Muda, Bersepeda, dan Abai Virus Korona
Kepatuhan anak muda menjalankan protokol kesehatan Covid-19 rendah. Penyampaian informasi yang tidak konsisten dan tidak sesuai kebutuhan membuat banyak anak muda tidak mampu memahami risiko virus korona.
Sejak awal Mei atau sekitar satu bulan sejak pembatasan sosial akibat pandemi virus korona baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19 diberlakukan di Jakarta, sejumlah remaja mulai terlihat bersepeda di jalanan. Saat itu karena sedang bersamaan dengan bulan puasa, mereka umumnya bersepeda malam hingga jelang tengah malam.
Sesudah Lebaran, aktivitas itu makin marak dan mudah ditemukan sejak pagi. Bahkan, aktivitas itu juga dilakukan remaja di sejumlah daerah. Kini, kegemaran bersepeda itu juga menular ke kelompok umur lain mulai dari anak-anak hingga orang dewasa.
Tujuan remaja bersepeda saat ini bukan untuk kesehatan atau olahraga semata, apalagi sebagai alat transportasi seperti yang dilakukan generasi sebelumnya. Bersepeda telah berkembang menjadi lifestyle sport atau olahraga yang dipadukan dengan gaya hidup.
Baca juga: Menggowes Sepeda, Meninggalkan Kecemasan
Pendiri Youth Laboratory Indonesia dan penulis sejumlah buku soal generasi muda, Muhammad Faisal, Selasa (23/6/2020), mengatakan, kemunculan remaja di ruang publik dengan sepedanya merupakan upaya mereka menunjukkan jati dirinya. Mereka juga ingin diakui dan menjadi bagian dari kerumunan remaja lain yang juga bersepeda.
Sosiolog olahraga dan kesenggangan dari Selandia Baru, Belinda Wheaton, mengatakan, lifestyle sport dilakukan bukan demi mengejar kesehatan atau kompetisi, melainkan jadi sarana menunjukkan eksitensi diri. Karena itu, lifestyle sport umumnya dilakukan di ruang publik agar terlihat orang lain, melibatkan komunitas, hingga ada gimik yang menunjukkannya sebagai gaya hidup.
Faisal menambahkan, maraknya anak muda bersepeda akhir-akhir ini tidak terlepas dari intensifnya penggunaan gawai. Selama pandemi, waktu penggunaan gawai anak muda dipastikan bertambah dibandingkan sebelum pandemi, minimal untuk mengikuti pembelajaran jarak jauh. Namun, gawai juga banyak dijadikan pelarian anak muda demi mengusir kebosanan atau melampiasakan amarah akibat ”terkurung” di rumah.
”Jika selama pandemi anak muda bisa membatasi diri memakai gawai, mereka pasti sudah menemukan hobi lain,” katanya. Melukis, menulis, bermain musik, fotografi, hingga berkebun bisa menjadi kegiatan alternatif selama berada di rumah saja.
Baca juga: Sekali ”Mengayuh”, Dua Tiga Pulau Terlampaui
Persoalannya, gawai jadi sumber segala informasi. Untuk mendapat informasi apa pun, termasuk soal hiburan, generasi muda saat ini cukup menggunakan gawainya, tak perlu susah payah mencari informasi ke sana kemari seperti generasi yang lahir sebelum dekade 1980-an. Saat semua informasi mudah dicari, anak muda jadi tidak peka dengan suara dalam diri dan mudah terpengaruh dengan kebisingan di luar diri.
”Anak muda menjadi kehilangan kepekaaan, perasaan, atau firasat yang sejatinya menjadi alarm diri dan cenderung mengikuti kebisingan dari luar diri,” kata Faisal.
Mengutip prediksi psikolog eksistensial Rollo May (1909-1994), saat generasi muda mudah mengakses informasi, mereka akan mengalami kesedihan, kesepian, dan tekanan mental. Mudahnya mencari kepastian di luar diri membuat mereka kehilangan semangat untuk mencari tantangan baru atau mengurai misteri, serta lebih mudah mengikut apa yang terjadi di lingkungannya.
Anak muda menjadi kehilangan kepekaaan, perasaan, atau firasat yang sejatinya menjadi alarm diri dan cenderung mengikuti kebisingan dari luar diri.
Di luar persoalan dampak gawai, kegemaran remaja dan orang dewasa muda saat ini bersepeda tidak terlepas dari kebutuhan mereka untuk mendapat persetujuan sosial dari lingkungan. Bagi generasi Z atau generasi Phi, generasi yang lahir pada akhir dekade 1990-an atau awal 2000-an, yang saling terhubung, persetujuan sosial itu bisa mereka dapat dari komunitas.
”Identitas dan kepuasaan mereka diukur dari like yang diperoleh dari komunitasnya,” kata Faisal. Kepuasan itu tak mereka dapatkan jika persetujuan sosial itu hanya didapatkan dari keluarga dan teman dekat saja.
Di sisi lain, psikolog kesehatan dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Adhityawarman Menaldi, mengatakan, sesuai perkembangan psikologisnya, anak muda umumnya masih mengembangkan identitas mereka. Selain membentuk jati diri, bersepeda bisa dijadikan sarana untuk bersosialisasi.
Namun, pengembangan identitas diri di masa pademi itu memang tidak mudah. Akibatnya, banyak anak muda mengabaikan protokol kesehatan yang dianjurkan demi memenuhi kebutuhan itu. Selain bersepeda dengan mengabaikan jarak aman 1-2 meter dari orang lain, mereka juga suka berkerumun saat istirahat, tidak memakai masker, apalagi mencuci tangan walau sudah memegang banyak benda selama bersepeda.
Protokol kesehatan
Rendahnya kepatuhan remaja dan orang dewasa muda terhadap protokol kesehatan itu sesuai dengan Survei Sosial Demografi Dampak Covid-19 yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada 13-20 April 2020. Survei daring yang melibatkan 87.379 responden itu menunjukkan generasi Z adalah kelompok yang paling rendah kepatuhannya terhadap protokol kesehatan. Makin muda usia makin tidak patuh.
Jumlah anak muda yang terpapar Covid-19 ataupun yang meninggal akibat penyakit ini memang tidak sebesar kelompok usia lain, khususnya kelompok pralansia (45-59 tahun) dan lansia (lebih dari 60 tahun). Namun, mereka bisa menjadi pembawa virus yang menularkan pada orang lain.
Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Rabu (24/6/2020), menunjukkan, ada 49.009 kasus positif dan 2.573 orang meninggal akibat Covid-19. Dari jumlah tersebut, jumlah anak dan remaja (6-17 tahun) yang positif dan meninggal akibat Covid-19 adalah 5,7 persen dan 0,5 persen. Sementara penduduk dewasa muda (18-30 tahun) yang positif dan meninggal adalah 22,1 persen dan 3 persen.
Pemerintah sebenarnya sudah mengingatkan risiko anak muda terhadap Covid-19. Namun, imbauan itu sulit dijalankan anak muda. Adhityawarman mengatakan, keputusan seseorang menjalankan protokol kesehatan sangat dipengaruhi oleh tingkat kerentanan, keparahan, keuntungan, hingga hambatan yang dirasakan seseorang terhadap Covid-19.
Abainya anak muda, juga kelompok umur lain, terhadap anjuran kesehatan itu karena mereka merasa ancaman atau kerentanan terhadap Covid-19 masih jauh. Mereka umumnya baru merasakan bahaya virus korona jika ada keluarga atau orang dekat mereka yang sakit atau meninggal akibat Covid-19.
Mereka juga akan merasakan keparahan ancaman virus korona jika mengalami langsung dampak kesehatan dan ekonomi Covid-19. Mereka akan lebih patuh menjalankan protokol jika tahu manfaat atau keuntungan jangka panjang dari perilaku mereka.
Anak muda memang mengalami tekanan selama pandemi karena terbatasnya kesempatan mereka bersosialisasi. Namun, untuk menyalurkan kebutuhan itu, termasuk melepas stresnya, tidak harus dilakukan dengan cara-cara yang melanggar aturan kesehatan.
Komunikasi
Ketidakpatuhan anak muda dan masyarakat terhadap protokol kesehatan itu juga dipengaruhi penyampaian informasi Covid-19 oleh pemerintah yang menimbulkan kekurangpahaman dan kebingungan. Sikap pemerintah yang sering tidak satu kata, berubah-ubah, hingga beda pandangan ahli menimbulkan keraguan. Belum lagi, sering terjadi perbedaan praktik aturan dengan pelaksanaannya di lapangan.
Kebingungan awam itu makin besar dengan pemberian media tentang Covid-19 yang tidak konsisten dan tidak mendalam. Maraknya hoaks Covid-19 di media sosial makin memperparah kondisi itu.
Namun, ketidakpahaman anak muda tentang Covid-19 itu, kata Adityawarman, juga dipengaruhi oleh perkembangan kemampuan berpikir mereka. Dalam usia mereka, bagian otak depan atau korteks prefronal yang berfungsi dalam pengambilkan keputusan jangka panjang dan rasional belum sepenuhnya matang. Karena itu, butuh komunikasi khusus kepada anak muda tentang bahaya virus korona.
Menurut Faisal, komunikasi tentang virus korona pada anak muda perlu dilakukan dengan cara yang dipahami mereka. Pola komunikasi model itu belum terbangun selama ini. Penggunaan infografis, animasi, film dokumenter pendek, atau podcasts yang bisa disebarkan melalui media sosial secara masif bisa dipilih sebagai sarana penyebaran informasi virus korona kepada mereka.
Namun, informasi itu harus disampaikan tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kemampuan komunikasi yang baik. ”Penggunaan Youtuber atau influencer untuk menyampaikan informasi korona bisa kontraproduktif karena mereka tidak selamanya bisa menjadi contoh yang baik dalam pelaksanaan protokol kesehatan,” katanya.
Pengenalan protokol kesehatan itu, kata Adityawarman, juga bisa dilakukan dengan melibatkan anak muda dalam berbagai kegiatan yang memenuhi kebutuhan mereka untuk menunjukkan identitasnya. Namun, panduan orang dewasa tetap diperlukan agar terarah dan tetap meminimalkan risiko mereka terpapar virus korona.
Orangtua sebenarnya berperan besar untuk menyampaikan pentingnya menjalankan protokol kesehatan pada anaknya. Namun, banyak orangtua mengalami masalah komunikasi dengan anak mudanya. Remaja perlu dipancing untuk berbicara dan mengeluarkan pandangannya tentang virus korona atau persoalan yang lain. Sikap menggurui, menuduh, atau penggunaan kata jangan dan pokoknya perlu dihindari.
”Segengsi-gengsinya remaja, kalau mentok, mereka tetap akan kembali ke orangtua atau orang dewasa di sekitarnya,” ujar Adityawarman.