JAKARTA, KOMPAS — Hipertensi paru belum banyak dikenali masyarakat. Padahal, jika tidak segera diobati, penyakit tersebut bisa memicu gagal jantung. Untuk mengurangi risiko terjadinya hipertensi paru, kelainan jantung bawaan harus dideteksi sejak usia dini.
Berdasarkan data yang dihimpun Yayasan Hipertensi Paru Indonesia beberapa tahun terakhir, jumlah penderita hipertensi paru di Indonesia diperkirakan 25.000 jiwa. Mayoritas pengidap hipertensi paru adalah perempuan dan anak-anak hingga usia dewasa pertengahan. Kelangsungan hidup yang berarti (mean survival) hingga timbulnya gejala sekitar 2-3 tahun.
Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dari Rumah Sakit Harapan Kita Bambang Budi Siswanto menjelaskan, hipertensi paru merupakan tekanan darah tinggi di arteri paru karena mengalami penyempitan atau penebalan. Akibatnya, jantung bagian kanan harus bekerja keras untuk memompakan darah ke paru-paru.
”Hipertensi paru dalam waktu lama membuat otot jantung melemah dan memicu gagal jantung,” kata Bambang dalam diskusi ”Ancaman Hipertensi Paru bagi Perempuan dan Anak Indonesia” di Jakarta, Senin (24/9/2018). Pada pasien hipertensi paru, tekanan darah di arteri paru-paru lebih dari 25 milimeter Merkuri (mmHg), padahal normalnya tekanan darah di bawah angka itu.
Untuk mendiagnosis hipertensi paru secara akurat, dibutuhkan langkah panjang karena gejala hipertensi paru tidak khas. Skrining atau penapisan melalui elektrokardiogram (EKG) dan ekokardiografi diperlukan untuk mendeteksi. Untuk memastikannya, pasien perlu menjalani kateterisasi jantung kanan.
”Umumnya gejala yang dialami pasien pengidap hipertensi paru adalah sesak napas yang tidak diketahui sebabnya. Jika mengalami ini, perlu dilakukan pemeriksaan lebih teliti,” kata Bambang.
Umumnya gejala yang dialami pasien pengidap hipertensi paru adalah sesak napas yang tidak diketahui sebabnya. Jika mengalami ini, perlu dilakukan pemeriksaan lebih teliti.
Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sardjito, Yogyakarta, Lucia Kris Dinarti, menambahkan, ada lima klasifikasi klinis hipertensi paru. Klasifikasi itu meliputi hipertensi arteri paru, hipertensi paru karena penyakit jantung kiri, hipertensi paru karena penyakit paru-paru dan/atau hipoksia, hipertensi paru trombolitik kronis, dan faktor lain yang belum diketahui.
Hipertensi paru yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah hipertensi arteri paru yang disebabkan penyakit jantung bawaan. Penyakit jantung bawaan yang kerap memicu hipertensi paru adalah atrial septal defect (ASD), ventricular septal defect (VSD), dan patent ductus arteriosus (PDA). Pada ketiga penyakit jantung bawaan itu, ada kebocoran yang memengaruhi aliran darah di jantung bagian kanan.
Deteksi dini penyakit jantung bawaan bisa mengurangi risiko hipertensi paru. Dengan menambal kebocoran pada jantung, hipertensi paru bisa dicegah. Namun, jika terlambat dan telah terjadi pembengkakan pada jantung bagian kanan, hipertensi tidak bisa lagi disembuhkan. ”Pasien harus mengonsumsi obat seumur hidup agar bisa bertahan,” kata Kris.
Pasien harus mengonsumsi obat seumur hidup agar bisa bertahan.
Keterbatasan obat
Sementara Ketua Umum Yayasan Hipertensi Paru Indonesia Indriani Ginoto mengatakan, keterbatasan akses obat menjadi kendala terapi hipertensi paru. Dari 14 jenis molekul obat hipertensi paru, baru 4 jenis yang ada di Indonesia dan hanya satu yang ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat.
Harga obat yang belum ditanggung BPJS Kesehatan mahal, bisa mencapai Rp 45 juta per bulan. Padahal, tidak semua pasien hipertensi paru bisa mengaksesnya. ”Keterbatasan ini menyebabkan angka kematian pasien tinggi,” ujarnya.
Menurut Indriani, kondisi ini disebabkan rendahnya kesadaran masyarakat ataupun petugas medis terhadap penyakit ini. Produsen obat juga enggan masuk ke Indonesia karena merasa belum memiliki pasar.
Di Indonesia, hipertensi paru masih tergolong langka. Berdasarkan catatan Yayasan Hipertensi Paru Indonesia, baru sekitar 500 pasien terdiagnosis, sedangkan 20.000 orang lainnya belum. Melalui diskusi ini, diharapkan kesadaran terhadap bahaya hipertensi paru semakin meningkat sehingga deteksi dini dan akses terhadap obat bisa lebih baik.
Direktur Pelayanan Kefarmasian Kementerian Kesehatan Dettie Yulianti mengatakan, pihaknya mengupayakan obat sildenafil masuk ke formularium nasional. Prosesnya akan selesai 1-2 bulan lagi. Selain itu, pihaknya juga mengupayakan agar sildenafil untuk anak masuk ke formularium nasional dalam waktu dekat.
Dettie juga mendorong perhimpunan dokter di rumah sakit untuk mengusulkan obat-obatan yang dibutuhkan. Itu harus didukung dengan data pengidap penyakit dan manfaat dari obat yang akan diusulkan. ”Mudah-mudahan obat untuk (hipertensi paru) bisa bertambah sehingga dokter bisa mengombinasikan obat untuk pasien,” ujarnya. (YOLA SASTRA)