Risiko Penyakit Kelainan Detak Jantung Dapat Diminimalisasi
Oleh
Siwi Yunita C
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Risiko gangguan kesehatan sebagai dampak dari penyakit fibrilasi atrium kini dapat diminimalisasi. Potensi stroke dan perdarahan mayor bisa dikurangi.
Fibrilasi atrium (FA) adalah penyakit kelainan irama jantung yang berpotensi menyebabkan terbentuknya bekuan darah. Bekuan darah yang lepas ke sirkulasi sistemik menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah dan menimbulkan potensi stroke.
Selama ini, pengobatan FA dilakukan dengan mengkonsumsi warfarin. Warfarin adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati penggumpalan darah. Namun, hasil studi XANAP menyatakan bahwa pengobatan FA dengan obat antikoagulan, yaitu rivaroxaban, lebih efektif dan lebih unggul.
“Dengan rivaroxaban, tingkat perdarahan mayor dapat diperkecil menjadi 1,5 persen per tahun. Selain itu, tingkat terjadinya stroke menjadi 1,7 persen per tahun,” kata dokter spesialis saraf dan dokter peneliti studi XANAP di Indonesia, Mohammad Kurniawan.
Muhammad Kurniawan mengemuka hal itu dalam konferensi pers bertajuk "Hasil Studi XANAP: Kabar Baik bagi Pasien FA di Indonesia", Kamis (20/9/2018) di Jakarta.
XANAP adalah penelitian observasional di Asia untuk mengevaluasi efikasi dan keamanan rivaroxaban guna mencegah stroke pada penderita FA nonvalvular, yaitu FA yang timbul bukan karena kelainan katup jantung.
Penelitian tersebut dilakukan pada 2013 hingga 2015 dengan melibatkan 2.273 pasien di 10 negara Asia. Negara-negara itu di antaranya Indonesia, Hong Kong, Thailand, Vietnam, dan Korea Selatan. Hasil penelitian dipublikasikan pada April 2018.
Dokter spesialis saraf dan dokter peneliti studi XANAP, Mohammad Kurniawan, Kamis (20/9/2018) mengatakan pada umumnya, efikasi warfarin untuk mengatasi FA akan berkurang bila obat tersebut berinteraksi dengan makanan yang mengandung vitamin K. Hal itu tidak akan terjadi pada rivaroxaban. Selain itu, para penderita FA juga tidak perlu melakukan pemeriksaan kekentalan darah terlebih dahulu untuk mengonsumsi obat ini.
“Penderita FA biasanya harus mengecek kekentalan darah atau cek INR secara rutin sebelum mengonsumsi obat pengencer darah. Dengan rivaroxaban, pengecekan darah bisa dilakukan enam bulan sekali,” kata Kurniawan.
Potensi stroke
FA erat kaitannya dengan potensi terjadinya stroke. Dokter spesialis jantung dan dokter peneliti studi XANAP Daniel Tanubudi mengatakan, sebanyak satu dari enam kasus stroke terjadi pada pasien yang menderita FA. Penderita FA juga berisiko lima kali lebih tinggi untuk mengalami stroke dibandingkan dengan orang yang tidak menderita FA.
“FA yang tidak terdeteksi dengan baik dapat menyebabkan stroke. Sementara itu, angka terjadinya stroke di Indonesia terus meningkat,” kata Daniel.
Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada 17 juta kasus stroke baru per tahun di dunia. Data WHO juga mencatat ada 7 juta kasus kematian diakibatkan oleh stroke. Di Indonesia, stroke menjadi penyakit penyebab kematian nomor satu.
Data Survei Kesehatan pada tahun 1990-an menunjukkan, jumlah penderita stroke mencapai 2 per 1.000 penduduk. Pada 2007, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa penderita stroke bertambah menjadi 8,3 per 1.000 penduduk. Angka lebih tinggi didapatkan pada 2013, jumlah penderita stroke menurut data Riskesdas menjadi 12,1 per 1.000 penduduk.
Daniel mengatakan, angka prevalensi FA akan meningkat sebanyak 15 persen terhadap orang berusia di atas 65 tahun. Padahal, jumlah penduduk Indonesia berusia lanjut diprediksi meningkat sebanyak 28,68 persen pada 2050. (E07)