Puluhan Vaksin Covid-19 dalam Pengembangan, Kapan Akan Siap?
Hingga Kamis (23/4/2020), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sudah ada enam vaksin yang memasuki fase uji klinik dengan percobaan manusia. Bahkan, dua di antaranya telah memasuki uji klinik fase kedua.
Sebanyak 83 kandidat vaksin Covid-19 sedang dikembangkan oleh berbagai firma bioteknologi di sejumlah negara. Bahkan, waktu pengembangan untuk sejumlah vaksin pun disebut lebih singkat dari biasanya.
Ini kabar baik dalam perjuangan manusia melawan pandemi, tetapi patut diingat bahwa masih butuh paling tidak berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun lagi sebelum vaksin Covid-19 yang efektif siap digunakan.
Hingga Kamis (23/4/2020), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sudah ada enam vaksin yang memasuki fase uji klinik dengan percobaan manusia. Bahkan, dua di antaranya telah memasuki uji klinik fase kedua.
Seperti obat, vaksin juga harus melalui empat fase uji klinik setelah sukses ujicoba preklinik pada binatang, kata Mustofa, Guru Besar Farmakologi dan Terapi Universitas Gadjah Mada (UGM).
Baca juga: China Uji Klinis Dua Calon Vaksin Covid-19
Fase I digunakan untuk menguji keamanan zat. Fase II kemudian digunakan untuk mengevaluasi apakah obat ataupun vaksin tersebut memiliki efek secara biologis. Apabila lolos, akan memasuki fase III, yang selanjutnya dilakukan untuk melihat efektivitas dari vaksin yang baru dikembangkan tersebut. Setelah fase III, obat biasanya bisa diedarkan.
Fase IV disebut post-marketing surveillance atau pemantauan pasca-pemasaran. Fase ini digunakan untuk melihat efektivitas dan keamanan pascaobat tersebut sudah diedarkan ke pasar.
Dalam uji klinik untuk vaksin, waktu yang digunakan akan jauh lebih lama dibandingkan uji klinik obat. Mustofa mengatakan, apabila fase I untuk obat bisa dilakukan dalam jangka waktu beberapa hari atau pekan, fase I untuk vaksin membutuhkan waktu paling tidak satu tahun.
”Vaksin bisa bertahun-tahun. Jumlah subyek (orang) yang mengikuti uji kliniknya pun lebih banyak,” kata Mustofa, yang juga Direktur Penelitian UGM, kepada Kompas, Rabu (22/4/2020) sore.
Baca juga: Lomba Cepat Membuat Vaksin Covid-19
Dua kandidat sampai di fase II
Vaksin pertama yang sudah memasuki fase II dikembangkan oleh Beijing Institute of Biotechnology bersama CanSino Biological, sebuah firma bioteknologi asal Tianjin, China.
Berdasarkan direktori uji klinik China, uji klinik fase II ini dimulai pada 12 April 2020 dan dijadwalkan selesai pada 31 Januari 2021. Percobaan ini akan melibatkan 500 voluntir yang disebar pada tiga rumah sakit di kota Wuhan, China.
Kandidat vaksin yang sudah masuk uji klinik fase II lainnya dikembangkan oleh University of Oxford, Inggris. Uji klinik ini telah dimulai proses rekrutmennya pada bulan ini, April 2020. Rencananya, uji klinik ini akan merekrut 510 voluntir yang akan diobservasi selama enam bulan di empat lokasi terpisah di Inggris.
Kedua kandidat vaksin ini memiliki kesamaan di mana keduanya menggunakan platform non-replicating viral vector.
Artinya, menurut Fatwa Adikusuma, pakar biologi molekular Adelaide University, peneliti masing-masing vaksin akan memodifikasi RNA pada virus korona agar tidak berbahaya.
Kemudian, rangkaian genetik yang sudah diubah tersebut dimasukkan dalam virus lain yang aman sebagai perantara. ”Biasanya, ini artinya gen antigen SARS-CoV-2 dimasukkan ke virus lain yang lebih jinak,” kata Fatwa.
Kandidat vaksin pengembangan CanSino menggunakan perantara adenovirus type 5, sama seperti vaksin untuk ebola. Sementara yang dikembangkan oleh Oxford memakai adenovirus tipe ChAdOx1, sama seperti vaksin untuk MERS, influenza, TB, chikungunya, hingga zika, dan meningitis B (MenB).
Masih di fase I
Empat kandidat vaksin lainnya masih dalam fase I dengan durasi waktu uji klinik bervariasi; dari 7 bulan hingga 1,5 tahun. Salah satu kandidat vaksin dalam kategori ini dikembangkan oleh Inovia Pharmaceuticals, perusahan bioteknologi asal Pennsylvania, AS.
Kandidat vaksin ini menggunakan platform DNA, yang artinya, DNA dikirim langsung ke tubuh tanpa perantara virus lain. Dalam kasus ini, DNA dimasukkan ke dalam sel melalui metode electroporation atau setrum, kata Fatwa.
Inovio akan melibatkan 40 voluntir yang akan diobservasi di dua lokasi terpisah; Center for Pharmaceutical Research di Kansas City, Missouri, dan di University of Pennsylvania, AS. Uji klinik ini direncanakan digelar selama 28 pekan atau sekitar 7 bulan sebelum masuk ke fase berikutnya.
Kandidat berikutnya dikembangkan oleh Wuhan Institute of Biological Products dengan pendanaan dari Kementerian Sains dan Teknologi China.
Fatwa mengatakan, kandidat vaksin ini menggunakan platform inaktifasi, yakni virus korona dibuat lemah sebelum dimasukkan ke dalam tubuh manusia. Rencananya, uji klinik ini akan membutuhkan 1.456 voluntir. Uji klinik akan tuntas pada 10 November 2021.
Baca juga: Nasib Olimpiade Bakal Bergantung Vaksin
Platform inaktifasi juga digunakan oleh kandidat vaksin berikutnya yang dikembangkan oleh firma bioteknologi Sinovac. Kandidat vaksin ini akan diuji klinik kepada 744 voluntir dan diobservasi hingga enam bulan ke depan. Menurut keterangan WHO, metode ini juga sempat digunakan dalam pengembangan virus SARS.
Kandidat vaksin terakhir yang sudah masuk dalam fase I dikembangkan oleh kerja sama antara firma bioteknologi AS Moderna Therapeutics dan Pemerintah AS, khususnya pusat penelitian National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID).
Kandidat vaksin ini menggunakan platform RNA. Fatwa mengatakan, platform ini berarti komponen RNA dari virus penyebab Covid-19 dimasukkan ke tubuh melalui partikel lipid atau lemak berukuran nano (lipid nano particle).
”Nanti RNA ini akan menjadi basis membuat rangkaian protein yang biasanya dihasilkan oleh SARS-CoV-2. Protein inilah yang akan memicu imun tubuh untuk membentuk antibodi,” kata Fatwa.
Selain enam kandidat vaksin di atas, ada 77 kandidat vaksin lainnya yang juga sedang dikembangkan oleh berbagai perusahaan di sejumlah negara, mulai dari Jepang, India, Jerman, Kanada, hingga Rusia. Kendati demikian, kandidat vaksin ini masih dalam fase uji preklinik atau belum diujicobakan kepada manusia.
Lebih cepat dari target
Melihat urgensi kebutuhan akan vaksin yang efektif, pengembangan vaksin dilakukan secepat mungkin. Proses pengembangan kandidat vaksin milik Moderna dan NIAID AS diklaim lebih cepat dari kondisi normal.
Presiden Moderna Therapeutics Stephen Hogue mengatakan, awalnya Pemerintah AS memberi target pengembangan vaksin harus diujicobakan ke manusia atau mencapai fase I dalam jangka waktu tiga bulan.
Ternyata, kandidat vaksin yang dikembangkan Moderna tersebut berhasil sukses melewati uji preklinik pada binatang dalam waktu 63 hari saja.
”Kami sudah menunjukkan kemampuan untuk bergerak lebih cepat dari ekspektasi. Masih banyak fase uji coba yang harus dilewati, tetapi kami akan terus berusaha mempercepat waktu pengembangan,” kata Hogue kepada Time.
Baca juga: Seperti Bom Atom, Temuan Vaksin Covid-19 Akan Akhiri ”Perang”
Kandidat vaksin memang harus melewati berbagai fase uji klinik sebelum dinyatakan siap dan efektif. Direktur NIAID Anthony Fauci dalam konferensi persi di White House pada awal April lalu mengatakan bahwa pengembangan vaksin akan butuh waktu 12-18 bulan.
Waktu 12-18 terkesan sungguh panjang, apalagi melihat betapa besar dampak yang diakibatkan Covid-19 dalam waktu tiga bulan saja. Namun, prediksi yang disampaikan Fauci tersebut pun masih dianggap terlalu optimistis; terlalu singkat.
Pengembangan vaksin biasanya diukur dalam periode tahun, bukan bulan.
”Pengembangan vaksin biasanya diukur dalam periode tahun, bukan bulan,” kata Ames Adalja, peneliti penyakit menular emerging di John Hopkins University, kepada CNN.
Merunut sejarah ke belakang, memang waktu yang dibutuhkan untuk pengembangan vaksin tergolong lama, hingga tahunan.
Menilik dokumen dari National Institute of Health (NIH) AS, vaksin rubella membutuhkan waktu lima tahun. Riset dimulai pada 1964 ketika epidemi rubella menyapu AS. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk preklinik pada binatang dan kemudian baru bisa diproduksi secara massal pada 1969.
Vaksin rotavirus, salah satu vaksinasi yang direkomendasikan Kementerian Kesehatan untuk mencegah diare pada bayi, membutuhkan waktu hingga 26 tahun sebelum diproduksi massal pada 2006.
Dalam jurnal kebijakan kesehatan publik Milbank Quarterly, pengembangan vaksin rotavirus sudah dimulai sejak awal 1970-an, hanya beberapa tahun setelah penemuan virus tersebut.
Setelah sekitar dua puluh tahun menjalani uji klinis, vaksin dengan merek dagang Rotashield pun diproduksi massal pada 1998. Namun, setelah setahun beredar, ternyata ditemukan bahwa Rotashield ini menyebabkan intususepsi atau pelipatan usus. Pada November 1999, akhirnya virus ini ditarik dari peredaran.
Baru pada 2006, vaksin baru bernama Rotateq disetujui untuk digunakan setelah 26 tahun riset, yang uji kliniknya berlangsung 16 tahun.
Artinya, kini dengan liniwaktu penemuan vaksin yang belum dapat ditentukan, upaya kita untuk menjaga jarak dan membatasi interaksi fisik menjadi kian penting.