Pemerintah Utamakan Imunisasi Cegah Polio di Papua Niugini
Oleh
Nasrullah Nara
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menyikapi ancaman virus polio yang melanda Papua Niugini sejak Juni 2018, pemerintah akan melakukan tindakan pencegahan secara maksimal di wilayah perbatasan Indonesia, terutama Papua, dengan terus melakukan imunisasi dasar lengkap.
Hal ini ditegaskan Menteri Kesehatan Nila Djuwita F Moeloek, Kamis (18/10/2018) di Jakarta, seusai memberikan penghargaan kepada sejumlah pemerintah daerah yang berhasil melaksanakan sanitasi total berbasis masyarakat (STBM).
”Kita tetap berhati-hati. Oleh karena itu, kami tetap menjaga Papua ini dengan memberikan imunisasi dasar lengkap. Jadi, untuk menjaga agar jangan menyebar ke Papua,” ucapnya.
Dalam laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Unicef, Global Polio Eradication Initiative, dan Pemerintah Papua Niugini disebutkan, polio di Papua Niugini kembali muncul pada Juni 2018. Padahal, negara ini sudah dinyatakan bebas polio oleh WHO sejak tahun 2000 (Kompas, 17/10/2018).
Nila menambahkan, kemunculan polio di Papua Niugini sudah disikapi pemerintah dengan membangun koordinasi bersama pemerintah daerah provinsi dan kabupaten di Papua untuk dilakukan pencegahan melalui imunisasi dasar dan lanjutan lengkap. Imunisasi dasar dan lanjutan jika dilakukan secara teratur dan merata dapat meningkatkan kekebalan tubuh agar tidak mudah terinfeksi virus atau penyakit, termasuk polio.
Direktur Jenderal dan Pencegahan Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono pada Rabu (17/10/2018) mengatakan, keberadaan Papua yang berbatasan langsung dengan negara Papua Niugini merupakan pintu terakhir bagi Indonesia untuk mencegah penyebaran polio kembali masuk ke Indonesia. Indonesia baru dinyatakan bebas polio tahun 2014.
Perbaikan sanitasi
Nila menambahkan, pemerintah juga saat ini menjadikan sanitasi dan air bersih sebagai tujuan pembangunan berkelanjutan yang harus dicapai (SDGs). Sanitasi dan perilaku kebersihan yang buruk menjadi penyebab terjadinya persebaran berbagai bakteri yang menjadi sumber penyakit, termasuk polio.
Untuk mewujudkannya, Kemkes bersama kementerian dan mitra lainnya meluncurkan STBM sejak tahun 2008. Ada lima pilar STBM, yaitu stop buang air besar (BAB) sembarangan, cuci tangan pakai sabun, pengelolaan air minum dan makanan, serta pengelolaan limbah cair.
Data e-monev STBM menyebutkan, hingga Oktober 2018 baru 23 kabupaten atau kota dan 1 provinsi yang telah 100 persen memenuhi STBM pilar pertama, yaitu warganya tidak lagi BAB sembarangan. Adapun pilar lainnya juga sudah diterapkan tetapi belum mencapai angka 100 persen.
Menurut Nila, minimnya kesadaran masyarakat agar tidak BAB sembarangan menimbulkan keprihatinan karena Indonesia telah merdeka 73 tahun. Padahal, perilaku BAB tidak pada tempatnya berisiko terjadinya penularan berbagai jenis penyakit, termasuk polio yang dapat menyebar melalui kotoran manusia.
Studi WHO pada 2007 menyebutkan, jika setiap keluarga dalam sebuah komunitas menerapkan lima pilar STBM, maka dapat menurunkan angka risiko terjangkit penyakit diare sebesar 94 persen. Selain itu, Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan, satu dari tiga anak Indonesia menderita stunting. Padahal, akses terhadap sanitasi yang baik berkontribusi dalam penurunan stunting sebesar 27 persen.
”Sanitasi dan air bersih merupakan tujuan keenam SDGs,” kata Nila. (STEFANUS ATO)