Sulitnya Menciptakan Kondisi Normal Baru di Tengah Pandemi Covid-19
Kehidupan normal baru hanya dapat berlangsung jika semua individu tertib melaksanakan protokol kesehatan. Strategi khusus dibutuhkan agar pesan ini dipahami dan dilakukan semua orang.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memasuki tatanan kehidupan baru di tengah pandemi Covid-19, publik diharapkan patuh dan tertib mengikuti protokol kesehatan. Namun, pelanggaran protokol kesehatan masih ditemui di ruang publik. Kewaspadaan terhadap potensi penularan virus pun kian kendur. Kehidupan normal baru dikhawatirkan hanya jadi judul, bukan habitus.
Setelah lebih kurang tiga bulan berdiam di rumah, masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi seperti angin segar bagi publik. Warga boleh kembali beraktivitas di luar rumah, bekerja di kantor, mengunjungi pusat perbelanjaan, dan mengunjungi tempat wisata. Catatan pemerintah hanya satu, yakni turuti protokol kesehatan.
Nyatanya, protokol pencegahan Covid-19 masih kerap dilanggar. Masih ada yang tidak mengenakan masker dengan benar di ruang publik. Masih ada juga yang berkerumun. Pelaksanaan protokol kesehatan belum menjadi habitus publik.
Hasil jajak pendapat Kompas pada 16-22 Mei 2020 menyatakan, habitus baru belum akan terwujud. Perilaku yang ditunjukkan selama pembatasan sosial dinilai sebagai upaya menahan diri dari risiko paparan Covid-19. Upaya itu disertai dengan harapan agar responden bisa segera memperoleh kebebasan (Kompas, 29/6/2020).
Kesimpulan ini tampak dari tiga temuan jajak pendapat. Pertama, mayoritas responden menyatakan bekerja dari rumah tidak efektif (53 persen) dan belajar dari rumah tidak efektif (68,3 persen).
Kedua, sebanyak 78,7 persen responden memilih bekerja di tempat kerja. Hanya 9 persen yang ingin bekerja dari rumah, sedangkan 8,9 persen lainnya ingin mengombinasikan bekerja di rumah dan kantor.
Ketiga, mayoritas responden ingin segera beraktivitas seperti biasa. Ini ditunjukan oleh 52 persen responden yang berpendapat bahwa pembatasan sosial akan berakhir dalam 1-3 bulan ke depan.
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (29/6/2020), mengatakan, perlu strategi khusus agar kepatuhan publik terhadap protokol kesehatan merata. Strategi ini mencakup penyusunan protokol yang spesifik, sosialisasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Ia mengatakan, setiap kerumunan punya karakteristik masing-masing sehingga membutuhkan protokol yang berbeda-beda, misalnya kerumunan di pasar, kendaraan umum, dan lainnya. Protokol yang spesifik menjadi acuan individu untuk berperilaku di ruang publik.
Setelah protokol disusun, yang harus dilakukan selanjutnya adalah melakukan sosialisasi yang menyeluruh dan dengan bahasa yang mudah dipahami publik. Sosialisasi perlu melibatkan komunitas atau tokoh masyarakat setempat untuk meratakan pemahaman warga dan mendorong pelaksanaan protokol kesehatan.
”Jika semua itu dilaksanakan, akan terlihat komunitas mana yang abai dan yang disiplin. Saya harap tahapan sosialisasi itu dilakukan. Era normal baru akan terasa hanya jika dilakukan dengan metode yang benar,” kata Imam.
Pelibatan tokoh masyarakat dinilai penting agar bisa merangkul warga secara persuasif. Tokoh tersebut juga dapat memberikan sanksi sosial jika ada yang melanggar. Sanksi sosial dan hukuman diyakini bisa membuat jera para pelanggar protokol kesehatan.
Edukasi terus-menerus juga dibutuhkan untuk menumbuhkan kepedulian masyarakat. Kepedulian itu akan disertai dengan rasa tanggung jawab untuk melindungi diri sendiri dan orang lain dari potensi paparan Covid-19.
Jika semua itu dilaksanakan, akan terlihat komunitas mana yang abai dan yang disiplin. Saya harap tahapan sosialisasi itu dilakukan. Era normal baru akan terasa hanya jika dilakukan dengan metode yang benar
Mengutip Reuters, Direktur Jenderal Organisasai Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, dunia tidak bisa kembali ”normal” setelah pandemi selesai. Hidup ”normal baru” harus dibangun di masa depan, yaitu normal baru yang lebih adil, lebih hijau, dan yang mengurangi perubahan iklim.
21 hari
Menurut buku Psycho-Cyberneticsoleh Maxwell Maltz, seorang ahli bedah plastik Amerika Serikat, dibutuhkan waktu sekitar 21 hari untuk membuat kebiasaan baru. Hal ini harus dilakukan setiap hari secara konsisten dan penuh kesadaran.
Membuat kebiasaan baru dapat dilakukan dari hal paling sederhana, seperti memakai sepatu dan mengikat talinya. Momen mengenakan sepatu setiap hari kemudian diperlakukan sebagai pengingat atas perubahan perilaku, cara berpikir, dan perasaan yang dialami selama sehari penuh.
”Katakan pada dirimu, ’Aku memulai hari dengan cara yang baru dan lebih baik.’ Lalu, lakukan secara sadar hal-hal seperti ini; aku akan menjadi seceria mungkin, aku akan bersikap lebih ramah kepada orang lain, dan sebagainya,” kata Maltz dalam bukunya.
Menurut dia, kunci membentuk habitus selama 21 hari adalah dengan melakoninya, mengalami, dan merasakan perilaku baru itu. Hal tersebut akan memengaruhi citra diri individu yang bersangkutan.