Sebagian besar layanan kesehatan kini berfokus untuk menangani Covid-19. Akibatnya, akses layanan kesehatan lain menjadi terhambat, termasuk layanan HIV/AIDS.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Orang dengan HIV/AIDS harus mengonsumsi obat terapi antiretroviral secara rutin untuk menekan risiko kematian. Namun, akses pengobatan tersebut kini terkendala akibat pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru. Solusi praktis pun perlu segera diterapkan untuk mengatasi persoalan ini.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 640.443 orang. Dari jumlah itu, baru 377.564 kasus yang ditemukan dan hanya 72 persen di antaranya yang mendapatkan terapi obat antiretroviral (ARV).
Country Director Badan PBB untuk HIV/AIDS (UNAIDS) di Indonesia, Stuart Watson mengatakan, pengobatan ARV harus dipertahankan untuk memastikan kesehatan dan menekan virus di dalam tubuh. Sayangnya, pandemi Covid-19 mengakibatkan rantai pasok, ketersediaan, dan aksesibilitas ARV di berbagai negara, termasuk Indonesia, terkendala.
“Sangat penting bagi ODHA memiliki stok obat esensial yang memadai seperti ARV agar mereka tetap sehat. WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) telah merekomendasikan kepada pemerintah agar menyediakan obat multibulan dari tiga sampai enam bulan untuk obat yang dibutuhkan ODHA,” katanya dalam konferensi pers tanpa tatap muka, di Jakarta, Jumat (3/7/2020).
Menurut Stuart, pemberian obat secara multibulan ini sangat penting di masa pandemi. Hal ini terutama bertujuan untuk mengurangi frekuensi ODHA datang ke fasilitas kesehatan sehingga terhindar dari potensi penularan Covid-19, sekaligus memastikan mereka tidak kehabisan stok obat.
Sangat penting bagi ODHA memiliki stok obat esensial yang memadai seperti ARV agar mereka tetap sehat.
Namun, Penasihat Informasi Startegis PBB untuk HIV/AIDS (UNAIDS) di Indonesia, Lely Wahyuniar, mengatakan, dari 1.000 responden yang diteliti, hampir 50 persennya hanya memiliki stok obat selama satu bulan. Bahkan, 44 persen lainnya hanya memiliki stok obat ARV kurang dari satu bulan. Kondisi serupa juga terjadi pada stok obat ARV untuk anak dengan HIV/AIDS.
Untuk itu, kendala yang dihadapi ini perlu segera diatasi. Layanan pengobatan bagi ODHA tidak boleh berhenti, namun keamanan agar terhindari dari penularan Covid-19 juga harus diutamakan.
Inovasi daerah
“Inovasi yang dilakukan di DKI Jakarta bisa menjadi contoh baik untuk diterapkan di daerah lain. Pemerintah setempat memanfaatkan layanan ojek daring untuk mengirimkan ARV ke ODHA. Tentu layanan ini diberikan pada ODHA yang kondisinya stabil,” tuturnya.
Ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono menambahkan, selain akses terhadap pengobatan, layanan kesehatan lain terkait HIV/AIDS perlu diperhatikan. Itu meliputi antara lain, layanan pencegahan, pemeriksaan, dan perawatan.
Pemerintah diharapkan tetap berkomitmen untuk bisa mencapai tujuan pengendalian HIV/AIDS di Indonesia. Pada tahun 2030 ditargetkan, 90-90-90 dalam penanggulangan HIV/AIDS. Artinya, 90 persen kasus HIV bisa terdeteksi, 90 persen dari kasus yang tahu statusnya bisa menjalani terapi, dan 90 persen dari pasien yang mendapat terapi bisa patuh mengonsumsi obat.
Persoalan lain yang harus diselesaikan yakni stigma yang masih tinggi pada ODHA. Stigma dan diskriminasi memicu penolakan dari kelompok berisiko untuk melakukan pemeriksaan HIV. "Tanpa ada pemeriksan dan deteksi yang masif, target lainnya seperti pengobatan dan perawatan pada ODHA tidak akan tercapai,” tuturnya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Wiendra Waworuntu menyampaikan, pandemi Covid-19 membawa dampak pada capaian pengendalian HIV/AIDS di Indonesia. Jumlah ODHA yang ditemukan di masyarakat kini menurun karena sejumlah layanan dihentikan antara lain program VCT mobile (penjangkauan keliling) yang tidak berjalan selama pandemi.
Selain itu, jumlah ODHA yang dalam pengobatan ARV masih sedikit. Dari 388.724 kasus yang teridentifikasi positif HIV, per Maret 2020 hanya 27 persen diantaranya yang aktif mendapatkan pengobatan ARV.
“Dengan adanya pandemi Covid-19, penyesuaian strategi untuk capaian layanan HIV/AIDS perlu disesuaikan. Secara umum tidak ada yang berubah dari strategi dan kebijakan sebelumnya, tetapi ditambahkan dengan upaya pencegahan penularan infeksi, terutama pencegahan Covid-19,” kata Wiendra.
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor 2022 tahun 2020 telah diatur protokol pelaksanaan layanan HIV/AIDS selama pandemi Covid-19. Melalui aturan tersebut, pelayanan HIV/AIDS dipastikan tetap berjalan dengan temu janji terlebih dahulu. Selain itu, dispensasi pemberikan obat multibulan juga dipertimbangkan tergantung pada stok yang dimiliki.
HIV dan Covid-19
Wiendra mengatakan, edukasi tentang pencegahan penularan HIV/AIDS juga disampaikan bersama dengan edukasi pencegahan Covid-19. Ini dilakukan karena ODHA termasuk pada kelompok yang rentan terinfeksi Covid-19.
Dari data Kementerian Kehatan per 30 Juni 2020, ada 28 ODHA yang terinfeksi Covid-19. Jumlah ini ditemukan dari 394 ODHA yang melakukan penapisan Covid-19. Selain itu, sebanyak 55 ODHA kini berstatus orang dalam pemantauan (ODP) dan 73 ODHA dalam status pasien dalam pengawasan (PDP).
Lely menambahkan, kondisi ekonomi sebagian besar ODHA terdampak selama masa pandemi Covid-19. Setidaknya dari 1.000 responden yang ditelitinya, 56 persennya kehilangan sumber penghasilan dan pekerjaan. Itu karena tidak sedikit ODHA yang bekerja di sektor informal.
“Perlindungan sosial bagi ODHA sangat dibutuhkan saat ini. Selain Itu, dukungan kesehatan mental juga perlu diperhatikan,” ucapnya.