Pemulung Hadapi Berlipat Masalah Saat Pandemi Covid-19
Masalah pemulung berlipat ganda saat pandemi Covid-19. Produksi sampah menurun. Mereka tak leluasa blusukan karena ada pembatasan sosial. Harga material pulungan turun. Pun mereka rentan terinfeksi virus korona baru.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 membuat kehidupan para pemulung semakin sulit. Berbagai persoalan kini mereka hadapi, mulai dari makin terbatasnya gerak dalam memulung akibat penerapan pembatasan sosial berskala besar di sejumlah tempat, rentan terinfeksi virus korona baru saat bersentuhan dengan sampah, hingga risiko tak terjangkau bantuan sosial.
Pada saat yang sama, jumlah sampah juga cenderung berkurang selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan banyak tempat penampungan sampah yang tutup.
Kusmana Sabur (69), pemulung di Tebet, Jakarta Selatan, dan Jatinegara, Jakarta Timur, bercerita, hasil pulungannya berkurang drastis sejak pandemi. ”Kafe di Tebet tutup, pasar Jatinegara sepi,” katanya, akhir pekan lalu, di Jakarta.
Saat berhasil mendapatkan barang bekas, para pemulung kerepotan menjualnya karena banyak lapak pengepul dan pabrik daur ulang sampah plastik yang tutup.
Kondisi itu membuat Asep (45), pemulung di Cinere, Depok, Jawa Barat, misalnya, membiarkan lima karung penuh botol plastik, ratusan botol plastik, dan banyak botol minyak wangi menumpuk di pekarangan rumah kontrakannya.
Kondisi serupa dialami Teteh (34), pemulung di Pagedangan dan Cicalengka, Tangerang, Banten. Sudah dua pekan barang bekas, seperti botol plastik, kardus, dan kemasan karton, tertahan di tempat tinggalnya. Biasanya, setiap satu pekan pengepul mengambil barang bekas itu.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI) Bagong Suyoto, pemulung tidak bisa keluar-masuk permukiman setelah penerapan PSBB, termasuk ”karantina lokal” di kampung. Saat bersamaan, volume sampah harian juga berkurang. Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta mencatat, volume sampah berkurang rata-rata 620 ton per hari sejak ada pembatasan sosial.
Harga sampah pulungan juga menurun hingga 50 persen. Kondisi itu membuat pendapatan pemulung merosot. Dalam situasi normal, satu keluarga pemulung bisa menghasilkan Rp 150.000 sehari. Biaya hidup konsumsi satu keluarga sekitar Rp 100.000. Kini, penghasilan mereka anjlok. Akibatnya, sebagian pemulung meminjam uang dari rentenir dengan bunga. ”Banyak pemulung terjerat bunga utang,” kata Bagong.
Rentan terinfeksi
Terdesak kebutuhan, di tengah pandemi, sebagian besar pemulung keluar rumah demi memulung sampah, termasuk di tempat pembuangan akhir sampah. Merujuk data APPI, lebih dari 6.000 pemulung dan pekerja sektor persampahan di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi; 400 pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumurbatu, Kota Bekasi; dan 250 pemulung di TPA Burangkeng, Kabupaten Bekasi.
Selain bisa terinfeksi virus korona baru saat blusukan, para pemulung juga rentan tertular dari limbah medis bekas alat pelindung diri dari Covid-19. Apalagi, jumlah sampah medis meningkat seiring peningkatan kasus penyakit itu.
RSPI Sulianti Saroso, yang jadi rujukan pasien Covid-19, contohnya, menangani 4.500 kilogram (kg) limbah medis pada Maret. Jumlah itu meningkat dibandingkan 2.750 kg limbah medis di awal tahun. Limbah dan sampah medis dari permukiman juga banyak, terutama masker dan sarung tangan.
Menurut Bagong, yang juga Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), limbah dan sampah medis masuk tempat pembuangan sampah. ”Seharusnya ada penampungan khusus, terutama sampah medis dari warga, seperti masker dan sarung tangan. Warga biasanya langsung buang ke tempat sampah,” katanya.
Persoalan kian pelik karena tidak ada angka pasti jumlah pemulung di Indonesia. Berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial tahun 2019, tercatat 154.249 pemulung di Indonesia. Sebanyak 17.360 orang bekerja di Jabodetabek. Jumlah yang tercatat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan lebih banyak lagi, yakni 5 juta orang di 25 provinsi pada tahun 2018.
Ketua Umum Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) Pris Polly Lengkong mengklaim memiliki anggota 3,7 juta orang yang sebagian besar berada di Jawa. Ini belum termasuk atau beririsan dengan APPI dan Asosiasi Pengusaha Daur Ulang Plastik Indonesia (APDUPI). Data APPI memperkirakan ada sekitar 1 juta pemulung di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengakui pemulung memiliki peran penting dalam membantu pengelolaan sampah. Mereka bersama bank sampah dan tempat pengelolaan sampah terpadu 3R membantu pengurangan timbulan sampah yang menjadi beban di tempat pemrosesan akhir atau TPA.
Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Novrizal Tahar mengatakan telah terdapat sejumlah surat Direktorat Jenderal Pengeloaan Sampah, Limbah, dan B3 kepada kepala-kepala daerah untuk memasukkan pemulung dan ekosistemnya (termasuk pelapak dan penggiling) sebagai bagian dari pengelolaan sampah di daerah.
”Dalam menghitung neraca pengelolaan sampah daerah dari hulu ke hilir, sektor informal (peran pemulung) harus dimasukkan,” katanya.
Para pemulung sangat rentan saat pandemi sehingga membutuhkan bantuan sosial dari pemerintah. Namun, sebagian besar pemulung itu tidak mendapatkan bantuan sosial karena tak memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Mereka sulit memenuhi syarat pembuatan KTP, seperti KTP lama atau kartu keluarga (KK) dan surat nikah.
Pris Polly Lengkong berharap pemulung sebagai kelompok terdampak Covid-19 diprioritaskan mendapat bantuan sosial dari pemerintah. ”Ada 20.000 keluarga anggota IPI yang sangat membutuhkan bantuan pemerintah. Mereka sebagian besar berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur,” katanya.