JAKARTA, KOMPAS – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan menggandeng Dewan Masjid Indonesia guna memperluas jangkauan pelayanan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat. Kerja sama ini juga mencakup kerja sama penyediaan fasilitas kesehatan tingkat pertama dan perluasan tempat pembayaran iuran.
Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 1 Agustus 2018 menunjukkan, jumlah peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) lebih kurang 200 juta orang. Adapun berdasarkan data Bank Dunia 2017, jumlah penduduk Indonesia mencapai 263 juta orang. Artinya, masih ada sekitar 24 persen masyarakat Indonesia yang belum memiliki JKN-KIS.
“Masjid merupakan tempat tepat menyosialisasikan perubahan sikap hidup sehat masyarakat,” kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris saat penandatanganan perjanjian kerja sama dengan Dewan Masjid Indonesia (DMI) di Jakarta, Senin (6/8/2018).
Sosialisasi program JKN-KIS lewat masjid diyakini efektif menjangkau berbagai kalangan masyarakat. Fachmi menilai, jumlah masjid di Indonesia yang mencapai lebih kurang 800.000 bangunan bisa ikut mempromosikan perluasan pelayanan JKN-KIS.
“Lewat dakwah di masjid, diharapkan masyarakat sadar pentingnya upaya kuratif dan preventif dalam menjaga kesehatan,” ujar Fachmi.
Ia menilai, bagi masyarakat Indonesia, masjid bukan hanya sekedar tempat peribadahan, tetapi sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat. Saat beribadah, terjadi proses belajar antara pendakwah dan jemaah.
Wakil Ketua Umum DMI Komisaris Jenderal Polisi Syafruddin mengatakan, masjid dan institusi kesehatan memiliki kewajiban yang sama mengedukasi masyarakat agar taraf hidupnya meningkat.
“Kesehatan merupakan aspek terpenting dalam hidup manusia, maka tanggung jawab untuk mendidik masyarakat agar sadar nilai penting kesehatan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga pemuka agama,” kata Syafruddin.
Oleh karena itu, sudah saatnya masjid turut serta mengedukasi masyarakat agar mau bergabung dalam program JKN-KIS. Fachmi mengatakan, banyak orang merasa berat membayar iuran bulanan JKN-KIS, karena merasa tidak mendapat manfaat langsung. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah subsidi silang antara para peserta.
Fachmi mencontohkan, seorang pasienmembutuhkan biaya Rp 1 juta untuk sekali cuci darah. Dalam sebulan, rata-rata pasien cuci darah harus melakukan delapan kali cuci darah.
“Bayangkan betapa mahalnya jika satu pasien harus membayar delapan juta per bulan. Subsidi silang dibutuhkan pada kondisi seperti itu. Menjadi peserta JKN-KIS berarti menabung sekaligus beramal,” ucap Fachmi.
Selain itu, pemahaman yang benar tentang jaminan kesehatan perlu disosialisasikan dengan gamblang. Peserta JKN-KIS memiliki hak untuk mengetahui kejelasan penggunaan iuran mereka. Misalnya, soal transparansi penggunaan dana kapitasi di FKTP yang bertujuan membayar jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan.
Badan Pemeriksa Keuangan pernah menyoroti ketiadaan kontrol secara langsung oleh BJPS Kesehatan terhadap penggungan dana kapitasi di puskesmas. Hasil audit BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah seluruh Indonesia tahun 2016 menemukan sisa dana kapitasi yang mengendap di puskesmas mencapai Rp 3,02 triliun (Kompas, 5/4/2018).
Kepala Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat mengatakan, sebenarnya sudah ada ketentuan BPJS Kesehatan yang mengatur penggunaan dana kapitasi yang mengendap untuk tahun berikutnya. “Memang ada masalah soal implementasi aturan itu. Saat ini, BPJS Kesehatan sedang memperkuat koordinasi dengan badan terkait guna mempercepat pemanfaatan dana itu bagi peningkatan layanan, ” tutur Nopi.