Peneliti: ”Lockdown” Selamatkan Ratusan Juta Orang dari Infeksi Covid-19
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa intervensi nonfarmasi, seperti ”lockdown”, telah melindungi ratusan juta orang dari infeksi Covid-19. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan ini bukanlah reaksi berlebihan.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
BERKELEY, KOMPAS — Sejumlah penelitian baru tentang dampak kebijakan intervensi nonfarmasi, seperti lockdown, pembatasan transportasi publik, serta penutupan restoran dan sekolah, menunjukkan bahwa kebijakan ini telah melindungi ratusan juta orang dari infeksi Covid-19. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan lockdown atau karantina wilayah bukanlah reaksi berlebihan, apalagi bagian dari konspirasi.
Salomon Hsiang dan kawan-kawan dari Global Policy Laboratory University of California Berkeley AS meneliti 1.717 kebijakan intervensi nonfarmasi yang dilakukan baik otoritas tingkat lokal maupun nasional di enam negara; China, Korea Selatan, Italia, Iran, Perancis, dan Amerika Serikat.
Dari hasil penelitian ini, kebijakan intervensi nonfarmasi ini telah secara substansial mengurangi jumlah orang yang terinfeksi Covid-19.
Hsiang menyebut dalam penelitiannya yang dipublikasikan jurnal ilmiah Nature pada Senin (8/6/2020) lalu, penerapan lockdown pada 16 Januari-5 Maret di China telah mencegah infeksi menyebar ke 285 juta orang. Hingga kini, jumlah kasus kumulatif China hanya sekitar 84.000 orang.
Apabila mekanisme lockdown tidak dilakukan sama sekali oleh otoritas federal dan negara bagian di AS, Covid-19 dapat menginfeksi sekitar 60 juta orang. Apabila intervensi nonfarmasi tidak dilakukan, jumlah infeksi Covid-19 di Korea Selatan dapat mencapai 38 juta orang, 49 juta orang di Italia, 54 juta orang di Iran, dan 45 juta orang di Perancis.
”Efektivitas intervensi ini bergantung pada timing, intensitas, dan cakupan daerah, serta durasi penerapan kebijakannya. Temuan ini diharapakan dapat membantu memberikan informasi mengenai penerapan intervensi nonfarmasi di 180 lebih negara lain yang juga mengalami wabah Covid-19,” tulis Hsiang dan kawan-kawan.
Studi serupa juga dilakukan Imperial College London, Inggris, khususnya mengenai dampak lockdown terhadap angka kematian akibat Covid-19 di 11 negara Eropa selama periode Maret-April 2020 berdasarkan penelitian yang dipimpin Seth Flaxman, Swapnil Mishra, Axel Gandy, Samir Bhatt, serta kolega mereka.
Berdasarkan pemodelan yang mereka lakukan, 630.000 kematian akibat Covid-19 diperkirakan berhasil dihindari Italia selama periode tersebut dengan kebijakan lockdown yang diterapkannya.
Berdasarkan pemodelan yang mereka lakukan, 630.000 kematian akibat Covid-19 diperkirakan berhasil dihindari Italia selama periode tersebut dengan kebijakan lockdown yang diterapkannya.
Di Perancis, angka kematian dipercaya berhasil mencegah kematian 690.000 warganya. Sementara itu, di Jerman sebesar 560.000 orang serta Spanyol dan Inggris sekitar 400.000 orang.
”Kami tidak bisa memastikan bahwa kebijakan serupa akan berhasil mengontrol epidemi di Eropa. Namun, kalau tren ini berlanjut, kita bisa bersikap optimistis,” tulis Flaxman dan kawan-kawan dalam hasil studinya yang juga dipublikasikan di jurnal Nature pada hari yang sama.
Sebagian masyarakat dunia, termasuk sejumlah warga Indonesia mempercayai bahwa kebijakan pembatasan sosial berskala besar dan juga lockdown selama ini merupakan reaksi berlebihan yang mengorbankan ekonomi secara percuma.
Hal ini ditunjukkan dengan sempat beredarnya sejumlah teori konspirasi yang memproklamasikan bahwa Covid-19 adalah ciptaan ”elit global” yang hanya ingin menakut-nakuti masyarakat.
Namun tidak dapat dimungkiri, penerapan kebijakan lockdown dan PSBB berpengaruh besar pada kondisi ekonomi masyarakat. Guardian melaporkan, sudah lebih dari 36 juta warga AS mendaftarkan klaim jaminan sosial pengangguran selama April-Mei 2020. Ini angka tertinggi sejak Great Depression pada 1930-an.
Relaksasi dua tahap menuju normal baru
Sementara itu, para peneliti dari University of Oxford dan pusat penelitian ekologi dan hidrologi Inggris (UK Centre for Ecology and Hydrology in Wallingford) menunjukkan bahwa relaksasi lockdown secara gradual menjadi pilihan efektif meminimalisasi kematian sekaligus melindungi ekonomi.
Penelitian yang dipimpin Michael Bonsall dari Mathemotical Ecology Research Group di University of Oxford menyimpulkan bahwa strategi yang optimal adalah melepaskan 50 persen populasi dari lockdown 2-4 pekan dari puncak kurva pandemi.
Penelitian ini diterbitkan di jurnal Frontiers in Public Health pada Rabu (10/6/2020). Para peneliti menyarankan 50 persen populasi yang diperbolehkan beraktivitas kembali adalah yang berusia muda. Namun, mereka juga harus mengikuti protokol kesehatan yang ketat. Otoritas pun juga harus memantau kondisi populasi yang sudah mulai beraktivitas dengan penapisan menggunakan tes swab PCR.
Kemudian, menunggu periode sepanjang 3-4 bulan sebelum mencabut lockdown untuk 50 persen populasi sisanya untuk menunggu terjadinya puncak kedua.
”Pesan dari penelitian ini untuk para pengambil kebijakan adalah untuk bersikap sangat berhati-hati sebelum merelaksasi lockdown. Hanya dengan meningkatkan jumlah tes, kita bisa mendapatkan petunjuk seberapa cepat wabah ini menyebar. Dengan informasi ini, kita baru bisa merespons terjadinya gelombang kedua,” tulis Thomas Rawson, salah satu anggota tim peneliti yang terlibat.