Situasi ketidakpastian yang terjadi di tengah pandemi Covid-19 bisa memicu paranoia. Risiko mengalami gejala itu makin tinggi pada seseorang dengan masalah kesehatan mental.
Oleh
Evy Rachmawati
·4 menit baca
Kemunculan pandemi global Covid-19 yang tiba-tiba telah menimbulkan situasi ketidakpastian. Di tengah merebaknya wabah penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru itu di berbagai negara, masyarakat menjadi lebih rentan mengalami paranoia.
Hal itu terungkap dalam studi baru yang dilakukan tim peneliti di Universitas Yale dan dipublikasikan dalam jurnal eLife. ”Ketika dunia kita berubah secara tak terduga, kita ingin menyalahkan ketidakstabilan itu kepada seseorang, untuk membuatnya masuk akal, dan mungkin menetralkannya,” kata Philip Corlett, associate professor psikiatri dan penulis senior studi tersebut.
”Secara historis pada masa pergolakan, seperti kebakaran hebat Roma kuno pada 64 Masehi ataupun serangan teroris, maka paranoia dan pemikiran konspirasi meningkat,” ungkapnya, kepada Sciencedaily, Selasa (9/6/2020).
Paranoia merupakan gejala utama penyakit mental yang serius. Masalah kesehatan itu ditandai oleh keyakinan bahwa orang lain memiliki niat jahat. Itu juga bermanifestasi di berbagai tingkatan dalam populasi umum.
Sebagai contoh, survei sebelumnya menemukan bahwa 20 persen dari populasi percaya bahwa orang-orang menentang mereka pada suatu waktu selama setahun terakhir. Adapun 8 persen dari responden percaya bahwa orang lain secara aktif melukai mereka.
Sering berubah
Banyak orang mengalami paranoia ringan di beberapa titik dalam hidup mereka, bahkan hingga sepertiga dari kita. Menurut artikel di mind.org.uk, itu biasanya disebut paranoia non-klinis. Paranoia semacam ini kerap berubah seiring waktu sehingga Anda mungkin menyadari pikiran itu tidak dibenarkan atau hanya berhenti memiliki pikiran khusus itu.
Secara historis pada masa pergolakan, seperti kebakaran hebat Roma kuno pada 64 Masehi ataupun serangan teroris, maka paranoia dan pemikiran konspirasi meningkat.
Di ujung lain dari spektrum adalah paranoia sangat parah yang juga disebut paranoia klinis atau delusi penganiayaan sehingga penderita butuh perawatan. Paranoia merupakan gejala masalah kesehatan mental serius, misalnya skizofrenia paranoia di mana Anda mengalami paranoia ekstrem.
Tidak ada yang tahu persis penyebab paranoia. Beberapa faktor risiko yang memicu gejala ini antara lain stres dan terisolasi sehingga berpikir negatif terhadap diri sendiri, diganggu di tempat kerja, atau jadi korban kejahatan, dan trauma di masa kecil yang membuat seseorang curiga terhadap orang lain.
Sejumlah riset menunjukkan, pikiran paranoia lebih umum jika Anda tinggal di lingkungan perkotaan atau terisolasi dari orang sekitarnya daripada terhubung dengan mereka. Laporan media massa tentang kejahatan, terorisme, dan kekerasan juga berperan memicu perasaan paranoia.
Jika Anda mengalami kecemasan, depresi, atau harga diri rendah, Anda berisiko lebih tinggi mengalami paranoia. Penyebab lainnya meliputi antara lain menderita penyakit huntington, parkinson, stroke, Alzheimer, dan bentuk demensia lain, serta kehilangan pendengaran.
Kurang tidur juga dapat memicu perasaan tidak aman dan halusinasi. Efek obat-obatan terlarang dan alkohol juga bisa memicu paranoia. Beberapa insektisida, bahan bakar, dan cat juga dikaitkan dengan paranoia. Selain itu, faktor genetika bisa memicu paranoia.
Menilai ancaman sosial
Sejauh ini, teori yang berlaku ialah paranoia berasal dari ketidakmampuan secara akurat menilai ancaman sosial. Corlett dan penulis utama Erin Reed dari Yale berhipotesis paranoia berakar pada mekanisme pembelajaran lebih mendasar dipicu ketidakpastian, bahkan tanpa ada ancaman sosial.
”Kami menganggap otak sebagai mesin prediksi; perubahan tak terduga, baik sosial atau tidak, bisa jadi ancaman, dan itu membatasi kemampuan otak untuk membuat prediksi,” kata Reed. Paranoia mungkin jadi respons terhadap ketidakpastian, dan interaksi sosial bisa kompleks serta sulit diprediksi.
Dalam serangkaian percobaan, tim peneliti meminta subyek dengan tingkat paranoia berbeda untuk memainkan permainan kartu di mana pilihan terbaik untuk sukses diubah secara diam-diam. Orang dengan sedikit atau tanpa paranoia lambat untuk menganggap pilihan terbaik telah berubah.
Namun, mereka yang paranoia berharap lebih banyak volatilitas dalam permainan. Mereka mengubah pilihan dengan tak terduga, bahkan setelah menang.
Kemudian, para peneliti meningkatkan ketidakpastian dengan mengubah peluang menang di tengah permainan tanpa memberi tahu para peserta. Perubahan mendadak ini membuat para peserta, termasuk yang dengan paranoia rendah, belajar lebih sedikit dari konsekuensi pilihan mereka.
Dalam percobaan terkait, kolaborator peneliti dari Yale, Jane Taylor dan Stephanie Groman, melatih tikus, spesies yang relatif asosial, untuk menyelesaikan tugas serupa di mana pilihan terbaik untuk sukses berubah.
Tikus yang diberi metamfetamin, penyebab paranoia pada manusia, berperilaku seperti manusia yang paranoia. Mereka juga mengantisipasi volatilitas tinggi dan lebih mengandalkan harapan mereka daripada belajar dari tugas.
Reed, Corlett, dan tim mereka memakai model matematika untuk membandingkan pilihan yang dibuat tikus dan manusia saat melakukan tugas serupa. Ternyata hasil dari tikus yang menerima metamfetamin menyerupai manusia dengan paranoia.
”Harapan kami, riset ini memfasilitasi penjelasan mekanis paranoia, langkah pertama pengembangan perawatan baru yang menargetkan mekanisme yang mendasarinya,” kata Corlett.
”Manfaat melihat paranoia melalui lensa non-sosial adalah kita bisa mempelajari mekanisme ini dalam sistem yang lebih sederhana, tanpa perlu merekapitulasi kekayaan interaksi sosial manusia,” kata Reed.