit. Di sisi lain, akses terhadap makanan bergizi berkurang karena kemampuan ekonomi penduduk menurun. Padahal, Indonesia masih menghadapi masalah gizi, terutama pada anak dan ibu hamil, dalam bentuk anemia dan gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis atau tengkes (stunting).
Menurut Endang L Achadi, Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dan Ketua Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia, Minggu (19/7/2020), anemia dan kurang gizi pada ibu hamil menyebabkan pertumbuhan janin kurang optimal, lahir dengan berat badan rendah, dan panjang tubuh kurang.
Jika kondisi itu dibiarkan berlarut, anak akan menjadi tengkes dengan segala implikasinya, meliputi perkembangan organ tubuh kurang optimal, anemia usia dini, penurunan kecerdasan, dan memiliki risiko penyakit tidak menular, seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular. Menurut Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi anemia pada ibu hamil mencapai 48,9 persen.
Baca juga: Menjaga Kesehatan Perempuan Hamil
”Tidak ada satu makanan yang bisa mencukupi seluruh kebutuhan tubuh. Karena itu, jenis makanan harus beragam dan proporsional. Untuk mengatasi anemia, sumber zat besi yang ideal adalah produk hewani karena bioavailabilitasnya lebih baik daripada nabati,” kata Endang.
Untuk mencegah tengkes dan segala implikasinya, Pemerintah Indonesia melaksanakan program 1.000 hari pertama kehidupan didukung Unicef dan sektor lain, termasuk swasta. Itu meliputi, antara lain, mencegah anemia pada perempuan remaja dan ibu hamil melalui pemberian tablet tambah darah yang berisi zat besi dan asam folat.
”Kekurangan asam folat menyebabkan bayi lahir cacat,” ujarnya. Sumber asam folat di antaranya kacang-kacangan; sayuran hijau, seperti bayam dan brokoli; serta buah-buahan, misalnya melon, pisang, dan jeruk.
Masalahnya, kepatuhan ibu untuk minum tablet tambah darah sangat rendah, hanya 7 persen. Dari pengalaman melakukan penelitian anemia sejak 1995, Endang mendapatkan, ibu hamil tidak mau minum tablet tambah darah karena tidak enak, takut anak menjadi besar dalam kandungan, khawatir mengalami tekanan darah tinggi, serta khawatir mengalami darah kental.
Padahal, ibu yang anemia akan melahirkan bayi dengan persediaan zat besi sangat rendah sehingga pada usia 4-6 bulan mengalami anemia. Jika tidak segera dikoreksi, kecerdasan intelektual (IQ) anak akan turun hingga 12 poin.
Pembentukan organ tubuh terjadi pada 8 minggu pertama kehamilan.
Kecukupan gizi harus terjadi sebelum kehamilan karena pembentukan organ tubuh terjadi pada 8 minggu pertama kehamilan. Kemudian, berkembang hingga sembilan bulan. Pada waktu lahir seluruh perkembangan organ sudah selesai, kecuali otak, sistem imun, dan hati.
Janin memiliki plastisitas tinggi, mampu menyesuaikan perkembangan dengan pasokan gizi dari ibu. Jika ibu kurang gizi, pembelahan sel berlangsung lebih lambat, jumlah sel janin lebih sedikit, dan ukuran lebih kecil. Akibatnya, fungsi organ tubuh kurang optimal. Panjang dan berat tubuh saat lahir menjadi indikator dini terkait kecukupan gizi bayi.
Enam bulan pertama setelah lahir merupakan masa penting untuk mengejar kecukupan gizi agar stunting tidak permanen. Sedangkan perkembangan otak optimal bisa dikejar sampai usia dua tahun. Fungsi kognitif bisa dikembangkan jika gizi dan stimulasi bagus hingga usia praremaja.
Imunisasi
Bayi dilahirkan dengan perlindungan terhadap beberapa penyakit karena mendapat antibodi dari ibu. Bayi yang diberi ASI mendapatkan lebih banyak antibodi. Namun, perlindungan itu bersifat sementara.
Imunisasi merupakan cara paling baik untuk melindungi anak dari berbagai penyakit menular, seperti difteri, campak, campak jerman (rubella), polio, tetanus, dan batuk rejan (pertusis) yang bisa menyebabkan anak sakit serius, dirawat di rumah sakit, bahkan mematikan. Vaksin dari kuman yang dilemahkan atau dimatikan bisa menstimulasi pembentukan antibodi.
Infeksi alami memang bisa memberikan kekebalan, tetapi ada risiko serius, demikian laman Mayo Clinic. Sebagai contoh, cacar air alami dapat memicu pneumonia. Infeksi polio bisa menyebabkan kelumpuhan. Sementara infeksi Haemophilus influenzae tipe b (Hib) alami dapat mengakibatkan kerusakan otak, bahkan kematian.
Di Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengeluarkan rekomendasi imunisasi untuk anak, antara lain Hepatitis B, Polio, BCG, DTP, Hib, Campak, MMR.PCV, dan varisela.
Baca juga: 300.000 Anak Indonesia Belum Mendapat Imunisasi
Menurut dokter spesialis anak Piprim Basarah Yanuarso, Senin (20/7/2020), jika cakupan imunisasi tinggi, yakni lebih dari 80 persen bayi diimunisasi, akan tercipta herd immunity atau kekebalan komunitas. Dengan demikian, bayi yang mengalami masalah kesehatan khusus dan tidak bisa diimunisasi akan ikut terlindungi.
Imunisasi massal menguntungkan bagi negara. Biaya pencegahan jauh lebih murah daripada mengobati penyakit berat. Misalnya, harga 1 dosis vaksin campak sekitar Rp 10.000, sedangkan biaya pengobatan radang otak akibat campak bisa puluhan juta rupiah, selain anak menjadi cacat.
Terkait adanya kampanye hitam yang menyebabkan cakupan imunisasi menurun, pemerintah perlu mengatasi dengan penyebaran masif kampanye manfaat imunisasi. ”Selain itu, perlu penjelasan yang lebih mudah dicerna mengenai berbagai isu, seperti halal haram vaksin dan kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) yang sering membuat masyarakat galau,” kata Piprim.
Dengan kebijakan yang tepat, diharapkan segala kendala, termasuk pandemi Covid-19, bisa teratasi dalam upaya menjamin kesehatan dan melindungi masa depan anak-anak.