Mengungkap Penyebaran Covid-19 di Jakarta dan Jabar melalui Antibodi Warga
Jumlah populasi yang terinfeksi Covid-19 di satu wilayah bisa diketahui melalui serosurvei. Secara statistik para epidemiolog dapat menyingkap persoalan ini. Serosurvei dilakukan dengan menguji antibodi dari masyarakat.
Kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia secara resmi adalah 7.418 kasus hingga Rabu (22/4/2020) sore. Namun, bagaimana mereka yang terinfeksi, tetapi tanpa gejala dan tetap merasa sehat? Bagaimana menghitung kondisi pandemi ini yang sesungguhnya di Indonesia?
Melalui survei kesehatan yang disebut serosurvei, secara statistik para epidemiolog dapat menyingkap persoalan ini. Serosurvei dilakukan dengan menguji antibodi dari masyarakat. Di Amerika Serikat, khususnya di Los Angeles County, ternyata ditemukan bahwa jumlah orang yang terinfeksi dapat mencapai 55 kali lebih banyak dibandingkan pencatatan resmi!
Dengan bekerja sama bersama University of Southern California (USC), Departemen Kesehatan Masyarakat Los Angeles County AS pada Senin (20/4/2020) menemukan bahwa 2,8-5,6 persen populasi orang dewasa di wilayah county tersebut telah memiliki antibodi yang terbukti pernah melawan infeksi Covid-19.
Apabila diekstrapolasikan ke total populasi county, artinya ada 221.000 hingga 442.000 orang yang telah terinfeksi. Jumlah ini sangatlah besar ketimbang jumlah resmi kasus positif yang tercatat, yakni 7.994 kasus.
”Kita selama ini tidak dapat mengetahui seberapa besar Covid-19 sesungguhnya, karena kita hanya mengetes orang yang memiliki gejala dan kemampuan jumlah tes kita yang terbatas,” kata peneliti utama riset ini, Neeraj Sood, pakar kebijakan publik USC melalui keterangan resmi dari Departemen Kesehatan Masyarakat LA County.
Menakar jumlah orang yang terinfeksi virus penyebab Covid-19, yaitu SARS-CoV-2, memang menjadi persoalan yang sulit saat ini. Karakteristik infeksi yang sering tanpa gejala membuat wabah ini sulit dideteksi penyebarannya.
Kita selama ini tidak dapat mengetahui seberapa besar Covid-19 sesungguhnya, karena kita hanya mengetes orang yang memiliki gejala dan kemampuan jumlah tes kita yang terbatas
Institut Kesehatan Nasional Kerajaan Belanda (RIVM) pada pekan lalu menunjukkan bahwa 3 persen populasi Belanda memiliki antibodi akibat telah terinfeksi Covid-19. Hal ini tecermin pada tes antibodi yang dilakukan terhadap 7.000 kantong darah hasil donor reguler.
Apabila jumlah ini dicerminkan dengan jumlah populasi total, artinya ada peluang sebanyak 500.000 orang yang telah positif Covid-19 di Belanda. Berdasarkan data Worldometers, saat ini jumlah kasus positif yang tercatat resmi di Belanda adalah 34.134 orang.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun menunjukkan temuan yang mirip. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam sebuah media briefing pada Senin (20/4/2020) mengatakan, baru 2-3 persen populasi global yang telah terinfeksi Covid-19.
”Data awal menunjukkan bahwa baru sejumlah kecil populasi dunia yang terinfeksi (Covid-19). Tidak lebih dari 2-3 persen,” kata Tedros.
Tes antibodi
Survei untuk menguji antibodi ini disebut serosurvei atau survei serologi. Berdasarkan WHO, hal ini dilakukan untuk memperkirakan tingkat atau profil kerentanan sebuah populasi terhadap suatu penyakit menular.
Serosurvei dilakukan dengan cara menguji antibodi individual terhadap virus yang menjadi target. Antibodi dapat diambil dari darah responden. Antibodi akan terbentuk sendirinya sesuai dengan virus yang pernah menginfeksi orang tersebut. Apabila ia pernah terinfeksi Covid-19, akan terdeteksi antibodi yang sesuai dalam darahnya.
Baca juga : Alat Tes Cepat Covid-19 Buatan Dalam Negeri
Apabila hasilnya positif, artinya responden pernah atau sedang mengalami infeksi Covid-19. Sementara sampel negatif dapat diartikan sebagai mereka yang belum pernah terinfeksi sehingga dapat disebut sebagai rentan.
WHO menggunakan serosurvei sebagai salah satu cara untuk memastikan kekebalan komunitas atau herd immunity terhadap penyakit menular, seperti campak ataupun rubela.
Bagaimana di Indonesia?
Metodologi menggunakan basis antibodi ini juga yang dilakukan dalam penerapan tes cepat di sejumlah daerah di Indonesia. Setidaknya, sudah sebulan puluhan ribu tes cepat dilakukan berdasarkan antibodi ini digelar di sejumlah daerah di Indonesia.
Sejauh ini, hanya Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat yang membuka data hasil tes cepat yang dilakukan masing-masing. Bagaimana prevalensi antibodi melawan Covid-19 di sejumlah daerah ini?
Berdasarkan data terakhir, Pemprov DKI Jakarta telah menguji 63.546 sampel menggunakan tes cepat. Dari jumlah tersebut terlihat bahwa 2.365 positif dan 61.181 lainnya negatif.
Artinya, ada 3,7 persen dari total sampel yang diuji, sedang ataupun telah selesai terinfeksi virus korona. Apabila ini direfleksikan dengan populasi total Jakarta (sekitar 10,3 juta jiwa), bisa jadi sudah ada 300.000 warga Jakarta yang sudah terinfeksi Covid-19.
Artinya, ada 3,7 persen dari total populasi sedang ataupun telah selesai terinfeksi virus korona. Apabila ini direfleksikan dengan populasi total Jakarta, bisa jadi sudah ada sekitar 300.000 orang yang terinfeksi.
Sementara itu, penerapan tes cepat di Jawa Barat juga menunjukkan hasil yang mirip. Berdasarkan data terakhir, yakni Rabu (22/4/2020) pagi, Pemprov Jawa Barat telah menguji sampel tes cepat sebanyak 30.982 sampel dan ditemukan 1.047 di antaranya yang ”reaktif” atau 3,38 persen.
Namun, perlu diingat bahwa penggunaan tes cepat yang dilakukan tidak secara acak terhadap populasi total, tapi dilakukan secara terarah pada kelompok masyarakat rentan, maka angka prevalensi Covid-19 di Jakarta lebih rendah dibandingkan dengan angka temuan di atas (3,7 persen dari total populasi). Jadi, ada kemungkinan, warga Jakarta yang terinfeksi Covid-19 saat ini, jumlahnya lebih sedikit dari 300.000 jiwa atau dapat mencapai 300.000 jiwa.
Hal ini karena memang tes cepat dilakukan tidak secara acak. Pada 23 Maret malam ketika alat tes cepat tiba di Balai Kota Jakarta, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memang menyatakan bahwa tes cepat tidak dilakukan secara random, tetapi secara tertarget bagi orang yang memiliki risiko lebih tinggi.
”Alat rapid-testing ini bukan digunakan secara random. Dinas Kesehatan DKI telah memiliki prosedur dan kriteria orang-orang yang diprioritaskan untuk memeriksakan diri. Pada fase ini kita perlu mengetes mereka yang berisiko menularkan terlebih dahulu,” kata Anies.
Namun, juga perlu dipahami bahwa hasil tes cepat di DKI Jakarta dan Jawa Barat cukup konsisten dengan apa yang menjadi temuan WHO dan USC di Los Angeles di atas.
Masih jauh menuju kekebalan imunitas
Epidemiolog Universitas Gadjah Mada, Riris Andono Ahmad atau akrab dipanggil Doni, menilai temuan ini menunjukkan bahwa ternyata masih banyak hal yang belum dipahami manusia mengenai virus korona ini.
Pasalnya, berdasarkan prediksi awal Doni, wabah Covid-19 di Indonesia akan menyebar hingga 70 persen populasi dalam waktu yang singkat sehingga wabah mulai menurun pada Mei 2020. Hal ini didapatkan dengan mengambil asumsi tingkat reproduksi (biasa disebut R0) virus SARS-CoV-2 yang berada pada angka 2–2.3.
Namun, melihat bahwa temuan penyebaran Covid-19 hanya berada di kisaran 3 persen, artinya banyak variabel baru yang harus diperhatikan.
”Ini sangat kecil. Harusnya (prevalensinya) jauh lebih besar daripada itu. Mungkin ada variabel lain yang belum kita pahami yang membuat virus ini tidak menyebar dengan cepat,” kata Doni.
Kecilnya tingkat prevalensi Covid-19 ini bisa disikapi dari dua sisi. Sisi pertama menunjukkan bahwa penyebarannya tidak secepat yang diperkirakan. Kedua, artinya perjalanan menuju kekebalan imunitas masih jauh.
Baca juga : Jika Pilih ”Herd Immunity”, Covid-19 Bisa Tewaskan 400.000 Jiwa di Jakarta
Ketika jumlah orang yang sudah terinfeksi mencapai taraf 60-80 persen populasi, penularan akan melambat drastis dan bahkan berhenti, tanpa perlu vaksin. Sebab, populasi berhasil mengembangkan kekebalannya sendiri. Inilah yang disebut dengan kekebalan komunitas (herd immunity).
”Melihat prevalensi yang hanya 2-3 persen, artinya kita masih jauh untuk mencapai herd immunity,” kata Doni.