Pandemi Covid-19, Perubahan Singkat untuk Selamanya
Kapan kondisi kembali normal? Dalam tiga bulan pertama 2020 saja, Covid-19 telah mengubah wajah dunia dalam skala yang tak terbayangkan sebelumnya. Namun, jalan menuju kondisi normal dipercaya tidak akan sesingkat itu.
Kapan kondisi kembali normal? Dalam tiga bulan pertama 2020 saja, Covid-19 telah mengubah wajah dunia dalam skala yang tak terbayangkan sebelumnya. Namun, jalan menuju kondisi normal dipercaya tidak akan sesingkat itu.
Pembatasan sosial yang sudah berlangsung sekian lama di Indonesia, dan paling tidak sebulan di Jakarta, kini memang belum terlihat dampaknya. Sejak dua pekan lalu, tambahan kasus harian berada di angka 300 orang dan belum ada tanda-tanda menurun. Meski demikian, penyebaran sudah pasti akan jauh lebih besar jika pembatasan sosial tidak dijalankan.
Akan tetapi, tidak juga bisa dimungkiri bahwa pembatasan sosial adalah langkah dengan implikasi ekonomi dan sosial paling besar. Akibat penghentian kegiatan ekonomi karena Covid-19 ini, Kementerian Tenaga Kerja mencatat lebih dari 1,9 juta pekerja dirumahkan atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Tidak realistis untuk terus menghentikan kegiatan ekonomi hingga berbulan-bulan.
Satu-satunya jalan menuju akhir pandemi yang bisa dipastikan adalah melalui vaksin. Akan butuh waktu 12-18 bulan hingga siap diproduksi dan diedarkan. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) per 20 April, ada lima kandidat vaksin yang sudah masuk dalam fase uji klinis.
Sejumlah epidemiolog Indonesia dan internasional sepaham bahwa pembukaan kembali pembatasan sosial harus berlangsung gradual dan hati-hati. Namun, sebagaimana penyakit baru yang diakibatkan oleh virus yang juga baru, tidak ada pedoman yang paten bagaimana menghadapi pandemi Covid-19.
”Ini sesuatu yang baru. Belum pernah kita harus melakukan eksperimentasi sebesar ini,” ujar Riris Andono Ahmad, epidemiolog yang juga menjadi Koordinator Tim Respons Covid-19 Universitas Gadjah Mada, saat dihubungi Kompas pada Selasa (21/4/2020).
Menurut peneliti dan penulis sains populer The Atlantic, Ed Yong, paling tidak ada empat fase kebijakan yang harus dilakukan pemerintah suatu negara sambil menunggu vaksin siap diedarkan suatu saat kelak; reopening atau pembukaan kembali; recalibration atau rekalibrasi; reinforcements atau penguatan; dan resilience atau ketangguhan.
”Reopening”-kapan PSBB dibuka?
Sejumlah negara Eropa kini telah mengalami penurunan kasus harian Covid-19 setelah lebih kurang sebulan menjalani lockdown. Dan, bahkan negara seperti Spanyol dan Italia mulai melonggarkan pembatasan sosial.
Di Indonesia, pembatasan sosial baru mulai dilakukan intensif. Pemberlakuan PSBB di Jabodetabek yang menjadi episentrum Covid-19 di Indonesia pun berlangsung sejak Sabtu akhir pekan lalu, ketika PSBB Tangerang Raya disetujui menyusul Bodebek, Jawa Barat, dan DKI Jakarta yang sudah berlangsung. Menurut rencana, PSBB ini berlangsung paling tidak selama 14 hari.
Baca juga: Tren Kasus Harian di Beberapa Negara di Eropa Terus Menurun
Selain itu, sudah dua kali Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) memperpanjang pelaksanaan kerja di rumah bagi aparatur sipil negara (ASN).
Senin kemarin, melalui surat edarannya, Menteri PAN dan RB Tjahjo Kumolo menetapkan bahwa pelaksanaan tugas kedinasan di rumah bagi ASN diperpanjang hingga 13 Mei 2020 dan dapat diperpanjang sesuai dengan evaluasi.
Meski demikian, sejumlah pakar menyatakan pemberlakuan PSBB selama 14 hari tidaklah cukup untuk bisa menekan laju pertambahan kasus harian. Paling tidak satu–dua bulan baru akan terasa dampaknya.
Baca juga: PSBB 14 Hari di Jakarta Tak Akan Cukup Hentikan Wabah Covid-19
Marc Lipsitch, profesor epidemiologi Harvard University, baru-baru ini menyebutkan, kondisi pembatasan sosial mungkin akan terjadi hingga 2022.
Kondisi tersebut karena dalam laporan yang dia tulis pada situs jurnal ilmiah, Science, ia memprediksi akan terjadi beberapa kali penularan pandemi Covid-19. Gelombang penularan selanjutnya mungkin akan lebih tinggi daripada yang berlangsung sekarang.
”Prediksi bahwa pandemi ini berakhir di pengujung 2020 sepertinya belum terbukti. Apalagi jika melihat fakta-fakta yang telat dihimpun peneliti. Dengan penemuan vaksin yang masih absen hingga saat ini, pandemi mungkin masih akan berlangsung hingga 2022,” ujar Lipsitch.
Bloomberg melaporkan, sebuah lembaga think-tank AS, American Enterprise Institute, mengeluarkan laporan penelitiannya bahwa upaya pelepasan pembatasan sosial sebaiknya baru dilakukan jika sudah ada penurunan jumlah kasus terjadi selama 14 hari berturut-turut.
Baca juga: Masyarakat Menyelisik Situasi ”Normal” yang Baru
Dengan biaya ekonomi yang begitu besar, pembatasan sosial bukanlah sesuatu yang bisa berlangsung lama dan tanpa henti. Pembatasan sosial adalah sebuah langkah terakhir, hanya digunakan untuk mengulur waktu melawan virus baru yang menyebar begitu cepat sehingga tidak bisa dikontrol.
Prediksi bahwa pandemi ini berakhir di pengujung 2020 sepertinya belum terbukti. Apalagi jika melihat fakta-fakta yang telat dihimpun peneliti. Dengan penemuan vaksin yang masih absen hingga saat ini, pandemi mungkin masih akan berlangsung hingga 2022.
Kendati dampak ekonomi yang besar, pencabutan PSBB yang prematur menyimpan bahaya sendiri. Pencabutan prematur akan memicu munculnya sebuah puncak kedua penyebaran wabah.
”Kalau pembatasan ini dicabut pada Maret, puncak kedua diproyeksikan akan muncul pada akhir Agustus. Kejadian ini dapat dihindari dan ditunda lebih lama hingga dua bulan jika pembatasan baru dicabut pada April,” tulis Kiesha Prem, Yang Liu, dan kawan-kawan dari Pusat Pemodelan Matematika Penyakit Infeksi (CMMID) University of London.
Rekalibrasi-bagaimana kebijakan yang optimal?
Apabila kasus harian mulai melambat, pencabutan pembatasan sosial tidak bisa dilakukan secara drastis. Tri Yunis Miko, Kepala Departemen Epidemiologi Universitas Indonesia, mengatakan, apabila sudah terlihat ada dampak pasca-PSBB, tidak bisa langsung dibuka begitu saja.
Tri mengambil contoh Wuhan, China. Meski sudah ada penurunan kasus yang signifikan, tidak berarti larangan aktivitas benar-benar dibuka seperti sedia kala. ”Saat ini pun, jumlah kapasitas kereta dan bus di Wuhan kondisinya sama seperti kita sekarang, diisi separuhnya saja,” kata Tri.
Menurut dia, kelak penerapan PSBB perlu diatur ulang, fine tuning, untuk menemukan rumus yang cocok, yang paling optimal.
”Mungkin sekarang semua aktivitas ditutup, tetapi nanti, kelak akan dibuka. Pasti akan ada peningkatan kasus lagi, nah dari situ bisa diteliti mana kebijakan yang tepat, sebaiknya mana aktivitas yang diperbolehkan dan mana yang tidak,” kata Tri.
Hal ini hanya bisa dilakukan jika penapisan dilakukan dengan komprehensif. Tri mengatakan, perlu ada tes yang lebih luas untuk memastikan bahwa siapa pun yang masih berada di luar rumah tidak mentransmisikan virus. Apabila ada yang positif, kemudian bisa langsung ditangani, baik langsung secara medis maupun cukup dengan isolasi mandiri.
Langkah ini secara umum memang menjadi konsensus epidemiolog sedunia. Namun, ini artinya, alat dan bahan tes menjadi incaran semua negara di dunia.
Michael Osterholm, epidemiolog dari University of Minnesota, mengatakan, dalam waktu dekat akan terjadi kelangkaan reagen yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus korona melalui tes polymerase chain reaction (PCR). Dan, menurut dia, akan membutuhkan waktu beberapa bulan bagi produsen untuk bisa memproduksi dan memenuhi kebutuhan global.
Hal ini pun sudah berpengaruh terhadap Indonesia. Pada pertengahan April, stok reagen di Indonesia menipis sehingga pemerintah membeli 150.000 unit.
Upaya penapisan melalui tes juga tidak bisa berdiri sendiri. Upaya ini juga harus disertai dengan pelacakan kontak yang komprehensif untuk menemukan mereka yang telah bersentuhan dengan seorang kasus positif.
Hingga kini, upaya tes yang dilakukan Indonesia tergolong rendah. Hingga Selasa (21/4/2020), pemerintah baru melakukan pemeriksaan pada 46.173 spesimen terkait Covid-19 atau sekitar 177 orang per 1 juta penduduk. Jumlah ini tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain.
Berdasarkan data Worldometers, tes yang dilakukan di Italia adalah 23.122 per 1 juta penduduk, AS 12.176 orang, Filipina 547 orang, dan Singapura 16.203 orang.
Baca juga: Alat Tes Cepat Covid-19 Buatan Dalam Negeri
Doni, panggilan Riris Andono Ahmad, mengatakan, kemampuan tes Indonesia yang terbatas tentu tidak mempermudah penanganan karena tidak bisa melihat seluruh scope permasalahan. Terlabih lagi, biaya untuk tes sangat mahal untuk melakukannnya ke sebagian besar populasi.
”Apabila hanya menguji mereka yang bergejala berat akan jelas mengurangi kemampuan untuk melihat keseluruhan masalah; seperti hanya melihat ujung gunung es. Tetapi, menurut saya, kita juga tidak perlu melihat seluruh kedalaman lautan,” kata Doni.
Menurut dia, jalan tengahnya adalah memahami persebaran kasus dan menjalankan tes secara terarah pada populasi-populasi yang lebih rentan atau berpotensi menyebar ke populasi yang lebih luas.
Hal ini diperlukan terlebih lagi karena ternyata kekebalan komunitas atau herd immunity masih jauh untuk dicapai. Berdasarkan temuan WHO, sesuai dengan laporan The Guardian pada Senin (20/4/2020), sejauh ini hanya 2-3 persen populasi global yang telah memiliki imunitas terhadap Covid-19.
Padahal, untuk mencapai kekebalan komunitas memerlukan 60-80 persen popoulasi telah imun akibat sembuh dari infeksi Covid-19 secara sendirinya.
”Artinya, ya, kita memang masih jauh, butuh waktu lama. Masuk akal apa yang dikatakan oleh peneliti Harvard bahwa kita perlu siaga hingga 2022,” kata Doni.
”Reinforcement”-apa yang bisa dilakukan menunggu vaksin?
Sambil menunggu vaksin, upaya perlawanan melawan Covid-19 yang lain adalah perkuatan terhadap pasokan alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan.
Kewalahan dan tanpa perlindungan yang baik, dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya jatuh sakit dan meninggal akibat Covid-19.
Sudah 57 pegawai RSUP Dr Kariadi, Semarang, terkonfirmasi positif Covid-19, sebagian besar merupakan dokter. Adapun pegawai meninggal dua orang, keduanya perawat. Total hingga akhir pekan lalu, ada 30 dokter meninggal dan 14 perawat meninggal.
Baca juga: Pukulan Bertubi-tubi bagi Tenaga Kesehatan RSUP Dr Kariadi
Di Negara Bagian Michigan, AS, lebih dari 700 karyawan sebuah rumah sakit teridentifikasi positif Covid-19. Di rumah sakit lain, 1.500 karyawan RS harus mengisolasi mandiri karena memiliki gejala Covid-19.
Sejumlah media AS juga melaporkan rencana sejumlah negara bagian untuk meminta mahasiswa kedokteran diluluskan lebih cepat guna menangani membeludaknya pasien Covid-19.
Hal serupa terjadi di Indonesia. Pada pekan lalu, Kompas.com melaporkan bahwa Ketua Relawan Gugus Tugas Covid-19 Andre Rahadian menilai perlu diterbitkannya surat tanda registrasi (STR) sementara untuk dokter dan perawat yang belum memilikinya.
Upaya lain untuk menghambat adalah penciptaan obat yang dapat meringankan gejala dan mengurangi fatalitas Covid-19. Berdasarkan data Milken Institute, hingga Senin kemarin, ada 150 obat yang sedang dikembangkan di seluruh dunia.
Salah satu yang paling banyak diuji efikasinya adalah favipiravir atau dikenal dengan merek dagang Avigan. Tercatat ada sembilan uji klinis yang sedang berlangsung terhadap obat flu buatan perusahaan Jepang ini.
Obat-obatan tidak akan serta-merta menghilangkan ancaman Covid-19 ataupun kebutuhan akan vaksin. Menurut ahli kesehatan masyarakat Harvard University, Ashish Jha, pemberian obat yang tepat akan mengurangi beban rumah sakit cukup drastis.
”Orang dapat mengonsumsi obat anti-Covid-19 sehingga gejalanya tidak semakin parah dan memerlukan penanganan medis di rumah sakit,” kata Jha.
”Resilience”-ketangguhan
Yong mengatakan, pada 2018, saat ia meneliti kesiapan AS terhadap ancaman pandemi, ia menemukan bahwa AS terjebak pada siklus yang disebutnya ”panik dan lalai”.
”Amerika dapat menghadapi suatu pandemi baru, tetapi kemudian lalai dan tidak belajar ketika ancamannya usai,” kata Yong.
Yong khawatir ini dapat terjadi kembali, terlebih lagi setelah sejumlah pihak di AS mengatakan bahwa berbagai upaya lockdown adalah hal yang terlalu reaktif dan tidak perlu.
Apabila ini terjadi, ketika ada peningkatan kembali Covid-19 pascarelaksasi lockdown, masyarakat AS akan ”lelah” dan tingkat kedisiplinan serta ketangguhannya akan menurun.
Kedisiplinan warga yang menurun ini juga dikhawatirkan terjadi di Indonesia oleh pakar komunikasi UI, Firman Kurniawan. Menurut dia, kedisiplinan masyarakat yang telah rela berkorban untuk tetap menahan diri di rumah dapat menjadi sia-sia jika pemerintah tidak menangani wabah dengan rasa penuh kedaruratan atau tindakan luar biasa.
”Jika rasa ’darurat’ yang terbentuk, tak heran selepas satu bulan karantina mandiri, hanya sisakan rasa bosan. Tak lebih. Maka, apa salahnya menjalani hidup normal kembali. Masa krisis malih rupa jadi masa bodoh masyarakat. Mereka tak peduli lagi penularan. Dan, di situlah sesungguhnya ledakan penularan bakal terjadi,” kata Firman.
Doni berpendapat, Covid-19 dapat menjadi momentum perubahan besar di bidang kesehatan masyarakat. Khususnya pada diskursus antara privasi individual dan kepentingan umum.
Mengambil contoh di Wuhan, menurut Doni, keberhasilan Pemerintah China menekan kasus di sana adalah karena pemantauan yang ketat dan bahkan tergolong intrusif terhadap warganya. Suhu dan pergerakan setiap individu terus dikontrol.
”Trade-off antara privasi dan kepentingan umum mungkin menjadi penting sekarang. Cuma perlu dipikirkan seberapa intrusifnya dan sensitifnya data yang bisa diolah dari setiap pribadi,” kata Doni.
Doni meyakini, apabila sudah ditemukan rumus yang tepat, penanganan pandemi baru akan jauh lebih mudah dengan sistem pemantauan yang lebih baik tersebut meski harus merelakan sedikit privasi individual.
Untuk itu, kembali ke pertanyaan awal, ”kapan kondisi kembali normal?” mungkin pertanyaan itu tidak relevan lagi. Doni berpendapat, mungkin kondisi normal yang lama tidak akan kembali lagi pasca-Covid-19. Peradaban manusia akan terus berubah dan pandemi ini salah satu tonggak penandanya.