Ditunjuk sebagai koordinator percepatan pengembangan produk untuk mengatasi pandemi Covid-19, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi tengah merintis pembuatan teknologi pendeteksi dan penganalisis penyakit itu.
Oleh
M ZAID WAHYUDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Riset dan Teknologi menugaskan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sebagai koordinator percepatan pengembangan produk dalam negeri untuk mengatasi pandemi Covid-19 di Indonesia. Produk tersebut diharapkan mampu menyesuaikan dengan galur virus korona jenis baru atau SARS-CoV2 yang ada di Indonesia.
Kepala BPPT Hammam Riza di Jakarta, Rabu (25/3/2020), mengatakan, BPPT siap jadi penghela Task Force Riset dan Inovasi Teknologi untuk Penanganan Covid-19 (TFRIC19) hingga penguatan aspek lokal dalam teknologi pendeteksi virus korona jenis baru dapat dilakukan.
Sebagai koordinator TFRIC19, BPPT akan dibantu sejumlah lembaga penelitian, perguruan tinggi, industri, rumah sakit, asosiasi profesi, dan sejumlah industri. Sementara untuk pendanaan, selain mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tersebar di sejumlah lembaga pemerintah yang terlibat, mereka juga akan menggalang dana dari masyarakat.
Dalam waktu singkat, TFRIC akan fokus untuk mengembangkan lima teknologi pendeteksi dan penganalisis Covid-19.
Teknologi pendeteksi Covid-19 yang akan dikembangkan ada dua, yaitu alat diagnostik yang berbasis pada pemeriksaan reaksi rantai polimerasi (polymerase chain reaction/PCR) dan alat pendeteksi yang bukan PCR, berupa alat uji diagnostik cepat (RDT) baik dalam bentuk dip stick atau cip mikro.
PCR adalah pemeriksaan pada level molekuler yang dianggap paling sensitif terhadap virus korona jenis baru. Metode ini juga dilakukan banyak negara. Namun, metode ini butuh waktu relatif lama, tenaga ahli untuk mengusap (swab) tenggorokan atau belakang hidung, serta butuh laboratorium khusus untuk memeriksanya.
Sementara metode non-PCR umum digunakan untuk pemeriksaan cepat, seperti yang digalakkan pemerintah Indonesia saat ini. Namun, metode ini sensitivitasnya paling rendah meski relatif bisa dilakukan tenaga kesehatan karena menggunakan darah serta banyak laboratorium yang bisa mendeteksinya.
”Uji diagnostik non-PCR yang dikembangkan adalah uji diagnostik cepat (RDT) berbasis antibodi imunoglobulin M dan imunoglobulin G (IgM/IgM) dan antigen. Keduanya dikembangkan berbasis kondisi virus di Indonesia,” katanya.
Selain pengembangan alat pendeteksi Covid-19, kata Hammam, tiga prioritas lainnya adalah mengembangkan kecerdasan buatan (AI) untuk mendukung diagnostik penyakit ini, membangun sistem untuk menganalisis dan menyusun data genom Covid-19 asli Indonesia, serta menyiapkan sarana dan prasarana kesehatan untuk mendukung penanganan pandemi Covid-19.
Saat ini, alat pendeteksi Covid-19 yang digunakan di Indonesia umumnya berasal dari luar negeri. Alat deteksi cepat itu digunakan untuk mempercepat penapisan (screening) pasien dengan pengawasan (PDP) dan orang dalam pemantauan (ODP).
Karena itu, kata Hammam, perlu penilaian teknologi (technology clearing) untuk memastikan produk-produk tersebut memenuhi persyaratan teknis dan sesuai dengan kondisi wabah di Indonesia. ”Virus cepat bermutasi dan hasil mutasinya berbeda-beda di setiap negara,” katanya.
Kondisi itu membuat pengembangan peralatan uji diagnostik cepat (RDT) untuk virus korona jenis baru yang sesuai galur Indonesia menjadi tantangan pada peneliti di Indonesia. Selain sesuai kebutuhan, RDT yang dikembangkan tetap harus memberi hasil yang cepat, sensitif, dan spesifik.