Kalung Penangkal Virus dari Kementerian Pertanian Diajukan sebagai Jamu
Kalung penangkal korona yang dibuat Kementerian Pertanian sedang diajukan untuk mendapatkan izin edar sebagai jamu. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menawarkan kerja sama uji klinik khasiat minyak eukaliptus.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalung penangkal korona yang dikembangkan Kementerian Pertanian sedang diajukan untuk mendapatkan izin edar sebagai jamu. Produk aksesori kesehatan ini tidak boleh diklaim dapat membunuh atau mencegah pemakainya dari Covid-19.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian Fadjry Djufry bersikukuh bahwa Kementerian Pertanian tidak melebih-lebihkan khasiat atau melakukan overclaim dari manfaat produk-produk eukaliptus yang dikembangkannya.
Seperti yang diketahui, dari minyak eukaliptus, Balitbangtan sudah membuat lima produk, yaitu kalung, inhaler, balsam, minyak roll-on, dan minyak untuk mesin diffuser ruangan. Eukaliptus adalah kelompok tumbuhan yang di dalamnya termasuk pohon kayu putih.
Saat ini, ia mengklaim Badan Pengawas Obat dan Makanan telah mengeluarkan surat izin edar untuk inhaler dan minyak roll-on.
Untuk kalung, ia mengatakan, komposisinya sama dengan inhaler dan balsam roll-on itu sehingga persetujuan BPOM akan segera keluar. Izin edar itu mengategorikan produknya sebagai jamu.
”Kami tidak pernah overklaim. Izin dari BPOM ini bukan antivirus. Di roll-on ini juga bukan antivirus. Ini izin edarnya sebagai jamu,” kata Fadjry dalam sebuah konferensi pers virtual yang digelar pada Senin (6/7/2020).
Fadjry membantah bahwa kalung itu adalah jimat yang akan menangkal pemakainya. Berdasarkan uji laboratorium di tingkat sel (in-vitro), aroma minyak eukaliptus dapat membunuh virus korona meski tidak spesifik ke virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2.
”Ini adalah aksesori kesehatan. Ini bisa dihirup dan membunuh virus korona yang ada di sekitar kita,” katanya.
Namun, apabila tidak terbukti bermanfaat, ia menyarankan masyarakat agar menganggap kalung itu sebagai sebuah kalung sumber aroma eukaliptus semata.
”Kalaupun ternyata tidak ada manfaatnya untuk membunuh virus korona, ya anggap saja kita pakai minyak eukaliptus. Ini bisa melegakan pernapasan,” kata Fadjry.
Ia juga menambahkan bahwa penampakan kalung yang sudah beredar itu hanyalah prototipe atau purwarupa. Dengan demikian, frasa ”Anti-virus corona” yang tercetak besar di kalung itu kelak tidak akan ada di produk final.
”Ini sekadar prototipe. Dan, ini bukan overklaim ya karena ini belum diperjualbelikan. Nanti produk yang kami keluarkan ini kategorinya sebagai jamu,” kata Fadjry.
Memang secara khusus, produk kalung ”antivirus korona” menjadi perhatian publik. Hal ini karena Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada Jumat (3/7/2020) mengenakan kalung tersebut dan menyampaikan bahwa kalung tersebut dapat membunuh virus korona yang terpapar ke tubuh pemakainya.
Fadjry mengakui bahwa pihaknya tidak melakukan rangkaian uji klinik dari manfaat produk yang dikembangkannya. Ia mengatakan karena proses uji klinik membutuhkan waktu lama. ”Karena (uji klinik) itu membutuhkan waktu cukup lama. Kalau seperti vaksin dan obat oral itu minimal 18 bulan,” kata Fadjry.
Dalam kesempatan itu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Ari Fahrial Syam mengatakan, temuan ini memang perlu diteliti lebih lanjut sebab basis produk ini hanya berdasarkan penelitian in-vitro.
Untuk itu, ia menawarkan kerja sama antara Balitbangtan dan FKUI untuk menggelar uji klinik terhadap khasiat minyak eukaliptus. Apabila hal ini dilakukan, kata Ari, akan terlihat apakah produk ini benar-benar berkhasiat.
”Kita berharap memang dari riset-riset ini terbukti bahwa bahan dari alam ini akan bermanfaat. Ini tidak hanya akan membantu masyarakat Indonesia, tetapi juga dunia,” kata Ari.
Tidak boleh klaim kesembuhan
Pengurus Pusat Bidang Politik dan Kesehatan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarat Indonesia (IAKMI) Syahrizal Syarif mengatakan, di dunia kedokteran itu hanya mengenal obat dan vaksin.
Produk-produk yang tidak memenuhi syarat tersebut hanya bisa diketagorikan sebagai obat herbal. ”Silakan diregistrasi ke BPOM dan dapatkan izin edarnya, monggo,” kata Syahrizal.
Namun, perlu diingat, Syahrizal mengatakan, obat herbal tidak boleh mengklaim kesembuhan. Menurut dia, jangan sampai ada pihak yang mengedarkan produk jamu tersebut dan diklaim sebagai ”antivirus”.
”Ya seharusnya siapa pun harus melindungi masyarakat dari kesalahpahaman dan menghindari pembohongan publik,” kata Syahrizal.
Terkait klaim membunuh virus berdasarkan uji in-vitro laboratorium, Syahrizal mengatakan itu tidak langsung mencerminkan manfaat di masyarakat. Untuk melihat efikasi dari sebuah produk, khususnya berstandar obat, harus melalui uji praklinik dan uji klinik
”Virus di laboratorium itu kalau dituang kecap juga mati. Nah apakah kita mau mengklaim kecap itu bisa mencegah virus?” pungkasnya.
Virus Shut Out
Penggunaan kalung dengan kartu semacam lanyard karyawan yang mengklaim mencegah virus juga sempat muncul di berbagai negara di masa pandemi Covid-19.
Sebuah produk yang sempat terkenal adalah kartu Virus Shut Out. Kartu berwarna biru itu diklaim hasil produksi Jepang dan dapat menangkal virus korona. Kartu ini banyak beredar di situs dagang dari harga Rp 30.000 sampai dengan Rp 169.000.
Badan Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection Agency/EPA) dan Bea Cukai AS pada April lalu telah melarang masuknya produk tersebut ke AS.
Hal ini karena faktor keamanan dan manfaat dari produk tersebut tidak bisa dibuktikan. ”Kami tidak akan menoleransi perusahaan yang membuat klaim palsu dan membahayakan kesehatan publik di masa krisis pandemi ini,” kata pejabat EPA Andrew Wheeler dalam keterangan tertulis resminya.
Di Jepang, produk sejenis bahkan pernah dilarang peredarannya pada tahun 2013, menurut laman Japan Today. Badan Perlindungan Konsumen Jepang (Consumer Affairs Agency/ Shouhishacho) meminta masyarakat Jepang tidak menggunakan produk bernama Virus Protector.