Stigmatisasi terhadap pasien Covid-19 dan keluarganya, termasuk kepada tenaga kesehatan, masih terjadi. hal itu mempersulit upaya penanganan pandemi penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru tersebut.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Stigmatisasi terhadap pasien Covid-19 dan keluarganya, termasuk juga kepada tenaga kesehatan, telah mempersulit upaya penanganan pandemi ini. Pemerintah dituntut bersikap tegas terkait pelaku stigma, selain melakukan edukasi intensif dengan melibatkan para tokoh lokal.
Pentingnya upaya untuk melawan stigmatisasi ini disampaikan para pembicara dalam diskusi daring yang diselenggarakan Laporcovid19.org, Kamis (9/7/2020), di Jakarta. ”Stigmatisasi ini problem sangat serius, tetapi belum ditanggapi dan ditangani dengan baik sehingga memperberat dampak Covid-19 bagi pasien dan keluarganya,” kata Dicky Pelupessi, Ketua Pusat Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Menurut Dicky, stigmatisasi ini merupakan bentuk dari bias dalam kesadaran yang menjadi tantangan global. Di luar negeri, misalnya, stigmatisasi ini memicu isu rasial dan xenofobia. ”Di Indonesia, stigma ini muncul dalam bentuk prasangka atau emosi negatif yang diikuti tindakan diskriminatif, merusak, bahkan pengucilan dan pengusiran terhadap pasien dan keluarganya," ujarnya.
Dicky menambahkan, stigmatisasi ini memberi tekanan mental kepada pasien Covd-19 yang seharusnya amat butuh dukungan. Selain itu, stigmatisasi juga bisa merusak jalinan sosial dan merugikan upaya pemutusan siklus penularan.
Dalam sejumlah kasus, pasien lari dari rumah sakit atau bahkan masyarakat menolak diperiksa karena kekhawatiran terhadap stigma. ”Ini akan mempersulit penanganan, misalnya bisa memperlambat perawatan segera, selain juga menularkan ke komunitas,” katanya.
Komunikasi risiko
Stigmatisasi ini sebagai bentuk pengalihan dan mencari kambing hitam terhadap situasi yang penuh ketidakpastian. ”Ini bisa dipicu oleh buruknya informasi yang diterima masyarakat akibat ada masalah dalam komunikasi risiko. Harus diingat, komunikasi risiko dalam situasi darurat yakni membangun kepercayaan publik, selain pemutakhiran informasi dan memotivasi orang untuk protektif diri dan orang lain,” ujarnya.
Terkait komunikasi risiko ini, pemerintah selaku otoritas harus memperbaiki akurasi informasi dan tak lagi membingungkan sehingga menggerus kepercayaan publik. Berdasarkan studi Panel Sosial Kebencaan pada Maret 2020, keterbukaan informasi tentang Covid-19 bisa menjadi kunci, tetapi itu harus diikuti edukasi kepada masyarakat.
”Ada dua poin edukasi itu tentang pentingnya keterbukaan informasi. Pertama, membuka secara transparan ada orang yang positif atau suspect di sekitar kita. Kedua, masyarakat diberi tahu apa yang bisa dilakukan dan tidak boleh dilakukan agar bisa mengatasi Covid-19,” tururnya. Terkait dengan hal ini, sangat penting untuk mendengarkan suara-suara orang yang mengalami stigma dan sebaliknya juga contoh baik komunitas yang saling mendukung pasien Covid-19 juga perlu disebarkan agar menjadi inspirasi.
Dalam diskusi ini juga diputar video kesaksian warga Kampung Balirejo, Kelurahan Muja-Muju, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta, yang memberikan dukungan moral serta logistik kepada salah satu warga dan keluarganya yang dinyatakan Covid-19.
Tri Maharani, dokter penyintas Covid-19 dari Kediri, Jawa Timur, yang juga jadi pembicara, mengatakan, dukungan psikologis bagi pasien Covid-19 sangat berarti untuk proses pemulihan. ”Saya mengalami sendiri bagaimana dukungan banyak orang memberi energi positif untuk bertahan hidup,” tuturnya.
Di sisi lain, dia juga mengalami banyak stigma. ”Sebagai dokter saya harus menerima pasien dalam kondisi apa pun. Namun, ketika saya tertular, saya dan keluarga juga mengalami stigma. Ini berat sekali,” kata Tri.
Pelaku stigmatisasi juga bisa datang dari lingkungan kerja dan warga sekitar, bahkan pejabat setempat. Setelah dinyatakan sembuh, belum semua pihak mau menerimanya saat dia kembali hendak masuk kerja. ”Nama dan alamat lengkap saya diumumkan di radio sehingga keluarga tertekan dan dijauhi. Ini juga dialami rekan tenaga kesehatan saya di daerah lain, bahkan nomor teleponnya dibuka. Banyak yang mengalami ini,” ujarnya.
Salah satu bentuk stigmatisasi itu, menurut Tri, berupa tudingan bahwa sebagai dokter dia ceroboh sehingga bisa tertular. ”Ini amat menyakitkan. Saya termasuk paling disiplin memakai peralatan, termasuk masker N95. Saya bahkan kampanye ke mana-mana soal APD (alat pelindung diri). Namun, dalam kondisi seperti ini, siapa saja bisa tertular meski sangat hati-hati, apalagi belakangan diakui virus ini bisa airborne,” katanya.
Sementara itu, Meika Arista, pembicara lainnya, menceritakan tentang stigma yang dialaminya sehingga hampir terusir dari lingkungan rumah kosnya di Jakarta. Padahal, statusnya belum dipastikan positif oleh tes usap untuk Covid-19. ”Alhamdulillah, saya dibela ibu kos ketika ada tokoh masyarakat mau mengusir saya dengan alasan agar tidak menulari warga,” ujarnya.