Ketika Bangunan Menyebabkan Sakit
Sirkulasi tertutup dalam gedung dikhawatirkan bisa menyebarkan penyakit yang menular lewat udara. Ternyata ada cara jitu untuk menyiasati agar tetap aman dan nyaman bekerja dalam ruangan.
Kabar penularan Covid-19 melalui udara menyebabkan kekhawatiran sebagian orang yang bekerja di dalam gedung. Sirkulasi udara tertutup pada ruang berpenyejuk ruangan (AC) dikhawatirkan membuat virus yang berada dalam percikan cairan sangat halus atau aerosol bertahan cukup lama di udara.
Kekhawatiran itu beralasan. Sejak lama dikenal suatu kondisi yang diduga akibat berada dalam gedung atau ruangan tertutup yang disebut sindrom bangunan sakit (sick building syndrome/SBS).
Sumedha M Joshi dari Departemen Kedokteran Sosial dan Pencegahan, Fakultas Kedokteran Universitas DY Patil, Nerul, Navi Mumbai, India, dalam artikel yang dimuat di Indian Journal of Occupational and Environmental Medicine, Agustus 2008, menguraikan, gejala SBS antara lain sakit kepala, pusing, mual, iritasi mata, hidung dan tenggorokan, kulit kering dan gatal, sulit berkonsentrasi, merasa letih, sensitif terhadap bau, suara serak, batuk pilek, peningkatan reaksi alergi, dan asma. Bila ada tanda-tanda seperti itu, bisa berarti SBS sedang menjangkiti.
Gejala tersebut berkurang atau hilang saat orang bersangkutan keluar dari gedung atau ruangan tertutup. Penyebab gejala belum diketahui secara pasti. Yang jelas, kondisi itu mengurangi efisiensi kerja dan produktivitas karyawan karena sering absen.
Faktor yang diduga memicu SBS, antara lain, cemaran kimia berupa asap kendaraan, debu, dan polusi lain dari luar yang ikut masuk ke ruangan. Sementara cemaran dari dalam ruang yang paling umum adalah senyawa organik yang mudah menguap (volatile organic compounds/VOC), seperti cat, perekat, zat kimia dalam karpet, debu mesin fotokopi, produk kayu, pestisida, bahan pembersih, serta pewangi sintetis untuk ruangan.
Radiasi elektromagnet dari microwave, televisi, dan komputer yang terionisasi di udara serta berbagai kabel yang tidak dilandaskan ke tanah dengan baik bisa menimbulkan medan magnet tinggi yang dikaitkan dengan timbulnya kanker.
Faktor lain adalah cemaran biologi, seperti serbuk sari, bakteri, virus, jamur, kutu, dan kotoran serangga. Bakteri dan jamur berkembang biak pada genangan air pada saluran air, karpet lembab, tirai jendela, ataupun pelapis kursi dan sofa. Cemaran biologi bisa menyebabkan demam, sesak napas, nyeri otot, dan reaksi alergi.
Baca juga : Kisah Tangerang Selatan, Kota yang Lekat dengan Kualitas Udara Buruk
Gejala SBS lebih sering terjadi pada bangunan ber-AC dibandingkan bangunan yang berventilasi alami. Pada kantor yang penuh orang, penyakit yang ditularkan lewat udara (airborne disease) dapat menyebar dengan cepat di antara para-pekerja. Sirkulasi udara dengan AC dapat menyebarkan patogen ke seluruh sudut bangunan.
Hal lain, ada penelitian Lydia Bourouiba, ahli fisika matematika yang menjadi Kepala Laboratorium Dinamika Fluida dari Transmisi Penyakit di Institut Teknologi Massachusetts (MIT), Amerika Serikat. Ia memimpin sekelompok ilmuwan untuk melakukan penelitian tentang bersin. Hasil penelitian yang dilengkapi video gerak lambat (slow motion) bersin dipublikasikan di New England Journal of Medicine, Agustus 2016.
Menurut Bourouiba, percikan cairan dari semburan bersin ternyata bentuknya tidak sama. Kombinasi kekuatan bersin dan turbulensi cairan menyebabkan terbentuknya berbagai ukuran partikel dari butiran halus sampai tetesan cairan yang lebih besar.
Baca juga : Polusi Udara Tingkatkan Risiko Demensia
Percikan halus dari bersin pada kondisi tertentu mampu bergerak dalam sebuah ruangan dalam hitungan detik. Percikan cairan yang cukup besar bisa tersebar sejauh 1-2 meter, sedangkan percikan halus mampu ”terbang” hingga 6-8 meter. Percikan halus ini bahkan bisa melayang-layang di udara hingga 10 menit.
Berbagai kuman bisa terkandung dalam percikan dari bersin atau batuk, antara lain, virus penyebab batuk, pilek, cacar air, campak, serta bakteri seperti Streptococcus pneumoniae atau Haemophilus influenzae.
Upaya pencegahan dan perbaikan
Menurut Joshi, modifikasi sumber polutan dapat dilakukan dengan pemeliharaan rutin sistem ventilasi dan pendingin ruangan, dan mengganti plafon dan karpet yang kena air. Saran lain yang bisa dilakukan adalah menggunakan lantai keramik atau kayu, menghindari kain pelapis sintetis, mengurangi pemakaian insektisida dan pembersih kimia, meminimalkan penggunaan barang-barang elektronik.
Juga tak kalah pentingnya adalah menerapkan larangan merokok dalam ruangan secara ketat. Hal ini mengingat asap rokok mengandung banyak zat kimia beracun.
Baca juga : Sirkulasi Udara Dapat Menekan Risiko Penularan di Ruang Tertutup
Laman Healthline menganjurkan penggunaan produk pembersih dengan VOC sesedikit mungkin dan tanpa pewangi. Lakukan penyedotan debu pada ruangan secara teratur.
Atur kelembaban ruangan secara tepat, Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris merekomendasikan tingkat kelembaban optimal 40-70 persen. Selain itu, perlu dicek keberadaan jamur dalam ruangan.
Ganti filter sistem ventilasi udara setiap beberapa bulan. Filter udara efektif menghilangkan sebagian polutan dari luar dan dalam ruang.
Budi Haryanto, Guru Besar Epidemiologi Pencemaran Udara dan Surveilans Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dan Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Jumat (17/7/2020), menuturkan, PM 2,5, yakni partikel di udara yang berukuran kurang dari 2,5 mikron (mikrometer), tak bisa ditahan oleh rambut-rambut halus dan selaput lendir dari saluran pernapasan atas. Partikel tersebut bisa masuk ke saluran pernapasan lebih dalam, yakni bronkioli dan alveoli pada paru. Yang termasuk PM 2,5 misalnya hasil pembakaran mesin kendaraan, debu halus yang menempel di baju, dan percikan cairan tubuh yang keluar lewat bersin dan batuk.
Cemaran biologis seperti virus, bakteri, dan jamur bisa bertahan lebih lama di ruang ber-AC dibandingkan dengan di ruang terbuka. Meskipun demikian, di wilayah dengan polusi udara luar yang cukup tinggi, upaya mengatasi cemaran biologi bukan dengan membuka jendela, karena akan memasukkan PM 2,5 lebih banyak. Caranya adalah memasang alat pembersih udara (air purifier).
Seperti ditunjukkan Budi Haryanto saat mengukur kualitas udara pada Gedung Menara Kompas di Palmerah Selatan, Jakarta. Alat pengukur kualitas udara yang dipakainya menunjukkan konsentrasi PM 2,5 rendah, yaitu 11 mikrogram per meter kubik saat ventilasi ditutup.
Sebagai perbandingan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencantumkan batasan konsentrasi PM 2,5 harian yang aman, yaitu 25 mikrogram per meter kubik dan batas aman tahunan sebesar 10 mikrogram per meter kubik. Namun, beda lagi dengan regulasi nasional yang lebih longgar yang menetapkan batas konsentrasi polusi udara yang diperbolehkan berada dalam udara ambien sebesar 65 mikrogram per meter kubik.
Namun, pada gedung di dekat Menara Kompas, saat ventilasi udara dibuka untuk membiarkan udara luar masuk ke dalam ruangan, pengukur konsentrasi polutan menunjukkan kadar PM 2,5 di dalam ruangan melonjak drastis.
Karena itu, dengan kualitas udara Jakarta yang masih buruk seperti itu, Budi tak menyarankan ventilasi dibuka karena bisa menimbulkan permasalahan baru. Ia menyarankan, ”kekhawatiran” akan penularan virus lewat udara bisa dikurangi dengan pemasangan alat pembersih udara (air purifier).
”Sistem alat pembersih udara menarik dan mengikat cemaran dengan anion serta meluruhkannya. Dengan pemasangan alat pembersih udara yang memadai untuk luasan ruangan, diharapkan cemaran udara berupa kation termasuk virus, bakteri, jamur, dan cemaran kimia dapat dikurangi semaksimal mungkin,” kata Budi.
Tanaman juga diketahui mampu menyerap cemaran kimia seperti karbon monoksida dan formaldehida. Fraser R Torpy, pengajar Teknik Lingkungan, Universitas Teknologi Sydney, dalam the Conversation, 10 Juli 2013, menuliskan, tanaman dalam ruang mampu mengurangi sebagian besar cemaran udara. Cemaran udara dalam ruang yang paling signifikan adalah senyawa organik yang mudah menguap (VOC) dan karbon dioksida.
”Yang paling umum ditemukan antara lain benzena, etilbenzena, toluena, dan xilena. Dalam konsentrasi tinggi, zat-zat tersebut beracun dan bisa memicu kanker,” ujarnya.
Kemampuan tanaman untuk meningkatkan kualitas udara dalam ruangan diakui pada 1980-an ketika NASA meneliti tanaman yang tumbuh di stasiun ruang angkasa. Keberadaan tanaman menyebabkan konsentrasi VOC yang sebelumnya tinggi di pesawat ruang angkasa menjadi sangat rendah.
Tahun 2000-an, para peneliti dari Australia memastikan, kemampuan menyerap VOC ternyata dilakukan oleh bakteri tanah dalam pot. Sementara fungsi tanaman adalah memasok nutrisi untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan kesehatan bakteri tanah.
Baca juga : WHO Rilis Panduan Baru
Agaknya, kekhawatiran penularan Covid-19 dan sindrom bangunan sakit bisa diatasi. Tanaman dalam pot yang diletakkan di sela-sela meja kerja selain menyegarkan mata dan memperindah ruangan juga mampu menyerap racun kimia. Sementara itu, alat pembersih udara memastikan cemaran biologi dikurangi semaksimal mungkin. Dengan upaya itu, karyawan bisa bekerja dengan nyaman dan aman.
Yang juga tak kalah penting adalah memastikan semua penghuni gedung selalu menjalankan protokol kesehatan pencegahan penularan SARS-Cov-2. Di dalam ruangan, setiap orang agar selalu membiasakan diri untuk tetap menggunakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan, serta mengelap wajah dengan tisu; bukan dengan tangan.
Baca juga : Langit Biru Jakarta Tak Berarti Menandakan Jakarta Bebas Polusi