Penerapan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat memasuki babak baru. Setelah gonjang-ganjing defisit keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan membesar, pemerintah menaikkan iuran peserta.
Oleh
EVY RACHMAWATI
·4 menit baca
Defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan secara kumulatif tahun 2019 diperkirakan Rp 32,8 triliun. Jika tak dibenahi, menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, defisit bisa mencapai Rp 77 triliun pada 2024. Selama ini defisit ditalangi pemerintah agar layanan berlanjut.
Sejauh ini BPJS Kesehatan belum bisa menekan defisit meski sampai tahun 2018 pemerintah mengucurkan dana Rp 115,5 triliun untuk subsidi iuran bagi peserta penerima bantuan iuran (PBI). Pemerintah daerah pun membayar iuran bagi 37,8 juta peserta.
Pemberian subsidi iuran dan dana talangan tak menuntaskan soal defisit karena peserta bertambah dan beban kesehatan kian besar. Apalagi iuran masuk lebih sedikit daripada biaya manfaat karena besaran iuran lebih kecil daripada perhitungan aktuaria. Itu diperparah banyak peserta bukan penerima upah (PBPU) menunggak pembayaran iuran.
Memburuknya tingkat keuangan BPJS Kesehatan juga disebabkan antara lain tak ada batasan manfaat jelas serta layanan berlebihan atau tak sesuai diagnosis penyakit sehingga tagihan membengkak. Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mencontohkan, pasien peserta JKN belum waktunya dipasang ring (stent) jantung, lalu dipasang stent.
Penyesuaian tarif
Terkait hal itu, penyesuaian besaran iuran dinilai jadi solusi membenahi tingkat kesehatan keuangan BPJS Kesehatan. Penyesuaian iuran diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Regulasi itu mengatur kenaikan iuran PBPU dan bukan pekerja atau peserta mandiri mulai 1 Januari 2020. Iuran PBPU dan BP atau peserta mandiri perawatan kelas 3 naik dari Rp 25.500 per orang per bulan jadi Rp 42.000, kelas 2 naik dari Rp 51.000 jadi Rp 110.000, dan kelas 1 dari Rp 80.000 naik jadi Rp 160.000.
Pemerintah juga menaikkan iuran peserta PBI yang dibiayai pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dari Rp 23.000 per orang per bulan menjadi Rp 42.000. Iuran PBI naik sejak 1 Agustus 2019.
Ketentuan baru bagi peserta pekerja penerima upah (PPU) pun diatur. Mereka membayar iuran 5 persen dari gaji atau upah tiap bulan. Peserta membayar 1 persen, sisanya ditanggung pemberi kerja. Batas tertinggi gaji per bulan sebagai dasar perhitungan iuran peserta PPU Rp 12 juta per bulan.
Kenaikan iuran itu juga mendesak dilakukan seiring besarnya tunggakan BPJS Kesehatan terhadap klaim layanan yang diberikan penyedia layanan kesehatan, khususnya rumah sakit. Operasional sejumlah RS terganggu karena arus kas tak lancar.
Menurut Koordinator Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, kenaikan iuran jadi keniscayaan karena defisit JKN meningkat. ”Format Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional memosisikan iuran sebagai pendapatan utama JKN. Kenaikan iuran terakhir 2016 sementara 2018 yang seharusnya naik ternyata tak naik,” ujarnya.
Namun, kenaikan iuran JKN tahun 2020 hanya menyelesaikan defisit jangka pendek. Menurut BPJS Kesehatan, pada 2020, dana JKN diperkirakan surplus Rp 17,3 triliun. Defisit diprediksi kembali terjadi pada 2024 Rp 5,1 triliun.
Terkait hal itu, menurut Timboel, kenaikan iuran mesti disertai kendali biaya, terutama INA-CBGs, atau pembayaran dengan sistem paket berdasarkan penyakit yang diderita pasien, demi keberlanjutan JKN.
Penyesuaian iuran mengakibatkan terjadi penurunan kelas perawatan pada peserta JKN, khususnya segmen PBPU atau peserta mandiri. Kenaikan iuran juga dikhawatirkan meningkatkan jumlah peserta non-aktif atau menunggak pembayaran iuran, dan warga enggan menjadi peserta JKN.
Bertambahnya peserta non- aktif dan turun kelas bisa menurunkan pendapatan iuran JKN. Selain itu, terjadi penumpukan peserta di kelas tiga sehingga mereka makin sulit mengakses layanan.
Pemerintah mesti mengantisipasi dampak kenaikan iuran. Salah satunya, meningkatkan mutu layanan JKN untuk mendorong peserta bergotong royong membayar iuran. Bagi peserta non-aktif dan belum ikut JKN, perlu penegakan hukum dengan menjalankan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang sanksi tak mendapat layanan publik, seperti pengurusan paspor dan izin mendirikan bangunan.
Mengingat besarnya manfaat program itu untuk melindungi kesehatan warga, kesadaran semua pihak menjaga keberlanjutannya perlu ditingkatkan. Hal ini mesti disertai peningkatan efisiensi program itu.