Indonesia Butuh Pelacakan Riwayat Kontak Pasien Covid-19 yang Komprehensif dan Terbuka
Upaya pelacakan kontak yang komprehensif dan keterbukaan informasi adalah langkah yang sangat vital nan strategis untuk penghentian penyebaran pandemi Covid-19. Indonesia membutuhkannya saat ini.
Pemerintah Indonesia diminta lebih komprehensif dalam upaya contact tracing atau pelacakan kontak pasien positif guna memperlambat penyebaran Covid-19.
Upaya pelacakan kontak yang komprehensif serta keterbukaan informasi adalah langkah yang sangat vital nan strategis untuk penghentian penyebaran pandemi.
Investigasi harian Kompas yang diterbitkan Kamis (26/3/2020) menunjukkan bahwa pemerintah hingga saat ini masih belum sepenuhnya terbuka soal riwayat kontak pasien positif Covid-19. Ketidakterbukaan riwayat kontak pasien membuat banyak rantai penularan yang hilang dan berpotensi mengakibatkan wabah Covid-19 jadi tak terkendali.
Baca juga: Laporan Investigasi: Melacak Riwayat Kontak Pasien Covid-19
Para pasien positif di Indonesia tidak mendapatkan kejelasan dari mana dan di mana mereka berpeluang besar terpapar virus penyebab Covid-19 ini, SARS-CoV-2. Informasi yang disampaikan kepada publik pun sangat terbatas.
Padahal, upaya menemukan orang yang pernah kontak dengan pasien positif adalah usaha strategis untuk menghentikan penularan.
Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif mengatakan, apabila setiap orang yang pernah diketahui berkontak dengan seorang pasien terkonfirmasi positif dapat dilacak dan diminta untuk mengisolasi diri, maka penyebaran akan terhenti.
”Kalau kita tidak mengikuti penyebaran penyakitnya, ya kita tidak bisa menghentikannya,” kata Syahrizal dihubungi Kompas, dari Jakarta.
59.000 orang dalam 10 hari
Dengan kecepatan penularan atau R0 Covid-19 berada pada sekitaran angka 3, berarti satu orang positif berpeluang menularkan penyakit kepada 3 orang sehat. Dan apabila orang yang terinfeksi korona tersebut tidak segera dikarantina, sangat mungkin jumlah yang tertular lebih dari angka tersebut.
”Bisa saja dia menularkan ke, misalnya, 11 orang. Kalau kita tidak melacak dan menemukan 11 orang tersebut, artinya mereka tidak bisa diminta mengisolasi dirinya sendiri, ya bisa menularkan kepada orang yang lebih banyak lagi,” kata Syahrizal.
Pada kasus Covid-19, satu orang bisa mengakibatkan rantai penularan terhadap 59.000 orang.
Namun, Syahrizal memahami bahwa upaya pelacakan kontak adalah kegiatan yang membutuhkan sumber daya yang luar biasa besar, terlebih lagi dengan jumlah penduduk dan luas geografis Indonesia. ”Apalagi sekarang yang sudah lebih dari 700 kasus menyebar di seluruh Indonesia,” kata Syahrizal.
R0 Covid-19 yang berada di sekitar angka 3 terkesan tidak begitu lebih parah dibandingkan flu biasa yang memiliki R0 sebesar 1.3. Namun, sebetulnya selisih yang ”kecil” ini memiliki dampak yang jauh lebih besar secara praktik.
Profesor kedokteran dari University College London Inggris, Hugh Montgomery, mengatakan, dengan asumsi R0 1.3, satu orang yang terinfeksi flu dapat memicu rantai penularan kepada 14 orang dalam jangka 10 hari. Angka ini didapatkan dari 1.3^10, yakni 13,78.
Namun, dengan R0 sebesar 3, Covid-19 dapat menyebar dari satu orang ke lebih dari 59.000 orang lainnya dalam 10 hari. ”Pada kasus Covid-19, satu orang bisa mengakibatkan rantai penularan terhadap 59.000 orang,” kata Montgomery melalui wawancaranya dengan kanal televisi Channel4 Inggris.
Peneliti medis yang juga sukarelawan gerakan KawalCovid19, Septian Hartono, mengatakan, penghentian penularan dengan pelacakan kontak nyata terbukti di Singapura.
Penularan Covid-19 pada sebuah kluster dapat dihentikan pada kasus ke-47. ”Kalau tidak cepat dideteksi dan dilacak, para orang yang terinfeksi ini bisa terus melanjutkan rantai penularan,” kata Septian.
Bahkan, pada Sabtu (21/3/2020), Pemerintah Singapura meluncurkan aplikasi ponsel pintar bernama TraceTogether. Dengan jaringan bluetooth, aplikasi ini baru akan mencatat waktu ketika pengguna berada dekat dengan pengguna yang lain.
Aplikasi ini diharapkan dapat membantu upaya pelacakan kontak. Jika seseorang yang telah menginstal aplikasi ini pada suatu hari terinfeksi korona, pemerintah akan mudah menemukan orang-orang yang pada 14 hari sebelumnya telah berkontak dengan orang positif tersebut.
Otoritas Singapura memastikan aplikasi tersebut akan tetap melindungi privasi warga negaranya. Aplikasi tersebut tidak mencatat nomor telepon masing-masing pengguna dan tidak mencatat pergerakan ataupun daftar kontak.
Dua langkah di depan virus
Langkah pelacakan kontak yang dilakukan Singapura memang patut dicontoh. Bahkan, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus pada pertengahan Februari lalu memuji Singapura atas upaya pelacakan kontak dan tes yang dilakukan.
Direktur Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Singapura Vernon Lee mengatakan, tim pelacak kontak memiliki dua jam untuk mendapatkan detail awal setiap pasien terinfeksi korona.
Riwayat kontak yang dilacak cukup mendetail. Selain pertanyaan mendasar mengenai perjalanan ke luar negeri dan anggota keluarga, setiap pasien positif juga dimintai keterangan mengenai daftar orang yang pernah mereka temui.
Menurut dia, upaya pelacakan kontak, kemudian diikuti dengan karantina paksa dan pembatasan sosial yang ketat, menjadi kunci penanggulangan Covid-19. Transparansi informasi juga memegang peran penting.
Data tempat tinggal dan bekerja, dipublikasikan melalui portal resmi daring. Dengan demikian, warga lain bisa mendapatkan informasi untuk melindungi diri sendiri.
Kemudian, setiap orang yang pernah berkontak dengan seorang positif harus mengarantina atau mengisolasi dirinya sendiri. ”Kami ingin satu-dua langkah lebih awal dibandingkan virus itu sendiri,” kata Lee.
Sejak kasus positif pertama pada 23 Januari 2020, Singapura kini per data terbaru pada 26 Maret memiliki 558 kasus positif dan 2 pasien meninggal.
Dalam portal daringnya, informasi yang diberikan Pemerintah Singapura sangat mendetail, tetapi data pribadi sensitif setiap pasien tetap terlindungi.
Data pribadi sensitif dilindungi
Pada portal daring tersebut, setiap pasien positif korona diberi nomor kasus dan disertai usia, jenis kelamin, dan lokasi perawatan. Setiap kasus juga diberi kode warna; biru untuk hospitalized, atau sedang dirawat di rumah sakit; hijau untuk sudah dipulangkan; dan abu-abu untuk kasus meninggal.
Selain itu, setiap kasus juga dilengkapi dengan keterangan tambahan yang terdiri dari: tanggal konfirmasi positif korona, status sumber penularan (lokal atau impor), status kewarganegaraan, tempat tinggal, dan riwayat tempat yang dikunjungi. Setiap kasus juga disertai keterangan tambahan dari otoritas.
Untuk contohnya, kita misalnya mengambil Kasus 214. Melalui portal tersebut, masyarakat dapat mengetahui bahwa Kasus 214 adalah seorang laki-laki berusia 29 tahun yang sedang dirawat di Pusat Nasional Penyakit Menular (NCID). Ia terkonfirmasi positif pada 14 Maret 2020.
Kasus 214 adalah seorang warga negara Singapura yang tertular secara lokal. Ia tinggal di Jurong West Street dan sebelum dipastikan positif, ia mengunjungi sejumlah tempat, seperti gelanggang pemuda Youth Go! dan Project 180@Simei serta gedung kampus Singapore University of Social Sciences.
Dalam keterangan pers tertulis, Pemerintah Singapura juga menjelaskan bahwa ia mulai merasakan gejala pada 5 Maret, sepekan sebelum mengikuti tes korona. Dijelaskan juga bahwa ia tidak memiliki riwayat perjalanan perjalanan ke negara yang terpapar Covid-19. Kasus 214 disebut berkaitan dengan Kasus 208.
Dengan informasi tersebut, masyarakat pun bisa turut berkontribusi agar tidak memperluas penularan Covid-19.
Di Indonesia, situs laporan perkembangan terkini yang dimiliki Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 hanya memberikan data yang sangat sederhana.
Laman yang beralamat pada Covid19.go.id/situasi-virus-corona/ itu menampilkan jumlah total kasus positif korona yang terkonfirmasi, jumlah pasien dalam perawatan, jumlah pasien yang sembuh, dan jumlah pasien yang meninggal.
Lalu, ada juga rincian jumlah tersebut di setiap provinsi. Selain itu, juga ada empat grafik yang menunjukkan: penambahan kasus sembuh per hari; penambahan kasus meninggal per hari; penambahan kasus baru per hari; dan grafik akumulasi nasional.
Hanya ada 12 provinsi dan kota yang telah menampilkan data dengan lebih rinci, antara lain Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Untuk kota, terdapat Kota Bandung, Surabaya, Bogor, dan Semarang.
Di tingkat provinsi, data yang ditampilkan pun masih tergolong umum. DKI Jakarta dan DI Yogyakarta menampilkan tabulasi pasien positif, pasien dalam pengawasan, dan orang dalam pemantauan hingga tingkat kecamatan. Pada tingkat kota, seperti Surabaya dan Bogor, ditampilkan data di tingkat kelurahan.
Padahal, menurut pakar komunikasi digital Departemen Komunikasi UI, Firman Kurniawan, keterbukaan informasi adalah langkah untuk meraih kembali kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam upaya penanganan Covid-19 tergerus akibat sikap pemerintah yang cenderung meremehkan penyakit ini pada awal terdeteksinya virus ini di Indonesia.
”Informasi yang diperlukan saat ini adalah ke mana gerak publik harus diarahkan untuk meminimalisasi penularan,” kata Firman.